Kerukunan Umat Beragama

Friday, March 11, 2011

AKHIR-AKHIR ini gangguan atas kerukunan umat beragama membuat masyarakat cemas dan masygul. Yang ada bukan sekadar sentimen atau antipati terhadap yang dianggap lawan atau saingan, bahkan terjadi teror dan kekerasan dengan dalih melindungi agama yang dianut. Tindakan itu mengabaikan pesan konstitusi dan melanggar HAM. Gejalanya masih terus bergulir. Kesulitannya menjadi-jadi karena tidak hanya menyangkut keyakinan beragama semata, tetapi tampaknya juga akibat tekanan hidup yang dialami mereka yang merasa didiskriminasi dan teraniaya dalam hal agama maupun lainnya.

Ada tulisan menarik Mohammad Yasir Alimi di koran Jakarta Post awal minggu ini. Mantan koordinator Majelis Kataman Quran di Canberra, Australia, itu menulis kolom berjudul Pakistanization of Indonesia. Tulisan tersebut menjelaskan bahwa peraturan Presiden Pakistan tahun 1984, yang mengkriminalkan tindakan-tindakan kelompok Ahmadiyah dan melarang Ahmadiyah, bertujuan menstabilkan situasi masyarakat di negeri itu. Yang terjadi kemudian malahan sebaliknya; kestabilan terganggu kelompok radikal yang dengan landasan peraturan tersebut melakukan pengejaran terhadap kelompok Ahmadiyah dan kelompok-kelompok agama minoritas lain. Dalam kondisi yang ada sekarang, Pakistan dianggap negara gagal.

Kolom itu seakan mengingatkan apa yang bisa terjadi di negeri ini bila gejala-gejala yang mengarah ke sana tidak segera ditangani dengan tegas. Tidak mudah. Persoalan keyakinan agama amat rumit dan sensitif. Sebenarnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Tiga Menteri, yang ditandatangani Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung tanggal 9 Juni 2008, bermaksud mencegah terjadinya konflik. Sayangnya, sesuai pengakuan Menteri Agama di DPR, SKB itu kurang sosialisasi.

Kemelut dalam kerukunan umat beragama, di mana pun, bisa teratasi bila semua pihak, dengan cara masing-masing, mengupayakan kedamaian. Itu rupanya yang telah diusahakan Dewan Pimpinan Pusat Muhammadiyah, bekerja sama dengan Kedutaan Besar Iran dan Pusat Dialog dan Kerja Sama antarPeradaban (CDCC). Dalam konferensi internasional bertema Islam, perdamaian, dan keadilan, di Jakarta akhir pekan lalu, tampil tokoh-tokoh pembicara dari Thailand, Filipina, Iran, Malaysia, dan beberapa dari Indonesia.

Islam cinta damai dan keadilan

Sejumlah makalah yang beredar mengawali konferensi yang mengetengahkan sifat-sifat Islam yang cinta damai dan keadilan. Dr Hadar Bagir MA dari Harvard/UI, misalnya, menulis makalah berbahasa Inggris yang antara lain menyampaikan pesan, 'Islam pada dasarnya agama Pengampun dan Penyayang - cinta kasih utuh dan menyeluruh yang bermanifestasi dalam cinta kasih Tuhan untuk manusia, cinta kasih manusia untuk Tuhan dan untuk sesama manusia dan seluruh ciptaan Tuhan. Seperti dalam semua agama yang bersifat spiritual murni, cinta kasih memang menjadi basis universal yang lengkap dan yang menjadi tujuan Islam'.

Pengertian tentang agama Islam, lanjutnya, terutama disebarkan para sufi sepanjang zaman. Intinya menegaskan, 'Semua yang datang dari Tuhan serbabaik dan bahwa yang jahat dan buruk sebenarnya buatan manusia atau, lebih tepat, akibat distorsi atau korupsi atas kebaikan Tuhan... Ingat, Tuhan tidak akan pernah berbuat buruk kepada siapa pun, tetapi manusia sendiri yang berbuat buruk terhadap dirinya... Apa pun yang baik yang terjadi padamu datang dari Tuhan dan apa pun yang jahat yang menimpamu adalah akibat perbuatanmu sendiri'.

Pada penutup makalah, penulis menyarankan, seorang muslim seyogianya membaharui pemahamannya tentang agama dengan selalu ingat bahwa agama bukan semata-mata hal-hal legal. Agama pada dasarnya membangun rasa kasih yang ada dalam diri kita: Cinta kasih terhadap segala-galanya; terhadap segenap ciptaan Tuhan di alam semesta, tanpa kecuali.

Mengapa terjadi kekerasan

'Akhir-akhir ini, pemanfaatan dan penyalahgunaan agama untuk tujuan-tujuan politik makin meningkat. Gejala ini tampak makin kuat ketika orang lari ke agama sebagai satu-satunya penyelamat di tengah-tengah ketidakpastian politik, kekurangsempatan di bidang ekonomi, dan alienasi kultural. Dilatarbelakangi pemahaman yang tidak mendalam dan pencarian kemurnian agama, gejala radikalisme dan kekerasan atas nama agama jelas meluas'. Demikian antara lain isi makalah Dr Azyumardi Azra yang disampaikan dalam konferensi internasional tersebut.

Dia menambahkan, menghadapi gejala-gejala itu, organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga agama memiliki peran amat penting: mereka harus meningkatkan kapasitas untuk memberi pencerahan dan menyebarkan sifat damai yang sesungguhnya ada pada semua agama. Sudah saatnya organisasi-organisasi dan lembaga-lembaga agama terkemuka memberikan suara dan menggiatkan usaha menentang pemanfaatan dan penyalahgunaan agama-agama; dan bekerja sama untuk menciptakan keselarasan dan perdamaian antarbangsa dan antarnegara.

Saran Azyumadi Azra dapat diberlakukan dalam usaha mengatasi gangguan atas kerukunan umat beragama di Indonesia yang merebak karena berbagai faktor. Antara lain ada faktor sejarah. VS Naipaul, pemenang hadiah Nobel asal India yang mengadakan pengamatan gaya jurnalistik di Indonesia sekitar tiga dasawarsa lalu, menyatakan dalam Beyond Belief, 'Islam dan bangsa Eropa datang di daerah ini hampir dalam periode bersamaan. Mereka menggusur Hindu dan Buddha yang sudah lebih lama menetap. Tetapi bangsa Eropa begitu cepat mengambil alih kekuasaan sehingga Islam merasa kulturnya terjajah'. Mungkin sisa-sisa sentimen yang disebutkan Naipaul, ditambah ketidakserasian hubungan kedua pihak dalam tataran global, yang kadang-kadang mencetuskan kekerasan.

Menyangkut Ahmadiyah, SKB 3 Menteri memuat diktum-diktum yang dengan tegas menyatakan antara lain, memberi peringatan dan memerintahkan agar para penganut Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI)--sepanjang mengaku beragama Islam--agar menghentikan penyebaran penafsiran dan kegiatan yang menyimpang dari pokok-pokok ajaran Agama Islam, yaitu penyebaran paham yang mengakui adanya nabi setelah Nabi Muhammad SAW. Selain itu, warga masyarakat juga tidak boleh melakukan perbuatan/tindakan melawan hukum terhadap penganut Jemaat Ahmadiyah. Dengan kata lain, tidak dibolehkan ada kegiatan atau perbuatan oleh pihak mana pun yang bisa mengganggu kerukunan umat beragama.

Berkenaan dengan munculnya perda-perda yang melarang kaum Ahmadiyah menjalankan ibadah, Menko Politik, Hukum, dan Keamanan Djoko Suyanto, Minggu lalu, memperingatkan agar pemerintah daerah tidak mengeluarkan peraturan yang melanggar konstitusi. Dia menegaskan, pemerintah tidak bisa menghentikan atau melarang suatu keyakinan agama. Penegasan itu sesuai dengan diktum SKB 3 Menteri tentang peran aparat pemerintah dalam rangka pengamanan dan pengawasan pelaksanaan SKB 3 Menteri.

Yang kita harapkan, semoga jangan lagi terjadi kekerasan yang menodai jiwa Islam yang cinta damai dan keadilan.

Oleh Toeti Adhitama
Anggota Dewan Redaksi Media Group 
Sumber: Media Indonesia