Sejak lama masyarakat di wilayah Asia Tenggara menginginkan sebuah mekanisme dan prosedur perlindungan hak asasi dan kebebasan fundamental warga negara yang berdiam di wilayah ini. Hanya Asia yang tidak memiliki mekanisme regional semacam ini. Sementara region Eropa, Amerika dan Afrika telah membentuk dan mengelola prosedur dan mekanisme ini. Karenanya tidak berlebihan, jika harapan masyarakat sangat tinggi atas keberadaan lembaga hak asasi manusia di Asia Tenggara. Sebaliknya muncul keresahan atas substansi pedoman rujukan (term of reference) yang menjadi dasar pembentukan lembaga ini.
Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) paling tidak sudah membuka jalan terbentuknya lembaga hak asasi ASEAN (AHRB). Dalam pertemuan puncak ASEAN ke-14 di Thailand baru-baru ini, para menteri luar negeri 10 negara anggota ASEAN yang bergabung High Level Panel (HLP) on AHRB telah menyetujui TOR dasar pembentukan AHRB. Perdana Menteri Thailand, Abhisit Vejjajiva bahkan sempat meyakinkan AHRB akan dibentuk sebelum berakhirnya 2009.
Di satu sisi, jalan membentuk lembaga HAM ASEAN, mengalami langkah maju. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran komisi ini tidak bergigi. Kekhawatiran ini sangat kuat dan beralasan.
Dilihat dari proses pembahasan rancangan TOR selama kurang lebih 9 bulan, ironis, pemerintah tidak membuka ruang partisipasi untuk masyarakat sipil. Draft yang disusun, dinyatakan rahasia dan tidak bisa diakses, dan baru diketahui karena dokumen ini bocor dan diungkapkan sebuah media. Tidak ada kontestasi gagasan apalagi partisipasi yang masyarakat sipil yang maksimum dalam merumuskan materi dalam TOR AHRB ini. Dari 10 negara anggota, hanya Thailand, Filipina dan Indonesia yang relatif memberi perhatian terhadap usul dan suara yang disampaikan masyarakat sipil.
Singkatnya, proses pembahasan draft TOR sangat eksklusif, bertolak belakang apa yang diklaim Abhisit saat membuka pertemuan puncak tahunan ini yang menyatakan "ASEAN will put the people first - in its vision, in its policies, and its action plans". Bahkan sempat pemerintah Burma dan Kamboja melarang ikut sertanya perwakilan masyarakat sipil dalam forum dialog dengan para pemimpin Negara-negara ASEAN.
Pembentukan AHRB sendiri dinyatakan oleh HLP, bertujuan untuk mempromosikan dan melindungi HAM, dan membantu memperkaya dan meningkatkan standar HAM di ASEAN yang sesuai dengan konteks regional dan sebagai saluran kerjasama konstruktif berkaitan dengan isu-isu HAM diantara Negara-negara ASEAN.
Pemuatan kata "konteks regional" itulah, yang memancing kekhawatiran, badan HAM ini nantinya tidak mengikuti standar dan norma universal HAM, melainkan justeru mengedepankan apa yang sering disebut "nilai-nilai Asia" (Asian values), yang mencoba menghadap-hadapkan norma internasional HAM yang dinilai sebagai konsep dan buatan Negara-negara Barat, yang tidak semuanya selaras dengan nilai-nilai yang dianut di Asia. Setidaknya, benih masalah juga terlihat dalam TOR, yang memuat tanggung jawab perwakilan pemerintah yang duduk di badan HAM ASEAN dalam menjalankan fungsinya mesti berdasarkan piagam ASEAN, yang menolak campur tangan negara di luar ASEAN berkaitan dengan isu dan masalah HAM yang terjadi di region ini.
Tradisi dan kebiasaan mengagung-agungkan Asian value inilah yang membuat, negara ASEAN terkesan tutup mata terhadap pelanggaran HAM di Indonesia di era Orde Baru; pelanggaran HAM di Filipina era pemerintahan Marcos. Tradisi non-interference inilah yang menyebabkan Negara-negara ASEAN seakan memalingkan wajah terhadap problem hak asasi di Burma hingga sekarang.
Masalah selanjutnya, soal ketiadaan mekanisme perlindungan bagi warga Negara dan korban pelanggaran HAM dalam lembaga ini, seperti menerima pengaduan, melakukan penyelidikan dan memberikan rekomendasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di region ini. Selain itu, para perwakilan atau komisioner dalam lembaga ini, nantinya, tidak melalui proses seleksi yang independen, melainkan langsung ditunjuk oleh pemerintah.
Dari muatan TOR yang disetujui tersebut, dapat dikatakan masa depan perlindungan HAM di region ini belum bisa dipastikan bisa efektif dan kredibel, sebaliknya tidak berkontribusi maksimal untuk memajukan dan melindungi hak asasi warga negara yang berdiam di Negara-negara Asia Tenggara. Berbeda dengan prosedur dan mekanisme perlindungan HAM di Eropa, misalnya. Di region ini, bahkan dibentuk Pengadilan HAM Eropa (European Human Rights Court), yang berwenang memeriksa dan memutus kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi.
Saat ini, harapannya, para Negara anggota ASEAN dengan kepeloporan Thailand, Filipina, dan Indonesia bisa membuka peluang mengoreksi poin-poin krusial dalam TOR-nya, sebelum benar-benar lembaga HAM ini dibentuk dan menjalankan mandatnya.
Harapannya, para pemerintah negara-negara ASEAN benar-benar memberikan perhatian kepada obligasi Negara untuk melindungi (to protect) dan memfasilitasi (to facilitate), bukan sekedar mempromosikan (to promote) HAM di region ini.
Asosiasi Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) paling tidak sudah membuka jalan terbentuknya lembaga hak asasi ASEAN (AHRB). Dalam pertemuan puncak ASEAN ke-14 di Thailand baru-baru ini, para menteri luar negeri 10 negara anggota ASEAN yang bergabung High Level Panel (HLP) on AHRB telah menyetujui TOR dasar pembentukan AHRB. Perdana Menteri Thailand, Abhisit Vejjajiva bahkan sempat meyakinkan AHRB akan dibentuk sebelum berakhirnya 2009.
Di satu sisi, jalan membentuk lembaga HAM ASEAN, mengalami langkah maju. Namun, di sisi lain, muncul kekhawatiran komisi ini tidak bergigi. Kekhawatiran ini sangat kuat dan beralasan.
Dilihat dari proses pembahasan rancangan TOR selama kurang lebih 9 bulan, ironis, pemerintah tidak membuka ruang partisipasi untuk masyarakat sipil. Draft yang disusun, dinyatakan rahasia dan tidak bisa diakses, dan baru diketahui karena dokumen ini bocor dan diungkapkan sebuah media. Tidak ada kontestasi gagasan apalagi partisipasi yang masyarakat sipil yang maksimum dalam merumuskan materi dalam TOR AHRB ini. Dari 10 negara anggota, hanya Thailand, Filipina dan Indonesia yang relatif memberi perhatian terhadap usul dan suara yang disampaikan masyarakat sipil.
Singkatnya, proses pembahasan draft TOR sangat eksklusif, bertolak belakang apa yang diklaim Abhisit saat membuka pertemuan puncak tahunan ini yang menyatakan "ASEAN will put the people first - in its vision, in its policies, and its action plans". Bahkan sempat pemerintah Burma dan Kamboja melarang ikut sertanya perwakilan masyarakat sipil dalam forum dialog dengan para pemimpin Negara-negara ASEAN.
Pembentukan AHRB sendiri dinyatakan oleh HLP, bertujuan untuk mempromosikan dan melindungi HAM, dan membantu memperkaya dan meningkatkan standar HAM di ASEAN yang sesuai dengan konteks regional dan sebagai saluran kerjasama konstruktif berkaitan dengan isu-isu HAM diantara Negara-negara ASEAN.
Pemuatan kata "konteks regional" itulah, yang memancing kekhawatiran, badan HAM ini nantinya tidak mengikuti standar dan norma universal HAM, melainkan justeru mengedepankan apa yang sering disebut "nilai-nilai Asia" (Asian values), yang mencoba menghadap-hadapkan norma internasional HAM yang dinilai sebagai konsep dan buatan Negara-negara Barat, yang tidak semuanya selaras dengan nilai-nilai yang dianut di Asia. Setidaknya, benih masalah juga terlihat dalam TOR, yang memuat tanggung jawab perwakilan pemerintah yang duduk di badan HAM ASEAN dalam menjalankan fungsinya mesti berdasarkan piagam ASEAN, yang menolak campur tangan negara di luar ASEAN berkaitan dengan isu dan masalah HAM yang terjadi di region ini.
Tradisi dan kebiasaan mengagung-agungkan Asian value inilah yang membuat, negara ASEAN terkesan tutup mata terhadap pelanggaran HAM di Indonesia di era Orde Baru; pelanggaran HAM di Filipina era pemerintahan Marcos. Tradisi non-interference inilah yang menyebabkan Negara-negara ASEAN seakan memalingkan wajah terhadap problem hak asasi di Burma hingga sekarang.
Masalah selanjutnya, soal ketiadaan mekanisme perlindungan bagi warga Negara dan korban pelanggaran HAM dalam lembaga ini, seperti menerima pengaduan, melakukan penyelidikan dan memberikan rekomendasi untuk penyelesaian pelanggaran HAM yang terjadi di region ini. Selain itu, para perwakilan atau komisioner dalam lembaga ini, nantinya, tidak melalui proses seleksi yang independen, melainkan langsung ditunjuk oleh pemerintah.
Dari muatan TOR yang disetujui tersebut, dapat dikatakan masa depan perlindungan HAM di region ini belum bisa dipastikan bisa efektif dan kredibel, sebaliknya tidak berkontribusi maksimal untuk memajukan dan melindungi hak asasi warga negara yang berdiam di Negara-negara Asia Tenggara. Berbeda dengan prosedur dan mekanisme perlindungan HAM di Eropa, misalnya. Di region ini, bahkan dibentuk Pengadilan HAM Eropa (European Human Rights Court), yang berwenang memeriksa dan memutus kasus-kasus pelanggaran HAM yang terjadi.
Saat ini, harapannya, para Negara anggota ASEAN dengan kepeloporan Thailand, Filipina, dan Indonesia bisa membuka peluang mengoreksi poin-poin krusial dalam TOR-nya, sebelum benar-benar lembaga HAM ini dibentuk dan menjalankan mandatnya.
Harapannya, para pemerintah negara-negara ASEAN benar-benar memberikan perhatian kepada obligasi Negara untuk melindungi (to protect) dan memfasilitasi (to facilitate), bukan sekedar mempromosikan (to promote) HAM di region ini.
Oleh Patra M Zen
Anggota Komite Eksekutif Forum-ASIA
Anggota Komite Eksekutif Forum-ASIA
Sumber: Jurnal Nasional