Konflik Lahan Meluas

Wednesday, January 5, 2011


MEDIAJAMBI — Konflik lahan antara masyarakat dan sejumlah perusahaan di Provinsi Jambi semakin meluas. Bukannya berkurang, jumlah konflik lahan sejak tahun 2001 lalu, membengkak, diperkirakan terjadi di 137 desa di daerah ini. Upaya penyelesaian konflik, baru sebatas janji politis dan pembentukan tim semata. Padahal, banyak korban sudah berjatuhan, ditangkap, terluka hingga tewas .

Akumulasi konflik meningkat tajam, jika tahun 2009 lalu hanya sekitar 52 desa yang bermasalah dengan 34 perusahaan perkebunan kelapa sawit. Kini konflik serupa terjadi di 137 desa. Varian konflik tidak hanya menimpa petani kelapa sawit, hingga ke petani di sekitar daerah konsesi Hutan Tanaman Industri dan pertambangan batubara.

Direktur Yayasan Setara, Rukaiyah Rafiq mengatakan, masyarakat yang hidup berdampingan dengan perusahaan pemegang izin hidup dalam ketakutan. Potensi konflik akibat tindak sewenang-wenang, selalu menghantui. Apalagi, banyak diantara mereka yang terjebak dalam sistem kemitraan dengan pola-pola tertentu.

“Konflik semakin meluas akibat penataan kawasan dan ruang di Provinsi Jambi memberi peluang bagi perusahaan melakukan aksi sepihak terhadap petani,” ungkap Rukayah. Tingkat sebaran konflik tanah terjadi di delapan kabupaten. Masing-masing sembilan perusahaan di Batanghari, lima perusahaan di Bungo, tujuh perusahaan di Sarolangun, 11 perusahaan di Muarojambi, tiga perusahaan di Merangin, lima perusahaan di Tanjab Barat, dua perusahaan di Tanjab Timur dan tiga perusahaan di Kabupaten Tebo.

Tiga motif
Tiga motif, disebut Rukayah menjadi pangkal permasalahan. Penyebab pertama, pola kemitraan yang dilanggar sepihak pihak perusahaan. Kasus petani dan PT TLS menjadi bukti nyata, arogansi perusahaan yang merubah lahan plasma menjadi lahan inti. Selain tidak pernah melakukan akad kredit dan konversi meski kemitraan dibangun sejak tahun 1989 lalu. “Hingga kini, permasalahan petani TLS tak kunjung usai. Banyak pertemuan dilakukan. Bahkan petani sudah memenangkan perkara di Mahkamah Agung. Namun tidak ada yang bersedia mengeksekusi putusan MA tersebut,” tukas Rukayah.

Motif lain, berupa penyerobotan tanah warga. Pada banyak kasus, perusahaan memperluas izin HGU yang dikantonginya. Ketika masyarakat menuntut pengembalian lahan, selalu berhadapan dengan fakta hukum. Bahkan tak jarang, petani berhadapan dengan aparat keamanan hingga menimbulkan bentrok fisik.

Nasib yang menimpa Kelompok Tani Margasari misalnya. Sejak 15 tahun silam, mereka kehilangan sekitar 112 hektar tanah yang sekarang digarap PT Bahari Gembira Ria di Desa Petaling Jaya Kabupaten Batanghari. Janji Bupati Muaro Jambi, segera menyelesaikan permasalahan dan mengeluarkan SK Calon Petani Plasma (SK CPP) nihil.

Pelegalan Tersistematis
Direktur CAPPA, Rivani Noor mengatakan, ada upaya pelegalan aktivitas perusahaan yang nyata-nyata melanggar peruntukan kawasan. Dalam beberapa bulan terakhir, sekitar 10 konflik baru bermunculan. Tidak saja melibatkan perusahaan perkebunan kelapa sawit, namun meluas hingga perusahaan pertambangan batubara.

“Pemerintah berupaya melegalkan aktivitas perusahaan dengan cara pelepasan kawasan hutan. Yang diperuntukkan bagi konsesi perusahaan. Baik sawit, HTI maupun tambang Batubara. Sementara di sisi lain, petani kopi Lembah Masurai justru diusir karena dianggap merambah TNKS. Padahal, kawasan itu menjadi pilot project REDD dengan Australia,” tukas Rivani, Jum’at pekan lalu.

Di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, lanjutnya—pelepasan kawasan akan diberikan pada PT SMP seluas 1520 hektar. Nantinya, areal ini akan diperuntukkan bagi transmigrasi lokal. “Sekilas memang bagus, namun masyarakat akan terikat dengan pola kemitraan lagi. Artinya, ini potensi konflik yang bakal muncul beberapa tahun mendatang,” sambungnya.

Pihaknya mencatat, puluhan orang sudah ditangkap bahkan dipenjara akibat konflik lahan. Ratusan warga diintimidasi, terluka hingga tewas di tempat. “Kasus Senyerang misalnya, hingga kini tidak ada kejelasan status. Siapa penembak dan bagaimana penyelesaiannya,” tanya Rivani.

Persoalan konflik lahan yang semakin meluas juga mengemuka di DPRD Provinsi Jambi. Ketua Fraksi Gerakan Keadilan, Henri Masyhur mengatakan, persoalan konflik lahan tidak sedikitpun dibahas dalam Rencana pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Daerah Provinsi Jambi. “Padahal, jumlahnya semakin bertambah. Kami tetap, dan akan tetap menyuarakan agar pemerintah provinsi benar-benar fokus pada masalah yang dihadapi petani,” tukas Henri.

Alibi Pemerintah
Beberapa alibi sering dikemukakan pejabat daerah terkait penyelesaian konflik lahan. Data yang diperoleh Media Jambi menyebutkan, Kabupaten Muarojambi memiliki konflik terbanyak dibanding kabupaten lain. Utamanya konflik antara petani dan perusahaan kelapa sawit.

Bupati Muarojambi, Burhanuddin Mahir dalam beberapa kali mengatakan, Pemkab berupaya menyelesaikan masalah yang ada. Diantaranya menganggarkan dana pengacara pendamping petani di meja hijau. “Pemkab tahun 2010 saja menganggarkan dana sekitar Rp 300 juta untuk bantuan pengacara petani. Jika petani merasa yakin menang, silakan ajukan pengaduan ke Kejaksaan dan pengadilan,” ungkap Burhanuddin beberapa waktu lalu.

Pernyataan ini, menurut sejumlah aktivitis hanya sekedar alibi mengelak dari tanggungjawab penyelesaian masalah. “Tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan ranah hukum. Apalagi, seringkali posisi petani lemah secara fakta otentik,” ungkap seorang aktivitis lingkungan menjawab Media Jambi.

Sejumlah uang yang disediakan bagi pengacara, menurutnya hanya upaya mengelak dari tanggungjawab menyelesaikan persoalan dengan pendekatan resolusi konflik. Apalagi, beberapa kepala daerah akan ikut bertarung untuk kesekian kali di pilkada.

Menyikapi semakin meluasnya konflik, Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Provinsi Jambi, Ahmad Fauzie MTP mengatakan telah merancang metode penyelesaian konflik dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) Provinsi Jambi 2011-2015. “Sebelumnya akan dipilah dahulu, mana yang menjadi kewenangan Provinsi dan kabupaten,” ungkap Fauzi, Minggu pekan lalu.

Penyelesaian akan dilakukan biro tertentu di Setda Provinsi Jambi. Direncanakan, setiap tahun ada target konflik yang selesai dicarikan jalan damai maupun jalan tengah.

Gubernur Jambi, H Hasan Basri Agus usai membuka Rakor Muspida, Kamis (16/12) lalu meminta, masing-masing Pemerintah Kabupaten mengambil langkah pro aktif. Sejalan dengan beberapa solusi yang ditawarkan untuk penyelesaian konflik. Salah satunya antara HTI PT WKS dan Persatuan Petani Jambi (PPJ).

“Konflik lahan antara PPJ dan PT WKS, berdasarkan UU No 41 Tahun 1999 merupakan wewenang pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan. Pemerintah pusat juga telah menawarkan solusi penyelesaian konflik lahan ini mengembangkan pola kemitraan, antara pemegang izin HTI dan masyarakat setempat,” ungkap Gubernur.

Tidak saja berharap pada keputusan Pemerintah Pusat, HBA meminta Pemkab melakukan penangan secara bersama-sama. Tidak saja pada konflik dengan antara PPJ dan PT WKS di lima kabupaten, tetapi menyangkut banyak konflik lain di Jambi.(jun)

SK Tim Konflik Dipertanyakan

MEDIAJAMBI — Diam-diam ternyata Pemprov Jambi sudah membentuk tim penanganan konflik independen masalah lahan. Namun, pembentukan tim itu menuai tanda tanya. Selain tidak pernah disosialisasikan, banyak dari nama yang masuk dalam SK Gubernur Jambi nomor 368/Kep.Gub/PEM/2010 itu justru tidak pernah tahu kalau disertakan dalam tim. Sebelumnya, hanya muncul sekitar lima nama yang disebut-sebut bakal menjadi tim penanganan konflik.
Dalam SK yang ditandatangani Gubernur tanggal 22 Oktober 2010 tentang Pembentukan Tim Inventaris dan Pengkajian konflik lahan, tapal batas dan sengketa pertanahan lainnya di Provinsi Jambi Jambi, struktur tim terlihat gemuk dan cukup bervariasi. Mulai unsur Muspida, aparat penegak hukum, kepala dinas, para aktivis, media massa, advokat hingga akademisi.

Ketua PSHK-ODA, Helmi SH MH ketika dihubungi Media Jambi mengaku, belum mengetahui jika dirinya dimasukkan dalam tim ini. “Dak tau ya, dimasukkan atau tidak. Karena saat ini saya sedang di Bandung,” ujarnya. Dia mengaku mengetahui justru dari Media Jambi.
Komentar senada diungkapkan Rudi Syaf, Manager Pusinfo KKI WARSI. Menurutnya, jumlah tim mencapai 40 orang lebih sangat tidak efektif untuk penyelesaian masalah. “Untuk berkumpul saja susah, karena terlalu banyak orang,” ungkap Rudi yang mengaku tidak mengetahui, jika Gubernur sudah menandatangani SK tim tersebut.
Struktur tim juga diisi anggota dari media massa di Jambi. Pemred Media Jambi, Fitriani Ulinda, mengaku tidak tahu kalau namanya masuk dalam tim. “Saya tidak pernah tahu dan tidak pernah dihubungi,” katanya.
Demikian pula Usman, wartawan Post Metro mengatakan, sama sekali tidak tahu jika dirinya dilibatkan dalam tim ini. “Lha, dak tau itu. Ini aja baru tau kalau SK nya sudah ditandatangani. Minta ya copyan SK nya,” ujar Usman.
Dalam SK yang ditandatangi Gubernur Jambi, H Hasan Basri Agus ini, lima tugas pokok tim. Yaitu melakukan inventarisasi dan pengkajian konflik lahan, tapal batas, dan sengketa pertanahan lainnya di Provinsi Jambi. Kedua, memetakan konflik sesuai kewenangan dan memberikan rekomendasi kepada daerah Provinsi/kabupaten/Kota untuk menyelesaikan konflik sesuai kewenangannya.
Tugas ketiga, melakukan koordinasi dan menfasilitasi dengan seluruh komponen stakeholders dalam rangka penyelesaian konflik, memberikan pendapat, saran, dan pertimbangan hukum terkait dengan konflik lahan/pertanahan. Baik kepada Pemerintah, pengusaha ataupun kepada masyarakat. Kewajiban terakhir, melaporkan hasil kerjanya kepada Gubernur Jambi.
Kepala Biro Hukum Setda Provinsi Jambi, Jailani ketika dihubungi Media Jambi membenarkan, adanya SK tersebut. “Benar, SK itu asli. Masak iya ada yang palsu,” ujarnya.
Ditanya komposisi tim, Jailani mengaku tidak mengetahui persis. “Yang menyusunnya dari Biro SDA. Coba tanya pak Sepdinal. Kami hanya melihat pasal per pasalnya saja,” sambungnya. Dia mengaku tidak tahu, mengapa SK itu sampai sekarang belum diketahui oleh para anggota tim. “Wah saya tidak tahu itu,” katanya. Sementara Karo SDA, Sepdinal, tidak berhasil dihubungi. (jun)