Rancangan Peraturan Harus Punya Naskah Akademik

Saturday, March 12, 2011

 Ilustrasi: Hukum Online

DPR dan Pemerintah tampaknya sepaham agar sebelum suatu Rancangan Undang-Undang dibahas, terlebih dahulu disusun naskah akademiknya. Kesepahaman itu terlihat dari usulan kedua pihak dalam Randangan Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (RUU PPP). RUU ini dimaksudkan sebagai pengganti Undang-Undang No. 10 Tahun 2004.

DPR mengusulkan agar materi yang diatur disertai penjelasan mengenai latar belakang dan tujuan penyusunan, sasaran yang ingin diwujudkan, pokok pikiran, lingkup, atau pobjek yang akan diatur, serta jangkauan dan arah pengaturan. Dalam proses pembahasan RUU itu, Pemerintah mengajukan usulan tambahan. Menurut Pemerintah, materi yang dituangkan dalam naskah akademik itu sudah harus melalui proses harmonisasi. Proses harmonisasi itu lazimnya dilakukan di Kementerian Hukum dan HAM.

Dibanding Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, ada beberapa poin perubahan dalam RUU PPP. Misalnya, kedudukan Ketetapan MPR dan Peraturan Menteri. Ada kemungkinan tata urutan peraturan perundang-undangan yang diatur sebelumnya akan berubah. Meskipun tidak berubah, masing-masing jenis peraturan akan lebih diperjelas kedudukannya.

Kewajiban menyusun naskah akademik didukung kalangan akademisi. Ni’matul Huda, pengajar Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia Yogyakarta, dan Sonny Maulana Sikumbang, akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, menyatakan pembuatan naskah akademik itu penting agar jelas tujuan membuat produk hukum dimaksud. “Naskah akademik akan membantu si pembuat peraturan itu untuk menemukan logika akademikya. Sehingga jelas mengapa suatu masalah diatur demikian,” ujar Ni’matul Huda kepada hukumonline. Menurut Sonny, naskah akademik penting untuk jelas apa yang dimaksudkan si pembuat atau penyusun.  

Naskah akademik penting karena detail dari rumusan tidak mungkin dituangkan dalam pasal. Pasal hanya berisi norma hukum dengan bahasa yang ringkas dan padat. Penjelasan dan maksud kata demi kata dalam pasal bisa ditelusuri dalam naskah akademik dan hasil-hasil pembahasan (memorie van toelichting). “Pengertian kata per kata atau bagaimana yang lainnya bisa dijelaskan melalui naskah akademik. Itu juga perlu memberikan sandaran teoritis, sosiologis, dan yuridisnya,” jelas Ni’matul Huda.

Tetapi menurut pengajar UII Yogyakarta itu, kewajiban membuat naskah akademik tak harus dibebankan untuk semua jenis peraturan perundangan-undangan. Peraturan Daerah (Perda) misalnya acapkali hanya mengatur satu isu sempit yang tak terlalu menimbulkan perbedaan. Cara yang baik jika Rancangan Perda memiliki naskah akademik, tetapi tidak perlu dipaksakan. “Kalau Perda menurut saya tidak perlu naskah akademik,” kata dia.


RUU KUHP dan KUHAP

Meskipun kewajiban membuat naskah akademik baru wacana dalam proses pembuatan RUU PPP, dalam praktik sudah acapkali dilaksanakan. Upaya penyusunan RUU KUHP dan RUU KUHAP sudah berlangsung puluhan tahun, tetapi belum berhasil disahkan. Belakangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) berusaha menyusun naskah akademiknya.

Draft naskah akademik kedua RUU tadi sudah dibahas setahun lalu. Naskah akademik  misalnya menguraikan tujuan dan kegunaan kajian, metode kajian, asas-asas dalam penyusunan KUHP, dan garis besar materi muatan RUU. Ada juga bagian simpulan dan rekomendasi.

Naskah akademik RUU KUHAP malah menyinggung langkah-langkah apa yang sudah dilakukan penyusun, terutama studi banding. “Tim rancangan telah bekerja keras selama lebih dari tujuh tahun dan setiap tahun telah dilakukan sosialisasi kepada akademisi, hakim, polisi, jaksa, dan pengacara,” demikian antara lain tertulis dalam naskah akademik yang disusun tim pimpinan Andi Hamzah itu.


Sumber: Hukum Online