: Pilihan Beroposisi

Friday, March 11, 2011

:Media Indonesia
:media indonesia.jpg
:Pilihan Beroposisi
:PERGULATAN politik akhir-akhir ini memperlihatkan betapa partai politik belum konsisten dalam berkoalisi maupun beroposisi. Pilihan berkoalisi atau beroposisi masih sangat bergantung pada untung rugi.

Sepanjang isu yang dihadapi memberi keuntungan, partai teguh berkoalisi. Sebaliknya, ketika isu yang dihadapi mendatangkan kerugian, partai dengan gagah berani menunjukkan sikap oposisi.

Maka terjadilah berkoalisi, tetapi juga beroposisi, seperti ditunjukkan Golkar dan PKS dalam kasus hak angket mafia pajak. Atau beroposisi, tetapi juga berkoalisi seperti diperlihatkan Gerindra.

Begitulah, batas antara berkoalisi atau beroposisi menjadi sangat tipis, bahkan nyaris abu-abu.

Padahal, pemerintahan Presiden Yudhoyono ditopang koalisi yang bukan hanya jelas dan tegas, melainkan juga besar dan kuat. Koalisi Partai Demokrat, Golkar, PKS, PAN, PPP, dan PKB menguasai 75% kursi di DPR.

Para elite dari keenam partai koalisi itulah yang mengisi jajaran Kabinet Indonesia Bersatu II. Sementara tiga partai lain, yakni PDI Perjuangan, Gerindra, dan Hanura, berada di luar pemerintahan dan berlaku sebagai oposisi.

Akan tetapi, koalisi besar itu rapuh dan mudah pecah. Kontrak politik hanya hebat di atas kertas.

Fakta terakhir ketika Golkar dan PKS mengambil sikap bertolak belakang dengan koalisi dalam kasus angket mafia pajak di DPR. Itulah yang memunculkan dorongan agar menteri-menteri dari kedua partai diganti.

Celakanya, perombakan kabinet yang digembar-gemborkan terjadi pekan ini urung dilakukan. Presiden Yudhoyono, kemarin, bahkan menegaskan tidak ada reshuffle dalam waktu dekat. Rupanya, pembelotan Golkar dan PKS itu hanya membuat Yudhoyono jengkel, belum sampai membikinnya harus menggunakan hak prerogatif merombak kabinet.

Sikap Yudhoyono itu membuat Demokrat, PAN, PPP, dan PKB kecewa. Namun yang paling kecewa ternyata Gerindra. Partai yang punya 26 kursi di DPR itu telah berjasa ikut menggagalkan angket mafia pajak, tetapi tidak diberi tanda jasa dengan mendapat kursi menteri.

Iming-iming kursi menteri ternyata hanya pepesan kosong. Lebih pahit lagi, Gerindra akan dicap publik sebagai partai yang mencla-mencle.

Sebab, orang nomor satu di Gerindra, Prabowo Subianto, dulu pernah berkata tegas, jika kalah dalam Pemilihan Presiden 2009, ia akan mengambil sikap oposisi sebagai sebuah harga mati.

Sebaiknya, untuk memperkuat checks and balances, Gerindra bersatu dengan PDI Perjuangan dan Hanura menjadi oposisi. Meski tawaran kursi datang berkali-kali, PDI Perjuangan yang memiliki 94 kursi di DPR itu toh tidak tergoda. Begitu juga dengan Hanura, yang cuma punya 17 kursi di DPR, tetap mengambil jalan oposisi.

Menjadi partai oposisi yang mandiri, kuat, dan berkualitas memang tidak gampang. Tapi, berani beroposisi jelas sebuah pilihan terhormat dan bermartabat. Bagaimanapun, beroposisi itu lebih mulia ketimbang menjadi partai murahan dan mudah dibeli kekuasaan.



Powered by EmailMeForm