JAKARTA-- Penyelenggaraan negara tanpa kontrol, cenderung represif, korupstif, dan kehilangan kepercayaan rakyat. Pada awal 2000, melalui Keputusan Presiden Nomor 44/2000 dibentuklah sebua badan independen untuk menjaga jalannya pemerintahan, yaitu Komisi Ombudsman Nasional (KON). Harapannya, badan itu dapat membantu memerhatikan demokratiasasi dan HAM dalam penyelenggaraan negara.
Tetapi faktanya kemudian, lembaga itu tak lebih hanya sebagai macan ompong atau anjing penjaga yang tak bergigi. Antonius Sujata, Ketua Ombudsman periode pertama (2000-2011), mengakui lembaga itu sejak awal berjalan tanpa modal. Dalam perkembangannya, berdasarkan UU No 37 tahun 2008, KON berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia.
Perubahan nama itu juga menandakan ada sebuah kekuatan lebih yang diberikan oleh pemerintah kepada Ombudsman untuk menjadi lembaga negara lapis kedua, sejajar dengan TNI dan kepolisian.
Sejak awal, lembaga itu berjalan terseok-seok, boleh dikatakan KON berangkat dari titik zero.
Semua komisioner hanya bermodalkan tekad dan semangat, hampir semuanya meraba-raba memasuki suatu ranah asing, yang untuk banyak kalangan di Indonesia merupakan daerah yang belum terpetakan.
"Meski serbakekurangan, kita terus berjalan dan berjalan," ujar Anton saat memberikan sambutan dalam acara Malam Silahturahmi dan HUT ke-11 Ombudsman RI yang digelar di Menara Peninsula, Jakarta, Kamis (10/3).
Menurut Anton, presentase tindak lanjut Ombudsman atas laporan masyarakat, boleh dibilang mencapai seratus persen. Namun, substansi permasalahan yang dikeluhkan tiap tahun selama lebih dari satu dekade tidak mengalami perbedaan. salah satu substansi yang sering dikeluhkan adalah penundaan dan tindakan yang berlarut-larut.
"Ini berarti selama lebih dari sepuluh tahun belum ada upaya berarti dari penyelenggara pelayanan publik untuk mempersingkat waktu. Fakta ini mendorong Ombudsman untuk melakukan kajian sistemik atau investigasi sistemik."
Tetapi faktanya kemudian, lembaga itu tak lebih hanya sebagai macan ompong atau anjing penjaga yang tak bergigi. Antonius Sujata, Ketua Ombudsman periode pertama (2000-2011), mengakui lembaga itu sejak awal berjalan tanpa modal. Dalam perkembangannya, berdasarkan UU No 37 tahun 2008, KON berubah menjadi Ombudsman Republik Indonesia.
Perubahan nama itu juga menandakan ada sebuah kekuatan lebih yang diberikan oleh pemerintah kepada Ombudsman untuk menjadi lembaga negara lapis kedua, sejajar dengan TNI dan kepolisian.
Sejak awal, lembaga itu berjalan terseok-seok, boleh dikatakan KON berangkat dari titik zero.
Semua komisioner hanya bermodalkan tekad dan semangat, hampir semuanya meraba-raba memasuki suatu ranah asing, yang untuk banyak kalangan di Indonesia merupakan daerah yang belum terpetakan.
"Meski serbakekurangan, kita terus berjalan dan berjalan," ujar Anton saat memberikan sambutan dalam acara Malam Silahturahmi dan HUT ke-11 Ombudsman RI yang digelar di Menara Peninsula, Jakarta, Kamis (10/3).
Menurut Anton, presentase tindak lanjut Ombudsman atas laporan masyarakat, boleh dibilang mencapai seratus persen. Namun, substansi permasalahan yang dikeluhkan tiap tahun selama lebih dari satu dekade tidak mengalami perbedaan. salah satu substansi yang sering dikeluhkan adalah penundaan dan tindakan yang berlarut-larut.
"Ini berarti selama lebih dari sepuluh tahun belum ada upaya berarti dari penyelenggara pelayanan publik untuk mempersingkat waktu. Fakta ini mendorong Ombudsman untuk melakukan kajian sistemik atau investigasi sistemik."
Penulis : Martin
Sumber: Media Indonesia