Dalam kajian ilmu-ilmu sosial, tema civic education pendidikan kewarganegaraan merupakan isu penting yang mendapat perhatian serius. Civic education dipandang penting karena terkait dengan tiga hal: (1) upaya menumbuhkan kesadaran kebangsaan, (2) upaya memperdalam pemahaman makna kehidupan bernegara, dan (3) upaya membangkitkan kesadaran kolektif atas realitas masyarakat plural. Maka, mendiskusikan tema civic education menjadi sangat relevan dalam konteks masyarakat Indonesia yang sangat majemuk: agama, etnis, ras, budaya, dan adat istiadat. Civic education dapat membuka perspektif baru untuk mengurai kuatnya pertalian etnisitas, menembus sekat-sekat agama, dan membangun jiwa kebangsaan.
Para ahli ilmu-ilmu sosial meyakini bahwa civic education adalah sesuatu yang sangat fundamental dalam upaya pembentukan watak bangsa. Melalui civic education, proses penanaman nilai dapat dilakukan sehingga setiap warga masyarakat memiliki komitmen yang kuat terhadap ikatan-ikatan sosial yang membentuk keutuhan sebuah bangsa. Melalui civic education, kita membangun kesadaran setiap warga masyarakat bahwa bangsa ini dibangun di atas landasan kemajemukan agama, etnis, ras, budaya, dan adat istiadat, yang menuntut kesediaan untuk saling menerima keberadaan pihak masing-masing. Mengingat bangunan negara-bangsa ini bercorak multikultural, setiap elemen sosial harus bersedia hidup secara koeksistensial.
Multikulturalisme mensyaratkan keinsyafan bahwa dalam sebuah masyarakat yang majemuk harus tersedia ruang publik yang cukup untuk bisa saling berinteraksi di antara segenap komponen bangsa dengan semangat saling menghargai dan menghormati. Multikulturalisme juga menuntut adanya pengakuan atas keberadaan kekuatan lokal (kedaerahan), keberagaman kebudayaan tradisional serta kelompok dan golongan sosial yang bervariasi tanpa disertai sikap egosentrisme sektoral. Di dalam masyarakat multikultural, tidak ada agama atau etnis tertentu yang dapat mendominasi dan menyubordinasi agama atau etnis yang lain. Juga tidak ada yang disebut hegemoni budaya yang menciptakan polarisasi pusat dan pinggiran. Oleh karena itu, civic education sangat penting terutama untuk menumbuhkan sikap toleransi dan memperkuat basis solidaritas sosial. Bila kita merefleksi pada sejarah bangsa, sesungguhnya para founding fathers telah meninggalkan warisan yang sangat berharga ketika mereka secara gemilang berhasil membangun watak bangsa berbasis multikulturalisme yang kuat. Pada masa-masa pra dan pascakemerdekaan, diversifikasi sosial–suatu gejala umum sebagai konsekuensi logis dari pluralisme masyarakat Indonesia–terlihat cukup tajam. Interaksi sosial yang terbangun di antara berbagai elemen dan komponen masyarakat bersifat primordialistik, yang didasarkan pada ikatan keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan (Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Sumatera, Paguyuban Pasoendan, atau Roekoen Minahasa). Itu merupakan fenomena yang lazim ditemui dalam suatu masyarakat yang berbasis kebudayaan tradisional. Namun, dengan kian meningkatnya kesadaran kebangsaan, ikatan primordial tersebut kemudian ditransformasikan menjadi ikatan nasional dalam satu wadah tunggal: bangsa Indonesia. Identitas etnis dan budaya telah dilebur ke kesatuan kebangsaan; dan interaksi sosial yang semula bersifat primordial, berubah menjadi hubungan yang bersifat asosiasional di dalam satu ikatan nasionalisme. Di sini kemudian melahirkan identitas kolektif yang dapat memperkuat solidaritas nasional, sekaligus menandai awal pembentukan basis kebudayaan modern. Transformasi struktural demikian oleh Clifford Geertz disebut sebagai proses revolusi integratif.
Para founding fathers tidak saja berhasil dalam membangun watak bangsa, tetapi juga memberikan contoh terbaik bagaimana membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi mereka, kepentingan bangsa melampaui kepentingan ideologi, kelompok, atau golongan. Mereka menyadari betul bahwa kepentingan bangsa adalah segalanya sehingga selalu berupaya untuk mereduksi kepentingan kelompok dan menepis segala bentuk egosentrisme. Penghargaan pada perbedaan pendapat atau pandangan, dan penghormatan pada pilihan paham ideologi-politik tampak terlihat pada sikap dan perilaku mereka. Maka sungguh suatu ironi yang luar biasa bila enam dasawarsa kemudian kita justru menemukan pemandangan yang sangat kontras dalam praktik berbangsa dan bernegara. Para elite nasional telah mempertontonkan suatu praktik bernegara yang sarat dengan konflik; dinamika kehidupan berbangsa diwarnai kian menajamnya friksi dalam masyarakat dan makin menguatnya fragmentasi sosial. Saksikan, bagaimana pergumulan politik dan kekuasaan lebih banyak didominasi kepentingan kelompok dan golongan serta menonjolkan egosentrisme.
Dalam perspektif demikian, isu civic education menjadi sangat penting dikaji ulang untuk memperkukuh sendi-sendi kehidupan berbangsa. Dalam upaya membangun kehidupan kebangsaan, setiap warga masyarakat seyogianya memahami dan mendalami substansi civic education karena mengandung nilai-nilai sangat mendasar: (1) menanamkan sikap kebersamaan; (2) menghargai harkat dan martabat kemanusiaan, yang mengatasi ikatan agama, etnis, ras, dan golongan; (3) mengakui kemajemukan sosial; (4) menghargai perbedaan pendapat dan pandangan; (5) melatih bekerja sama dan berinteraksi secara sehat dalam keberbedaan; (6) memahami hak dan tanggung jawab sebagai warga negara; (7) bersikap jujur dan bertindak adil; (8) patuh pada hukum dan norma yang berlaku dalam masyarakat; (9) menjaga dan mempertahankan kesatuan di dalam kebinekaan; (10) membangun tradisi kebebasan dan demokrasi; dan (11) memperkuat landasan moralitas. Penting ditegaskan, masalah moralitas sangat fundamental seperti ungkapan bijak: there is no education without morals.
Pokok pikiran itu merupakan nilai-nilai substansial dalam civic education. Nilai-nilai tersebut seyogianya diinternalisasi setiap warga masyarakat sehingga mereka mampu mengembangkan wawasan yang komprehensif tentang bagaimana menjalin interaksi sosial secara dinamis dengan berbagai kelompok masyarakat. Jalinan interaksi itu melampaui batas-batas agama, etnis, ras, dan golongan yang didasarkan pada prinsip kesetaraan, keadilan, kemanusiaan, egalitarian, dan keadaban. Dalam civic education ditanamkan nilai-nilai yang mengajarkan bahwa suatu suku tak boleh melakukan klaim keunggulan atas suku yang lain, dan sekelompok ras tertentu juga tak boleh bersikap superior terhadap kelompok ras yang lain. Demikian pula kecenderungan sikap untuk mendominasi kelompok lain atas dasar sentimen agama dan etnis juga harus dihilangkan, agar tidak melahirkan perilaku diskriminatif. Sikap egosentrisme yang lebih mementingkan golongan sendiri dan menafikan golongan lain semestinya dapat ditepis, untuk menghindari munculnya perilaku-perilaku parokial yang berdampak negatif terhadap integrasi sosial. Sepanjang pengalaman sejarah berbangsa dan bernegara di Indonesia, mungkin baru sekarang kita menyaksikan pertikaian antarkelompok di dalam masyarakat yang sampai menelan korban jiwa dan harta benda. Konflik-konflik horizontal antara berbagai kelompok masyarakat, baik yang dilandasi sentimen agama maupun etnis, dalam skala besar dan berlangsung secara amat eksesif jelas mengundang kegalauan. Masyarakat kita seolah telah kehilangan sentuhan kemanusiaan karena dengan mudah berlaku kasar dan brutal, bahkan sampai menghilangkan nyawa manusia lain.
Berbagai peristiwa kekerasan sosial yang terjadi akhir-akhir ini seolah membenarkan sinyalemen Herbert Marcuse: homo homini lupus manusia adalah serigala yang dapat memangsa manusia lain. Betapa sebagian masyarakat kita telah kehilangan basis nilai humanitas yang selama ini menjadi kebanggaan bersama. Mungkin kita perlu melakukan perenungan mendalam sekaligus mempertanyakan, hilang ke mana watak dasar masyarakat kita yang dikenal amat santun, ramah, toleran, beradab, dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kemajemukan memang merupakan khazanah budaya yang amat berharga, sekaligus menjadi beban sosial yang sangat berat. Namun, dengan meletakkan dasar-dasar civic education secara kukuh, kemajemukan tidak harus menjadi faktor pemicu konflik. Kemajemukan justru harus dapat membentuk sebuah sintesis harmoni guna memperkuat kohesi sosial. Kemajemukan juga harus dijadikan sebagai modal sosial untuk membangun kehidupan berbangsa yang damai, memperkukuh kesatuan, dan keutuhan nasional. Bahkan harus dapat dijadikan landasan untuk membangun demokrasi dan masyarakat madani.
Oleh Amich Alhumami, Peneliti sosial, Department of Anthropology, University of Sussex, United Kingdom.
Para ahli ilmu-ilmu sosial meyakini bahwa civic education adalah sesuatu yang sangat fundamental dalam upaya pembentukan watak bangsa. Melalui civic education, proses penanaman nilai dapat dilakukan sehingga setiap warga masyarakat memiliki komitmen yang kuat terhadap ikatan-ikatan sosial yang membentuk keutuhan sebuah bangsa. Melalui civic education, kita membangun kesadaran setiap warga masyarakat bahwa bangsa ini dibangun di atas landasan kemajemukan agama, etnis, ras, budaya, dan adat istiadat, yang menuntut kesediaan untuk saling menerima keberadaan pihak masing-masing. Mengingat bangunan negara-bangsa ini bercorak multikultural, setiap elemen sosial harus bersedia hidup secara koeksistensial.
Multikulturalisme mensyaratkan keinsyafan bahwa dalam sebuah masyarakat yang majemuk harus tersedia ruang publik yang cukup untuk bisa saling berinteraksi di antara segenap komponen bangsa dengan semangat saling menghargai dan menghormati. Multikulturalisme juga menuntut adanya pengakuan atas keberadaan kekuatan lokal (kedaerahan), keberagaman kebudayaan tradisional serta kelompok dan golongan sosial yang bervariasi tanpa disertai sikap egosentrisme sektoral. Di dalam masyarakat multikultural, tidak ada agama atau etnis tertentu yang dapat mendominasi dan menyubordinasi agama atau etnis yang lain. Juga tidak ada yang disebut hegemoni budaya yang menciptakan polarisasi pusat dan pinggiran. Oleh karena itu, civic education sangat penting terutama untuk menumbuhkan sikap toleransi dan memperkuat basis solidaritas sosial. Bila kita merefleksi pada sejarah bangsa, sesungguhnya para founding fathers telah meninggalkan warisan yang sangat berharga ketika mereka secara gemilang berhasil membangun watak bangsa berbasis multikulturalisme yang kuat. Pada masa-masa pra dan pascakemerdekaan, diversifikasi sosial–suatu gejala umum sebagai konsekuensi logis dari pluralisme masyarakat Indonesia–terlihat cukup tajam. Interaksi sosial yang terbangun di antara berbagai elemen dan komponen masyarakat bersifat primordialistik, yang didasarkan pada ikatan keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan (Sarekat Islam, Boedi Oetomo, Jong Java, Jong Sumatera, Paguyuban Pasoendan, atau Roekoen Minahasa). Itu merupakan fenomena yang lazim ditemui dalam suatu masyarakat yang berbasis kebudayaan tradisional. Namun, dengan kian meningkatnya kesadaran kebangsaan, ikatan primordial tersebut kemudian ditransformasikan menjadi ikatan nasional dalam satu wadah tunggal: bangsa Indonesia. Identitas etnis dan budaya telah dilebur ke kesatuan kebangsaan; dan interaksi sosial yang semula bersifat primordial, berubah menjadi hubungan yang bersifat asosiasional di dalam satu ikatan nasionalisme. Di sini kemudian melahirkan identitas kolektif yang dapat memperkuat solidaritas nasional, sekaligus menandai awal pembentukan basis kebudayaan modern. Transformasi struktural demikian oleh Clifford Geertz disebut sebagai proses revolusi integratif.
Para founding fathers tidak saja berhasil dalam membangun watak bangsa, tetapi juga memberikan contoh terbaik bagaimana membangun kehidupan berbangsa dan bernegara. Bagi mereka, kepentingan bangsa melampaui kepentingan ideologi, kelompok, atau golongan. Mereka menyadari betul bahwa kepentingan bangsa adalah segalanya sehingga selalu berupaya untuk mereduksi kepentingan kelompok dan menepis segala bentuk egosentrisme. Penghargaan pada perbedaan pendapat atau pandangan, dan penghormatan pada pilihan paham ideologi-politik tampak terlihat pada sikap dan perilaku mereka. Maka sungguh suatu ironi yang luar biasa bila enam dasawarsa kemudian kita justru menemukan pemandangan yang sangat kontras dalam praktik berbangsa dan bernegara. Para elite nasional telah mempertontonkan suatu praktik bernegara yang sarat dengan konflik; dinamika kehidupan berbangsa diwarnai kian menajamnya friksi dalam masyarakat dan makin menguatnya fragmentasi sosial. Saksikan, bagaimana pergumulan politik dan kekuasaan lebih banyak didominasi kepentingan kelompok dan golongan serta menonjolkan egosentrisme.
Dalam perspektif demikian, isu civic education menjadi sangat penting dikaji ulang untuk memperkukuh sendi-sendi kehidupan berbangsa. Dalam upaya membangun kehidupan kebangsaan, setiap warga masyarakat seyogianya memahami dan mendalami substansi civic education karena mengandung nilai-nilai sangat mendasar: (1) menanamkan sikap kebersamaan; (2) menghargai harkat dan martabat kemanusiaan, yang mengatasi ikatan agama, etnis, ras, dan golongan; (3) mengakui kemajemukan sosial; (4) menghargai perbedaan pendapat dan pandangan; (5) melatih bekerja sama dan berinteraksi secara sehat dalam keberbedaan; (6) memahami hak dan tanggung jawab sebagai warga negara; (7) bersikap jujur dan bertindak adil; (8) patuh pada hukum dan norma yang berlaku dalam masyarakat; (9) menjaga dan mempertahankan kesatuan di dalam kebinekaan; (10) membangun tradisi kebebasan dan demokrasi; dan (11) memperkuat landasan moralitas. Penting ditegaskan, masalah moralitas sangat fundamental seperti ungkapan bijak: there is no education without morals.
Pokok pikiran itu merupakan nilai-nilai substansial dalam civic education. Nilai-nilai tersebut seyogianya diinternalisasi setiap warga masyarakat sehingga mereka mampu mengembangkan wawasan yang komprehensif tentang bagaimana menjalin interaksi sosial secara dinamis dengan berbagai kelompok masyarakat. Jalinan interaksi itu melampaui batas-batas agama, etnis, ras, dan golongan yang didasarkan pada prinsip kesetaraan, keadilan, kemanusiaan, egalitarian, dan keadaban. Dalam civic education ditanamkan nilai-nilai yang mengajarkan bahwa suatu suku tak boleh melakukan klaim keunggulan atas suku yang lain, dan sekelompok ras tertentu juga tak boleh bersikap superior terhadap kelompok ras yang lain. Demikian pula kecenderungan sikap untuk mendominasi kelompok lain atas dasar sentimen agama dan etnis juga harus dihilangkan, agar tidak melahirkan perilaku diskriminatif. Sikap egosentrisme yang lebih mementingkan golongan sendiri dan menafikan golongan lain semestinya dapat ditepis, untuk menghindari munculnya perilaku-perilaku parokial yang berdampak negatif terhadap integrasi sosial. Sepanjang pengalaman sejarah berbangsa dan bernegara di Indonesia, mungkin baru sekarang kita menyaksikan pertikaian antarkelompok di dalam masyarakat yang sampai menelan korban jiwa dan harta benda. Konflik-konflik horizontal antara berbagai kelompok masyarakat, baik yang dilandasi sentimen agama maupun etnis, dalam skala besar dan berlangsung secara amat eksesif jelas mengundang kegalauan. Masyarakat kita seolah telah kehilangan sentuhan kemanusiaan karena dengan mudah berlaku kasar dan brutal, bahkan sampai menghilangkan nyawa manusia lain.
Berbagai peristiwa kekerasan sosial yang terjadi akhir-akhir ini seolah membenarkan sinyalemen Herbert Marcuse: homo homini lupus manusia adalah serigala yang dapat memangsa manusia lain. Betapa sebagian masyarakat kita telah kehilangan basis nilai humanitas yang selama ini menjadi kebanggaan bersama. Mungkin kita perlu melakukan perenungan mendalam sekaligus mempertanyakan, hilang ke mana watak dasar masyarakat kita yang dikenal amat santun, ramah, toleran, beradab, dan selalu menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kemajemukan memang merupakan khazanah budaya yang amat berharga, sekaligus menjadi beban sosial yang sangat berat. Namun, dengan meletakkan dasar-dasar civic education secara kukuh, kemajemukan tidak harus menjadi faktor pemicu konflik. Kemajemukan justru harus dapat membentuk sebuah sintesis harmoni guna memperkuat kohesi sosial. Kemajemukan juga harus dijadikan sebagai modal sosial untuk membangun kehidupan berbangsa yang damai, memperkukuh kesatuan, dan keutuhan nasional. Bahkan harus dapat dijadikan landasan untuk membangun demokrasi dan masyarakat madani.
Oleh Amich Alhumami, Peneliti sosial, Department of Anthropology, University of Sussex, United Kingdom.
Dimuat di Media Indonesia 14/03/11