Dunia persepakbolaan Indonesia tengah berduka. Perseteruan di tubuh organisasi Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) tak kunjung selesai dan membuat prestasi sepak bola di negeri ini tidak pernah terangkat. Perseteruan itu karena dunia sepak bola di negeri ini sarat dengan kekuasaan, politik, uang, dan ambisi pribadi.
Indra Tranggono, pemerhati budaya, dalam tulisannya di salah satu media massa nasional menyebut kisruh dan mandeknya prestasi sepak bola di Indonesia karena terjadi reduksi terhadap PSSI dari lembaga publik menjadi lembaga privat. Reduksi itu mengakibatkan setiap kebijakan yang dikeluarkan PSSI selalu sarat akan kepentingan pribadi, yakni untuk mengamankan posisi Ketua Umum Nurdin Halid dan pengurus lainnya.
Asumsi lain yang dibangun Indra Tranggono adalah berbagai protes seputar inkonsistensi peraturan, suap, ketidakjelasan dan ketidakkompetenan PSSI menunjukkan bahwa lembaga ini telah menjadi kartel politik, tempat sekelompok elite membangun relasi secara kolektif dan koruptif demi hegemoni. Karena itu, eksklusivisme PSSI harus dijebol dan prinsip transparansi harus diutamakan PSSI sehingga bisa dikontrol publik.
Asumsi yang dibangun Indra Tranggono ada benarnya. Meski PSSI merupakan lembaga bersifat independen (baca: tidak bisa diintervensi pemerintah), di tubuh PSSI masih mengalir anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan klub-klubnya masih didanai anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) untuk ikut dalam kompetisi.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 1 ayat 3 dinyatakan, "Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri."
Jika mengacu pada peraturan perundang-undangan tersebut, PSSI merupakan organisasi/badan publik yang juga harus memberikan kesempatan kepada publik untuk mengontrol kinerja mereka.
Dobrak eksklusivisme
Dunia sepak bola memang pada dasarnya dunia independen yang bebas dari intervensi pemerintahan. Hal itu yang tertuang dalam Statuta Federasi Sepak Bola Internasional/FIFA, yang menyebutkan pemerintah dilarang melakukan intervensi terhadap organisasi PSSI. Sayangnya, independensi tersebut sering kali diartikan salah kaprah oleh ketua umum dan pengurus PSSI. Yang terjadi ialah independensi dipersepsikan dengan eksklusivisme, dengan sistem organisasi tertutup (close organization), atau dalam ilmu pemerintahan dikenal dengan close government. Sehingga, arti dari organisasi tertutup tidak jauh berbeda dengan close government. Dengan mengutip Carl Friedrich (1940), close government adalah konsep pemerintahan birokrasi yang dikeluarkan Marx Weber, yang meletakkan otoritas birokrasi seperti tipe birokrasi militer, yang cenderung tertutup pada pola konsultatif apalagi kooperatif (Zein, 2010: 18).
Dalam sistem organisasi ini, segala kebijakan yang dikeluarkannya bersifat tertutup dan publik tidak memiliki hak untuk melakukan pengawasan dan berpartisipasi terhadap semua kebijakan di dalam tubuh PSSI. Tentu saja jika terdapat kebijakan yang bersifat strategis dan dianggap penting, dipastikan prinsip yang digunakan adalah 'main mata' sesama pengurus. Pada sistem organisasi ini, jangan berbicara mengenai prinsip akuntabilitas dan transparansi. Setiap kritik dan protes terhadap kebijakan yang dikeluarkan pelaku organisasi selalu dianggap bagian dari konspirasi untuk menjatuhkan wibawa dan menggulingkan kepemimpinan organisasi tersebut. Alhasil, curiga-mencurigai tumbuh subur di tubuh PSSI saat ini. Kejujuran, sportivitas, dan hati nurani menjadi barang mahal dalam setiap pertandingan. Yang tumbuh subur ialah konspirasi dan suap.
Patut kita sadari, para pendiri bangsa ini mendirikan PSSI sebagai alat perjuangan dan pemersatu bangsa. Namun kini, yang terjadi PSSI menjadi pemecah persatuan bangsa. Tentu kondisi ini tidak kita inginkan. Harus terjadi perubahan besar di tubuh PSSI. Eksklusivisme dan sistem organisasi tertutup yang tumbuh subur di tubuh PSSI harus dihancurkan. PSSI harus menerapkan sistem organisasi terbuka (open organisation) dengan menggunakan prinsip keterbukaan informasi. Disadari atau tidak, diinginkan atau tidak, saat ini dunia global tengah mengarah kepada keterbukaan; keterbukaan informasi.
Sebab, hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia yang penting dan strategis di dalam menjamin hak asasi manusia lainnya. Begitu pentingnya, hingga beberapa kalangan menyebutnya hak keterbukaan informasi publik ini sebagai 'oksigen demokrasi'. Sebab, tanpa penegakan hak atas informasi, kewenangan yang telah diberikan kepada negara tidak disertai dengan mekanisme untuk mempertanggungjawabkannya kepada publik.
Di dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008, informasi publik diartikan sebagai informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan undang-undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Iklim demokrasi yang sehat yang didasarkan pada prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas harus terus digulirkan dalam tubuh PSSI. Konsep organisasi terbuka di dalam tubuh PSSI mengandung pengertian bahwa seluruh kegiatan harus dapat dipantau serta diikuti publik. Informasi yang dikuasai/dimiliki elite-elite organisasi dapat diakses masyarakat, pengambilan keputusan (sepanjang menyangkut hajat hidup orang banyak) bersifat terbuka bagi masyarakat untuk terlibat di dalamnya, dan dapat diajukannya keberatan apabila hak-hak pemantauan, pelibatan masyarakat, dan akses informasi diabaikan/ditolak.
Keterbukaan informasi publik dapat pula dimaknai sebagai jembatan menuju terwujudnya lembaga publik PSSI yang transparan. Transparansi bermakna menekankan pada keterbukaan informasi dari suatu program dan/atau kebijakan PSSI untuk bisa dipantau dan dievaluasi langsung oleh elemen-elemen masyarakat (key stakeholders). Akses informasi juga dapat memberikan peluang bagi terjadinya proses check and balances yang optimal.
Konsep keterbukaan informasi itu membuat tingkat partisipasi publik yang kritis semakin meningkat. Bagi pengelola badan publik, tingginya tingkat partisipasi publik terhadap kebijakan publik membuat setiap kebijakan publik yang ditetapkan memiliki legitimasi publik yang kuat. Verba dan Nie (1972) menggarisbawahi bahwa partisipasi publik dapat memberikan legitimasi yang sangat kuat terhadap kebijakan publik, sehingga penerimaan masyarakat terhadap keputusan tersebut menjadi sangat tinggi.
Pelibatan masyarakat yang genuine melahirkan kepercayaan diri masyarakat bahwa mereka merasakan being their own master dari keputusan yang diambil setiap pengurus PSSI. Pengambilan keputusan publik secara terbuka dan partisipatif juga mencegah timbulnya penyimpangan kewenangan di tubuh PSSI.
Terakhir, saya akan mengutip moto yang dikeluarkan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), yakni '...Andai kita hidup dalam masyarakat yang terbuka, kebohongan menjadi sukar disembunyikan. Keterbukaan memudahkan aturan dan keadilan ditegakkan. Upaya membangun tak lagi mudah dikhianati kecurangan....'
Oleh HM Harry Mulya Zein
Doktor Ilmu Pemerintahan; Sekretaris Daerah Kota Tangerang
Indra Tranggono, pemerhati budaya, dalam tulisannya di salah satu media massa nasional menyebut kisruh dan mandeknya prestasi sepak bola di Indonesia karena terjadi reduksi terhadap PSSI dari lembaga publik menjadi lembaga privat. Reduksi itu mengakibatkan setiap kebijakan yang dikeluarkan PSSI selalu sarat akan kepentingan pribadi, yakni untuk mengamankan posisi Ketua Umum Nurdin Halid dan pengurus lainnya.
Asumsi lain yang dibangun Indra Tranggono adalah berbagai protes seputar inkonsistensi peraturan, suap, ketidakjelasan dan ketidakkompetenan PSSI menunjukkan bahwa lembaga ini telah menjadi kartel politik, tempat sekelompok elite membangun relasi secara kolektif dan koruptif demi hegemoni. Karena itu, eksklusivisme PSSI harus dijebol dan prinsip transparansi harus diutamakan PSSI sehingga bisa dikontrol publik.
Asumsi yang dibangun Indra Tranggono ada benarnya. Meski PSSI merupakan lembaga bersifat independen (baca: tidak bisa diintervensi pemerintah), di tubuh PSSI masih mengalir anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN) dan klub-klubnya masih didanai anggaran pendapatan belanja daerah (APBD) untuk ikut dalam kompetisi.
Dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik Pasal 1 ayat 3 dinyatakan, "Badan Publik adalah lembaga eksekutif, legislatif, yudikatif, dan badan lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara, yang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, atau organisasi nonpemerintah sepanjang sebagian atau seluruh dananya bersumber dari anggaran pendapatan dan belanja negara dan/atau anggaran pendapatan dan belanja daerah, sumbangan masyarakat, dan/atau luar negeri."
Jika mengacu pada peraturan perundang-undangan tersebut, PSSI merupakan organisasi/badan publik yang juga harus memberikan kesempatan kepada publik untuk mengontrol kinerja mereka.
Dobrak eksklusivisme
Dunia sepak bola memang pada dasarnya dunia independen yang bebas dari intervensi pemerintahan. Hal itu yang tertuang dalam Statuta Federasi Sepak Bola Internasional/FIFA, yang menyebutkan pemerintah dilarang melakukan intervensi terhadap organisasi PSSI. Sayangnya, independensi tersebut sering kali diartikan salah kaprah oleh ketua umum dan pengurus PSSI. Yang terjadi ialah independensi dipersepsikan dengan eksklusivisme, dengan sistem organisasi tertutup (close organization), atau dalam ilmu pemerintahan dikenal dengan close government. Sehingga, arti dari organisasi tertutup tidak jauh berbeda dengan close government. Dengan mengutip Carl Friedrich (1940), close government adalah konsep pemerintahan birokrasi yang dikeluarkan Marx Weber, yang meletakkan otoritas birokrasi seperti tipe birokrasi militer, yang cenderung tertutup pada pola konsultatif apalagi kooperatif (Zein, 2010: 18).
Dalam sistem organisasi ini, segala kebijakan yang dikeluarkannya bersifat tertutup dan publik tidak memiliki hak untuk melakukan pengawasan dan berpartisipasi terhadap semua kebijakan di dalam tubuh PSSI. Tentu saja jika terdapat kebijakan yang bersifat strategis dan dianggap penting, dipastikan prinsip yang digunakan adalah 'main mata' sesama pengurus. Pada sistem organisasi ini, jangan berbicara mengenai prinsip akuntabilitas dan transparansi. Setiap kritik dan protes terhadap kebijakan yang dikeluarkan pelaku organisasi selalu dianggap bagian dari konspirasi untuk menjatuhkan wibawa dan menggulingkan kepemimpinan organisasi tersebut. Alhasil, curiga-mencurigai tumbuh subur di tubuh PSSI saat ini. Kejujuran, sportivitas, dan hati nurani menjadi barang mahal dalam setiap pertandingan. Yang tumbuh subur ialah konspirasi dan suap.
Patut kita sadari, para pendiri bangsa ini mendirikan PSSI sebagai alat perjuangan dan pemersatu bangsa. Namun kini, yang terjadi PSSI menjadi pemecah persatuan bangsa. Tentu kondisi ini tidak kita inginkan. Harus terjadi perubahan besar di tubuh PSSI. Eksklusivisme dan sistem organisasi tertutup yang tumbuh subur di tubuh PSSI harus dihancurkan. PSSI harus menerapkan sistem organisasi terbuka (open organisation) dengan menggunakan prinsip keterbukaan informasi. Disadari atau tidak, diinginkan atau tidak, saat ini dunia global tengah mengarah kepada keterbukaan; keterbukaan informasi.
Sebab, hak memperoleh informasi merupakan hak asasi manusia yang penting dan strategis di dalam menjamin hak asasi manusia lainnya. Begitu pentingnya, hingga beberapa kalangan menyebutnya hak keterbukaan informasi publik ini sebagai 'oksigen demokrasi'. Sebab, tanpa penegakan hak atas informasi, kewenangan yang telah diberikan kepada negara tidak disertai dengan mekanisme untuk mempertanggungjawabkannya kepada publik.
Di dalam Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik Nomor 14 Tahun 2008, informasi publik diartikan sebagai informasi yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggaraan badan publik lainnya yang sesuai dengan undang-undang ini serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.
Iklim demokrasi yang sehat yang didasarkan pada prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas harus terus digulirkan dalam tubuh PSSI. Konsep organisasi terbuka di dalam tubuh PSSI mengandung pengertian bahwa seluruh kegiatan harus dapat dipantau serta diikuti publik. Informasi yang dikuasai/dimiliki elite-elite organisasi dapat diakses masyarakat, pengambilan keputusan (sepanjang menyangkut hajat hidup orang banyak) bersifat terbuka bagi masyarakat untuk terlibat di dalamnya, dan dapat diajukannya keberatan apabila hak-hak pemantauan, pelibatan masyarakat, dan akses informasi diabaikan/ditolak.
Keterbukaan informasi publik dapat pula dimaknai sebagai jembatan menuju terwujudnya lembaga publik PSSI yang transparan. Transparansi bermakna menekankan pada keterbukaan informasi dari suatu program dan/atau kebijakan PSSI untuk bisa dipantau dan dievaluasi langsung oleh elemen-elemen masyarakat (key stakeholders). Akses informasi juga dapat memberikan peluang bagi terjadinya proses check and balances yang optimal.
Konsep keterbukaan informasi itu membuat tingkat partisipasi publik yang kritis semakin meningkat. Bagi pengelola badan publik, tingginya tingkat partisipasi publik terhadap kebijakan publik membuat setiap kebijakan publik yang ditetapkan memiliki legitimasi publik yang kuat. Verba dan Nie (1972) menggarisbawahi bahwa partisipasi publik dapat memberikan legitimasi yang sangat kuat terhadap kebijakan publik, sehingga penerimaan masyarakat terhadap keputusan tersebut menjadi sangat tinggi.
Pelibatan masyarakat yang genuine melahirkan kepercayaan diri masyarakat bahwa mereka merasakan being their own master dari keputusan yang diambil setiap pengurus PSSI. Pengambilan keputusan publik secara terbuka dan partisipatif juga mencegah timbulnya penyimpangan kewenangan di tubuh PSSI.
Terakhir, saya akan mengutip moto yang dikeluarkan Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), yakni '...Andai kita hidup dalam masyarakat yang terbuka, kebohongan menjadi sukar disembunyikan. Keterbukaan memudahkan aturan dan keadilan ditegakkan. Upaya membangun tak lagi mudah dikhianati kecurangan....'
Oleh HM Harry Mulya Zein
Doktor Ilmu Pemerintahan; Sekretaris Daerah Kota Tangerang
Sumber: Media Indonesia