Jakarta - Mahkamah Agung (MA) menilai apabila membagi kewenangan dalam mengelola jalannya peradilan bersama Komisi Yudisial (KY), maka akan kembali seperti era Orde Baru. Sebab, kekuasaan kehakiman yang independen justru akan lahir dalam lembaga yang sifatnya satu atap.
"Apa akan kembali dua atap seperti dulu? Seperti waktu Departemen Kehakiman dengan MA. Adanya satu atap itu agar urusan peradilan ditangani oleh MA yang memang lembaga peradilan," kata Ketua MA Harifin Andi Tumpa, kepada wartawan, di Gedung MA, Jakarta, Jumat (11/3).
Harifin melanjutkan, model peradilan yang dua atap justru menghambat kemajuan peradilan. "Adanya ketidaksamaan. Artinya kita mau begini tapi tidak dipenuhi Departemen dan pemerintah," ujar Harifin.
Sebelumnya dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial (KY), mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshidiqie menyatakan KY perlu diberikan kewenangan untuk mengelola jalannya peradilan terkait pembinaan dan pengawasan.
Harifin menilai, saat ini belum ada alasan yang tepat apabila kekuasaan kehakiman mengenai jalannya peradilan dibagi dengan KY. "Dikembalikan kedua atap itu alasannya apa? Kalau alasannya KY terlalu kecil kalau dibandingkan (dengan MA), itu juga karena alasan UU," papar Harifin.
Lebih jauh, kata Ketua MA ini, fungsi pembinaan dan pengawasan di MA juga sudah dilaksanakan oleh badan yang terpisah. Adapun kekurangan saat ini adalah banyaknya perkara yang masuk, sehingga kinerja MA menjadi berkurang.
Sebagaimana diketahui, pada era Orde Baru jalannya kekuasaan peradilan berada pada MA, Departemen Kehakiman dan Departemen Agama. Administratif peradilan, seperti pegawai dan kepaniteraan berada di bawah kekuasaan pemerintah, misal, pengadilan agama berada pada Departemen Agama. Sementara kekuasaan MA hanya terkait kewenangan hakim dalam mengadili.
"Apa akan kembali dua atap seperti dulu? Seperti waktu Departemen Kehakiman dengan MA. Adanya satu atap itu agar urusan peradilan ditangani oleh MA yang memang lembaga peradilan," kata Ketua MA Harifin Andi Tumpa, kepada wartawan, di Gedung MA, Jakarta, Jumat (11/3).
Harifin melanjutkan, model peradilan yang dua atap justru menghambat kemajuan peradilan. "Adanya ketidaksamaan. Artinya kita mau begini tapi tidak dipenuhi Departemen dan pemerintah," ujar Harifin.
Sebelumnya dalam sebuah seminar yang diselenggarakan oleh Komisi Yudisial (KY), mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Jimly Asshidiqie menyatakan KY perlu diberikan kewenangan untuk mengelola jalannya peradilan terkait pembinaan dan pengawasan.
Harifin menilai, saat ini belum ada alasan yang tepat apabila kekuasaan kehakiman mengenai jalannya peradilan dibagi dengan KY. "Dikembalikan kedua atap itu alasannya apa? Kalau alasannya KY terlalu kecil kalau dibandingkan (dengan MA), itu juga karena alasan UU," papar Harifin.
Lebih jauh, kata Ketua MA ini, fungsi pembinaan dan pengawasan di MA juga sudah dilaksanakan oleh badan yang terpisah. Adapun kekurangan saat ini adalah banyaknya perkara yang masuk, sehingga kinerja MA menjadi berkurang.
Sebagaimana diketahui, pada era Orde Baru jalannya kekuasaan peradilan berada pada MA, Departemen Kehakiman dan Departemen Agama. Administratif peradilan, seperti pegawai dan kepaniteraan berada di bawah kekuasaan pemerintah, misal, pengadilan agama berada pada Departemen Agama. Sementara kekuasaan MA hanya terkait kewenangan hakim dalam mengadili.
Sumber: primair online