Yanuar Fitri, Msi - Ketua Pusat Studi Lingkungan Universitas Jambi

Wednesday, January 5, 2011

MARAKNYA konflik lahan yang muncul ke permukaan, akibat kurang maksimalnya peran semua stakeholder. Apalagi tidak ada keterbukaan pada pelaksanaan kegiatan di lapangan. Mulai pemberian izin lokasi, izin prinsip, HGU, penetapan tapal batas dan sebagainya. Khusus konflik kemitraan, terjadi akibat pihak yang terlibat didalamnya tidak mampu memainkan peran untuk saling menguntungkan.

Pola kemitraan, idealnya mengandung dua prinsip. Yaitu saling menguntungkan dan memperkuat yang dilandasi semangat transparansi. Ini harus dilakukan baik oleh petani, perusahaan maupun pemerintah sebagai penengah. Keterbukaan harus dimulai sejak proses penyerahan lahan dan kesepakatan antara petani dan perusahaan.

Akibat saling tertutupnya informasi, kita sama-sama melihat, konflik muncul di kemudian hari. Setelah kerjasama dibangun sekian lama, baru kemudian masalah muncul. Pada banyak kasus, petani maupun koperasi tidak memahami makna yang tercantum dalam kerjasama. Misalnya, berapa beban kredit per hektar? Bagaimana peran koperasi mengawasi pembangunan kebun? Kapan waktu konversi? Apa kewajiban dan hak petani serta perusahaan? Menurut Perusahaan, hal ini mungkin sudah dilakukan. Namun lain halnya dengan masyarakat. Walaupun memang, dalam perjalannya ada perusahaan yang justru melanggar kesepakatan itu.

Untuk meminimalisir masalah, dari awal pemerintah seyogyanya pro aktif atas izin lokasi yang dikeluarkannya. Sebenarnya tidak ada yang rumit. Jika perusahaan dan pemerintah benar-benar mengacu pada dokumen Amdal yang telah dibuat. Karena didalamnya sudah tertera resiko, potensi dan komitmen perusahaan terhadap lingkungan sekitarnya. Termasuk orang-orang yang akan bermitra dengan perusahaan.

Namun sayang, selama ini Amdal selalu menjadi dokumen pelengkap izin saja. Padahal didalamnya banyak rekomendasi yang dapat digunakan baik oleh petani maupun perusahaan. Setelah dokumen Amdal, biasanya ada Surat Izin Usaha Perkebunan (SIUP). Penerbitan SIUP juga harus merujuk dokumen Amdal. Jika SIUP hingga praktek di lapangan diluar koridor Amdal, berarti dokumen itu tidak ada artinya. Muncullah banyak masalah seperti terjadi saat ini.

Kedepan, pemberi izin harus benar-benar memperhatikan dokumen Amdal, yang didalamnya melibatkan partisipasi publik dan petani sekitar perusahaan. Amdal, Wajib menjadi rujukan Pemerintah dan Perusahaan. Karenanya, regulasi yang dikeluarkan pemerintah harus menguatkan peran pemerntah sebagai penengah dan pihak yang berkompeten meminimalisir konflik. Menggunakan dokumen yang sudah ada. Kita berharap, persoalan seperti ini sedikit demi sedikit akan selesai di kemudian hari. (seperti disampaikan pada wartawan Media Jambi, Junaidi, Sabtu (19/12) lalu.