Ilustrasi: Hukum Online
Setidaknya ada 15 peraturan dari seluruh daerah di Indonesia yang melarang kegiatan jemaah Ahmadiyah. Mulai dari surat keputusan bersama, peraturan bupati hingga peraturan gubernur. Namun, beberapa aturan yang dikeluarkan oleh pejabat daerah tersebut dinilai bermasalah, baik secara formal maupun substansi.
Lantaran dianggap bermasalah, Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi didesak untuk mengkaji aturan-aturan tersebut. Demikian pandangan tiga LSM, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), dan Kontras.
"Desak Mendagri untuk melakukan executive review peraturan yang dikeluarkan kepala daerah terkait larangan Ahmadiyah. Kalau perlu moratorium kebijakan pejabat daerah tentang larangan aktivitas jemaah Ahmadiyah," kata Ketua YLBHI Erna Ratnaningsih di Jakarta, Jumat (11/3).
Selain mendesak pemerintah melakukan eksekutif review, ujar Erna, pihaknya berencana mengajukan judicial review ke Mahkamah Agung dan atau menggugat surat keputusan tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Namun sebelumnya ia akan berkoordinasi terlebih dahulu dengan beberapa LSM lainnya di daerah. "Karena surat keputusan berasal dari berbagai daerah, jadi selaku kuasa hukum jemaah Ahmadiyah kita koordinasi dahulu," ujarnya.
No | Jenis Aturan | Dikeluarkan Oleh | Wilayah |
1 | Surat Keputusan Bersama Kep.11/IPK.32.2/L-2.III.3/11/83 tanggal 21 November 1983 | Kepala Kejaksaan Negeri Selong | Lombok Barat |
2 | Surat Keputusan Bersama tentang Pelarangan aliran/ajaran Jemaat Ahmadiyah Indonesia di wilayah Kabupaten Kuningan tanggal 3 November 2002 | Muspida, Pimpinan DPRD, MUI dan Pondok Pesantren dan Ormas Islam Kuningan | Kuningan |
3 | Surat Keputusan Bersama tentang Pelarangan kegiatan Komunitas Ahmadiyah di Indonesia di wilayah Kabupaten Bogor tanggal 20 Juli 2005 | Bupati Bogor, Ketua DPRD Bogor, Dandim 0621, Kepala Kejaksaan Negeri Cibinong, Kapolres Bogor, Ketua PN Bogor, Danlanud ARS, Departemen Agama dan MUI Bogor | Bogor |
4 | Surat Keputusan Bersama 450/Kep.225-PEM/2005 tanggal 9 Agustus 2005 | Bupati Garut Agus Supriadi | Garut |
5 | Surat Keputusan Bersama No. 21 Tahun 2005 tanggal 17 Oktober 2005 | Bupati Cianjur, Kepala Kejaksaan Negeri Cianjur dan Kepala Kantor Depag Cianjur | Cianjur |
6 | Surat Keputusan Bersama 143 tahun 2006 tanggal 20 Maret 2006 | Bupati Sukabumi, Kajari Cibadak, Kapolres Sukabumi, Depag Sukabumi dan MUI Sukabumi | Sukabumi |
7 | Peraturan Gubernur 563/KPT/BAN.Kesbangpol&Linmas/2008 tanggal 1 September 2008 | Gubernur Sumatera Selatan Mahyudin NS | Sumatera Selatan |
8 | SK Walikota 450/BKBPPM/749 tanggal 16 November 2010 | Walikota Pekanbaru Herman Abdullah | Pekanbaru |
9 | Surat Edaran Gubernur 223.2/803/Kesbang tanggal 10 Februari 2011 | Gubernur Sulawesi Selatan Syahrul Yasin Limpo | Sulawesi Selatan |
10 | Peraturan Bupati No. 5 Tahun 2011 tanggal 21 Februari 2011 | Pj. Bupati Pandeglang Asmudji HW | Pandeglang |
11 | Surat Keputusan Walikota No. 200/160/BKPPM/I/II/2011 tanggal 25 Februari 2011 | H. Syahrie Ja’ang | Samarinda |
12 | Peraturan Gubernur No.188/94/KPTS/013/2011 tanggal 28 Februari 2011 | Gubernur Jawa Timur Soekarwo | Jawa Timur |
13 | Peraturan Gubernur No. 12 Tahun 2011 tanggal 3 Maret 2011 | Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan | Jawa Barat |
14 | Surat Keputusan Walikota Bogor No.300.45-122/2011 tanggal 3 Maret 2011 | Walikota Bogor Diani Budiarto | Bogor |
15 | Peraturan Bupati No. 450/PUM/2011/68 tanggal 16 Februari 2011 | Bupati Kampar Burhanuddin Husin | Kampar |
Sumber: Kontras
Peneliti PSHK Fajri Nursyamsi mengatakan, desakan moratorium dan pembatalan keputusan kepala daerah merupakan solusi jangka pendek dari pihaknya. Menurutnya, pembatalan kebijakan kepala daerah dilakukan karena bertentangan dengan aturan di yang lebih tinggi.
Ia menjelaskan, meski Pasal 18 Ayat (6) UUD 1945 menyebutkan bahwa pemerintah daerah berhak menetapkan peraturan daerah dan peraturan lain untuk melaksanakan otonomi dan tugas pembantuan, tapi tidak serta merta pelarangan aktivitas jemaah Ahmadiyah dibenarkan. "Karena bisa disimpulkan bahwa kewenangan pembentukan peraturan oleh daerah adalah hanya untuk menjalankan otonomi di daerahnya. Begitu pula dengan surat keputusan pelarangan aktivitas Ahmadiyah," ujarnya.
Fajri mengutip Pasal 18 Ayat (5) UUD 1945 yang menyatakan bahwa pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya kecuali urusan pemerintahan yang oleh UU ditentukan sebagai urusan pemarintah pusat.
Lebih jauh, Fajri menunjuk Pasal 10 Ayat (3) UU No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang merinci urusan pemerintah pusat yaitu politik luar negeri, pertahanan, keamanan, yustisi, moneter dan fiskal serta agama. Maka itu, selain enam urusan ini merupakan urusan pemerintah daerah.
"Kewenangan surat keputusan oleh kepala daerah hanya berlaku untuk mengatur urusan pemerintah daerah atau di luar enam urusan pemerintah pusat. Dengan demikian, surat keputusan kepala daerah tentang pelarangan aktivitas jemaah Ahmadiyah patut diragukan keabsahannya, karena mengatur perihal agama yang merupakan urusan pemerintah pusat," tutur Fajri.
Keberadaan berbagai aturan pelarangan Ahmadiyah ini memang menimbulkan pro-kontra di masyarakat. Selain tiga LSM di atas, sebelumnya advokat senior Adnan Buyung Nasution menyatakan hal yang sama. “Urusan agama adalah urusan pemerintah pusat, bukan Pemda. Presiden lewat Mendagri membiarkan Pemda melanggar konstitusi,” tudingnya.
Lain lagi pandangan Anggota DPR dari Fraksi PKS, Al-Muzammil Yusuf. Ia menilai keberadaan Perda itu cukup bagus sebagai solusi untuk menyelesaikan persoalan Ahmadiyah. “Perda-perda itu kan merujuk kepada SKB tiga Menteri,” ujarnya.
Meski mendukung, Al Muzammil berpendapat persoalan Ahmadiyah ini seharusnya diselesaikan melalui level undang-undang, bukan perda. "Persoalan Ahmadiyah ini kan sudah menjadi persoalan nasional," tukasnya mengemukakan alasan.
Sumber: hukumonline.com