Implementasi HAM dalam Sistem Peradilan Pidana merupakan masalah yang penting karena berkaitan dengan adanya hak tersangka yang harus dilindungi berkenaan dengan adanya perlakuan dari penegak hukum dengan melakukan tindakan upaya paksa. Sistem Peradilan Pidana merupakan suatui proses yang panjang dan saling berhubungan, dimulai dari tahap pemeriksaan pendahuluan (Penyelidikan dan Penyidikan), penuntutan, pemeriksaan di sidang pengadilan, putusan hakim, upaya hukum, sampai adanya putusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
Sehubungan dengan rangkaian tahapan itu, Habert Packer[1] mengemukakan 2 (dua) pendekatan (model) dalam mengembangkan Sistem Paradilan Pidana, yaitu (1) Due Procces Model; dan (2) Crime Control Model. Due Procces Model bertitik tolak dari nilai yang bersifat anti kekuasaan, karena cenderung disalahgunakan atau memiliki potensi untuk menempatkan individu sebagai objek kekuasaan memaksa dari negara. Model ini berpegang pada doktrin legal guilty, dimana seseorang dianggap bersalah hanya jika penetapan kesalahannya dilakukan secara prosedural dan dilakukan oleh mereka yang mempunyai wewenang untuk melakukan hal tersebut. Konsep Due Procces Model cocok dengan daderstrafrecht yang memberikan penekanan pada pengujian kesalahan di hadapan pengadilan yang tidak memihak yang diikuti dengan menempatkan seseorang (misalnya tersangka) berdasarkan atas asas persamaan kedudukan dihadapan hukum dan sangat mempertimbangkan faktor formal, sehingga tidak mengancam terhadap eksistensi hak seseorang.[2]
Sedangkan konsep Crime Control Model identik dengan daadstrafrecht yang lebih menyatakan fungsi refresif dari Sistem Peradilan Pidana sebagai suatu metode demi efisiensi dalam penegakan hukum dengan berlandaskan pada prinsip cepat dan tuntas. Model pendekatan ini lebih mengedepankan model penegakan hukum administratif, seperti managerial yang penekanannya pada kualitas temuan fakta administrasi yang membawa ke arah pembebasan seorang tersangka dari penuntutan dan kesediaan tersangka menyatakan dirinya bersalah (plead of guilty).[3]
Pandangan yang menekankan bahwa aspek efisiensi lebih diutamakan oleh seorang penyidik, sering memunculkan anggapan bahwa kualitas penemuan fakta hanya bersifat informal saja, sehingga muncul deviasi dalam proses penyidikan, seperti kekerasan dan penyiksaan untuk memperoleh keterangan yang berisi suatu pengakuan hasil rekayasa. Di samping itu, dalam pandangan ini muncul anggapan bahwa kehadiran seorang penasehat hukum dianggap belum diperlukan dalam tahapan ini, karena pada tahap penyidikan hanyalah upaya menemukan fakta kesalahan dan bukan untuk menemukan hukum, sedangkan seorang penasehat hukum hanya diperlukan dalam proses penarikan masalah hukum di pengadilan.
Crime Control Model pada intinya mempun yai ciri-ciri sebagai berikut[4]:
- Pemberantasan kejahatan harus menjadi fungsi terpenting dari Sistem Peradilan Pidana karena keteraturan adalah kondisi yang diperlukan dalam masyarakat.
- Sistem Peradilan Pidana lebih memperjuangkan hak korban dibandingkan dengna membela hak tersangka atau terdakwa.
- Kekuasaan polisi harus diperluas untuk mempermudah investigasi, penahanan, penggeledahan dan penyitaan (Dwang Middelen).
- Segala prosedur hukum yang memperlambat kinerja kepolisian harus dihilangkan.
- Sistem Peradilan Pidana Harus bergerak maju untuk membawa perkara ke tingkat pemidanaan.
- Jika polisi melakukan penahanan dan jaksa melakukan penuntutan, tersangka harus dianggap bersalah karena fakta yang ditentukan polisi dan jaksa harus dapat diandalkan.
- Tujuan utama Sistem Peradilan Pidana adalah untuk menentukan kebenaran atau untuk menentukan factual guilt tersangka.
Kedua model pendekatan tersebut ternyata memiliki kelemahan dan tidak tepat jika diadopsi ke dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia sebagaimana diungkapkan Muladi[5]. Selanjutnya dikatakan bahwa konsep pendekatan model yang tepat adalah model keseimbangan kepentingan yang merupakan gabungan dari kedua model tersebut (daad-dader sgtrafrecht). Konsep ini sesuai dengan kebutuhan hukum jika diterapkan di Indonesia, mengingat dalam konsep ini memperhatikan antara keseimbangan kebutuhan hukum masyarakat dengan kebutuhan hukum individu di dalam masyarakat itu sendiri.
Berdasarkan konsep keseimbangan kepentingan yang diajukan oleh Muladi di atas, akan menyebabkan jika terjadi kesalahan prosedur dalam melakukan penangkapan dan penahanan maka mengakibatkan gugurnya hak penyidik untuk melanjutkan penyidikan dan hak menuntut oleh penuntut umum. Namun dalam KUHAP sekarang hal tersebut tidak diatur, apabila terjadi kesalahan tersebut, KUHAP hanya memberikan hak kepada tersangka untuk mengajukan permohonan pemeriksaan Praperadilan atas kesalahan-kesalahan tersebut. Dengan demikian terlihat bahwa Sistem Peradilan Pidana Indonesia tidak menggunakan konsep daad-dader sgtrafrecht.
Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Apabila mencermati perbedaan dari ketiga model pendekatan Sistem Peradilan Pidana pada uraian sebelumnya, maka dapat dikatakan bahwa KUHAP telah mengakomodasikan model due procces. Namun dalam pelaksanaannya, sangat nyata bahwa Sistem Peradilan Pidana Indonesia menerapkan crime control model. Adapun model daad-daderstrafrecht yang berangkat dari asumsi bahwa pada kondisi tertentu merupakan lawan dari model due procces, maka model ini dikatakan sebagai model “jalan tengah”, sulit untuk dilaksanakan. Sebab model ini bukanlah suatu model yang dapat berdiri sendiri, karena model tersebut hanya dapat diterapkan jika prasyarat sinkronisasi diantara organisasi Sistem Peradilan Pidana baik secara struktural, substansial, dan kultural telah tercipta.
Adapun Sistem Peradilan Pidana di Indonesia menganut konsep bahwa perkara pidana itu merupakan persengketaan/perselisihan antara manusia individu dengan manusia yang banyak (masyarakat / publik), sengketa atau atau perselisihan itu akan diselesaikan oleh negara (pemerintah) sebagai wakil dari masyarakat publik. Sistem ini dibangun dengan satu doktrin bahwa pemerintah (negara) senantiasa akan berbuat baik kepada warganegaranya dengan jalan menghargai, melindungi dan memenuhi hak-hak asasi setiap warganya. Doktrin ini semakin jelas kelihatan ketika negara menegaskan hal itu dalam konstitusi dan Undang-Undang serta peraturan pelaksanaanya.[6]
Dalam hukum, sebagai suatu kesatuan sistem terdapat; (1) elemen kelembagaan (elemen institusional), (2) elemen kaedah aturan (elemen instrumental), dan (3) elemen perilaku para subjek hukum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan kultural). Ketiga elemen sistem hukum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hukum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan atau penerapan hukum (law administrating), dan (c) kegiatan peradilan atas pelanggaran hukum (law adjudicating). Biasanya, kegiatan terakhir lazim juga disebut sebagai kegiatan penegakan hukum dalam arti yang sempit (law enforcement). [7]
Kegiatan penegakan hukum ini pada dasarnya adalah untuk memberikan perlindungan terhadap Hak Asasi Manusia (HAM) yang sesungguhnya menjadi tanggung jawab Negara. Adapun kebijakan mengenai pola penegakan hukum pidana di Indonesia dikenal dengan istilah “Sistem Peradilan Pidana Indonesia” (Indonesian criminal justice system). Sistem yang dibangun KUHAP ini kemudian melahirkan sub-sistem pihak-pihak penegak hukum yang terdiri dari; Legislator, Penyidik, Penuntut Umum, Pengadilan, Pemasyarakatan, dan Bantuan Hukum. Setiap sub-sistem tersebut merupakan lembaga yang berdiri sendiri baik dari segi kelembagaan maupun dari segi fungsi dan tugas (diferensiasi fungsional).
Berdasarkan kerangka sistem tersebut, maka kegiatan peradilan pidana dilaksanakan melalui 4 (empat) fungsi utama, yaitu :
- Fungsi Pembuatan Undang-undang (Law Making fuction): Fungsi ini dilaksanakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah atau badan lain berdasarkan delegated legislation (delegasi kewenangan membentuk perundang-undangan).
- Fungsi Penegakan Hukum (Law Enforcement Fuction)
- Penegakan Hukum Secara Aktual (the actual enforcement law) yang meliputi tindakan;
- penangkapan (arrest) dan penahanan (detention);
- persidangan pengadilan (trial), dan;
- pemidanaan (punishment) dan pemenjaraan guna memperbaiki tingkah laku individu terpidana (correcting the behaviour of individual offender).
- Efek Preventif (prevventife effec); Fungsi penegakan hukum diharapkan “mencegah” orang (anggota masyarakat) melakukan tindak pidana.
Fungsi ini merupakan sub-fungsi dari kerangka penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Jaksa Penuntut Umum dan Hakim serta pejabat pengadilan yang terkait (berdasarkan perkembangan hukum di Indonesia, fungsi ini juga melibatkan Advokat atau penasehat hukum sebagai sub-fungsi dari penegakan hukum pada proses peradilan). Melalui fungsi inilah ditentukan;
- kesalahan terdakwa (the determination of guilty);
- penjatuhan hukuman (the imposition of punishment);
Fungsi ini meliputi aktivitas Lembaga Pemasyarakatan, Pelayanan sosial terkait, dan lembaga Kesehatan Mental. Tujuan umum semua lembaga yang berhubungan dengan penghubungan dan pemenjaraan terpidana; merehabilitasi pelaku tindak pidana (to rehabilitate of offender) agar dapat kembali menajalani kehidupan normal dan produktif (return to a normal and productive life).[8]
Selain ke-empat fungsi utama tersebut, dengan berkembangnya hukum di Indonesia maka Fungsi Bantuan menjadi bagian yang terintegrasi (integrited) dengan sistem peradilan pidana. Fungsi bantuan hukum merupakan bagian dari sub-sistem penegakan hukum yang dilaksanakan oleh Advokat atau penasehat Hukum.. Hal ini dapat ditelusuri dari Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat yang menyatakan;
“... Dalam usaha mewujudkan prinsip-prinsip negara hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara, peran dan fungsi Advokat sebagai profesi yang bebas, mandiri dan bertanggung jawab merupakan hal yang penting, di samping lembaga peradilan dan instansi penegak hukum seperti kepolisian dan kejaksaan. Melalui jasa hukum yang diberikan, Advokat menjalankan tugas profesinya demi tegaknya keadilan berdasarkan hukum untuk kepentingan masyarakat pencari keadilan, termasuk usaha memberdayakan masyarakat dalam menyadari hak-hak fundamental mereka di depan hukum. Advokat sebagai salah satu unsur sistem peradilan merupakan salah satu pilar dalam menegakkan supremasi hukum dan hak asasi manusia ...”.
Dari uraian singkat mengenai sistem peradilan pidana Indonesia di atas, dapat dilihat bahwa yang menjadi peranan penentu untuk mengawali (kick off) dan sangat menentukan keberhasilan proses peradilan adalah peranan fungsi penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan melalui lembaga kepolisian.
Penulis: CSA Teddy Lesmana
*Serial artikel Perlindungan Hak-Hak Tersangka, Terdakwa dan Terpidana dalam Perspektif Sistem Peradilan Pidana Indonesia
________________
[1] Harbert Packer. The Limits of the Criminal Saction. Stanford University, 1986. Hlm. 172. dalam tulisan OC Kaligis. Op., Cit. Hlm. 169.
[2] Ibid. Hlm. 169-170.
[3] Ibid. Hlm. 171.
[4] Dennies Hoffman, Criminal Justice. California : IDG Books Worldwide,Inc. 2000. Hlm. 11.
[5] Muladi. Kapita Selekta Hukum Pidana. Semarang : Badan Penerbit Universitas Diponegoro, 1995. Hlm. 78.
[6] Luhut M.P. Pangaribuan. Hukum Acara Pidana Surat-Surat Resmi di Pengadilan oleh Advokat Praperadilan, Eksepsi, Pledoi, Duplik, Memori Banding, Kasasi, Peninjauan Kembali. Jakarta : Djambatan, 2006. Hlm. 1.
[7] Jimly Asshiddiqie, Peran Advokat dalam Penegakan Hukum (Bahan Orasi Hukum pada acara “Pelantikan DPP IPHI Masa Bakti 2007 – 2012”. Bandung, 19 Januari 2008) (Mahkamah Konstitusi, : Jakarta, 2008) hlm. 1.
[8] M. Yahya Harahap. Op., Cit. Hlm. 90-91.