Ibu Besar Revolusi

Friday, March 11, 2011

undefined
Namanya dikenang setiap peringatan Hari Perempuan Internasional. Zetkin-lah peletak dasar gagasan sebuah momentum yang diperingati di seluruh dunia.


DI Istora Senayan, lagu Maju Tak Gentar mengalun. Sukarno tak puas. Nyanyian lagu itu terdengar melempem, dan hanya beberapa orang yang ikut menyanyi. Dia mengajak yang hadir menyanyi lagi. Kali ini dia senang. “Lha yo ngono!” ujar Sukarno.


Suasana Jakarta memang tak semeriah tahun-tahun sebelumnya. Suasana politik lagi genting pascaperistiwa Gerakan 30 September 1965. Kekuasaan Sukarno sendiri lagi di ujung tanduk. Tapi suaranya tetap lantang, pidato-pidatonya masih berapi-api.

Sukarno hadir dan memberikan pidato dalam Rapat Umum Hari Perempuan Internasional, 8 Maret 1966. Dia mengumandangkan perjuangan melawan kapitalisme dan imperialisme, agresi Amerika di Vietnam, perjuangan Irian Barat, dan tentu saja peranan perempuan. Dalam pidato itu dia menyebut nama Clara Chetkin, “koreksi ya, bukan Clara Zetkin,” ujar Sukarno seperti dikutip Budi Setiyono dan Bonnie Triyana dalam Revolusi Belum Selesai.

“Clara Chetkin itu orang apa? Pemimpin kaum buruh… Orang sosialis… Orang komunis, komunis, komunis.”

“Nah, kita sebagai Pancasilais sejati, jangan kita takut pada perkataan komunis itu, Saudara-saudara. Sebab, sekarang ini penentangan kepada komunis itu pun menjadi kecap.” 

Tak banyak yang dikatakan Sukarno tentang Zetkin. Dia hanya menyebut upaya Zetkin menggalang solidaritas internasional, mengadakan Kongres Wanita Internasional I pada 1910, dan pandangan Zetkin tentang ofensif kapitalisme bagi progresivitas kaum perempuan. Tapi berkat Sukarno, nama Clara Zetkin dikenal di Indonesia. Selain dalam pidato-pidatonya, Sukarno menulis nama Zetkin berkali-kali dalam buku Sarinah. Sukarno menjuluki Zetkin sebagai ”ibu besar revolusi.”

Nama Zetkin dikenal di Indonesia karena Soekarno berkali-kali menyebut namanya. Sulami, wakil sekjen Gerwani, seperti dikutip dari buku Saskia Wieringa, Penghancuran Gerakan Perempuan Indonesia, bilang terinspirasi akan gerakan perempuan dan membaca karya-karya Zetkin karena mendengar nama Zetkin disebut-sebut Sukarno. Tulisan-tulisan Zetkin kemudian dibaca para pemimpin Gerwani dan juga menjadi bahan dalam kursus-kursus kader yang dilakukan Gerwani.

Clara Zetkin lahir dengan nama Clara Eissner, di sebuah daerah pertanian di Sanken, Jerman Timur, pada 5 Juli 1857. Ayahnya, Gottfried Eissner, seorang kepala sekolah yang cukup terhormat sekaligus penganut Protestan yang taat. Ibunya, Josephine Vitale Eissner, berasal dari kalangan terdidik dari Leipzig. Setelah kematian sang ayah, keluarga mereka bangkrut. Mereka hidup pas-pasan. Tapi ibunya terus mendorongnya untuk maju dan mengenyam pendidikan tinggi.

Sekitar rumahnya di Sanken terdapat kawasan pabrik. Setiap hari Zetkin menyaksikan kehidupan kaum buruh yang miskin, berpeluh, dan sesak nafas di bawah cerobong asap. Mayoritas buruh perempuan. Diam-diam kenangan akan kegetiran hidup kaum buruh itu mengendap di kepala Zetkin.

Tamat sekolah menengah pertama, dia masuk ke sekolah guru di kota Leipzig, daerah asal ibunya. Di kota inilah Zetkin berkenalan dengan Ossip Zetkin, aktivis Marxis dari Rusia. Dari diskusi-diskusi, Zetkin mengenal gerakan perempuan dan buruh.

Namun situasi Jerman memanas. Pada 1878, Rezim Bismarck memberangus gerakan dan kegiatan kaum sosialis di Jerman. Zetkin, Ossip, dan sejumlah aktivis diburu. Mereka melarikan diri ke Zürich dan Paris. Di sana Zetkin menyamar dengan bekerja sebagai guru. Dia juga menikah dengan Ossip Zetkin, serta melahirkan dan membesarkan anak dalam suasana perburuan yang menegangkan. Tapi, pada Januari 1889, Zetkin harus kehilangan suaminya yang meninggal karena penyakit tbc.

Zetkin kembali ke Jerman bersama kedua anaknya setelah suasana aman. Dia bertekad melanjutkan perjuangan di negerinya sendiri. Di Jerman, dia bertemu dengan Rosa Luxemburg, sesama aktivis Partai Sosial-Demokratik Jerman (SPD), perempuan cerdas dan pemberani yang kelak menjadi kawan karibnya terpercaya. Kedua perempuan ini menjadi tokoh utama dari sayap revolusioner partai.


Zetkin gigih mengkampanyekan isu-isu perempuan, termasuk kesempatan yang sama dan hak memilih dalam pemilu. Semua dituangkannya dalam Die Gleichheit (Equality), koran partai khusus perempuan pertama yang beredar di Jerman, tempat Zetkin menjadi editornya. Dia kemudian bergabung dengan Partai Sosial-Demokratik Independen (USPD) –pecahan dari SPD– yang berhaluan kiri dan mengambil posisi antiperang. Dia juga mendirikan organisasi politik bawah tanah Spartakusbund (Spartacus League) yang kemudian bernama Partai Komunis Jerman (KPD) dan bergabung dengan Komintern (Komunis Internasional) pada 1919.

Aktivitasnya kerap membuatnya jadi buruan. Kawan karibnya, Luxemburg, termasuk yang kena tangkap, disiksa, dan meninggal dunia. Setelah kematian Luxemburg, Zetkin menjadi pemimpin komunis perempuan yang dominan di Jerman. Tanpa kenal lelah dia mendatangi daerah-daerah pertanian dan pabrik-pabrik, berpidato tentang hak-hak perempuan. Padahal saat itu Zetkin mulai lemah dan sakit-sakitan. Usianya nyaris setengah abad.

Menjelang 1920, Zetkin diangkat menjadi pengurus Komintern –kemudian anggota komite eksekutif hingga 1933. Dia juga mengelola newsletter Die Kommunistin dengan sasaran para perempuan KPD. Posisinya di Komintern membuatnya perhatiannya tersita pada agitasi internasional. Dia membentuk komite perempuan komunis di berbagai negara dan mempertemukan mereka dalam kongres untuk membahas tentang perempuan pekerja dan kesejahteraan sosial bagi ibu-anak.

Zetkin sering mendiskusikan persoalan perempuan dalam revolusi komunis dengan Lenin, yang tak menampik peranan kaum perempuan dalam Revolusi Rusia. Tak jarang Zetkin berseberangan pendapat dengan Lenin. Di dalam partai, Zetkin gigih mendiskusikan secara terbuka isu-isu kesetaraan. Lenin menegurnya. Bagi Lenin, mendiskusikan isu-isu perempuan tak memberikan kontribusi dalam perjuangan revolusioner. Zetkin menolaknya. Menurutnya, ada kebutuhan bagi perempuan untuk memahami dan menghubungkan penindasan yang terjadi di ruang privat dan publik.

Ide Zetkin, yang kemudian dikenang di seluruh dunia, terjadi pada 8 Maret 1910. 

Dalam Konferensi Perempuan Sosialis II di Kopenhagen, dia mengusulkan tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan Internasional untuk mengenang dan mengambil semangat gerakan protes buruh garmen di New York pada 1857 dan 1908. Peserta konferensi sepakat menetapkan tanggal 8 Maret sebagai Hari Perempuan International, dan menuntut hak pilih untuk semua orang sebagai simbol perjuangan. Setahun kemudian, untuk kali pertama peringatan Hari Perempuan Internasional digelar di Jerman, Denmark, Zwiserland, dan Amerika dengan melakukan demonstrasi massal kaum pekerja perempuan.

Di Indonesia, di tahun 1950-an dan awal 1960-an, peringatan itu selalu dilakukan, terutama oleh Gerakan Wanita Sedar (Gerwis) yang kemudian berubah menjadi Gerwani. Pada peringatan tahun 1954, misalnya, seperti dikutip dari Saskia Wieringa, Gerwis menekankan tuntutan hak-hak perempuan dalam perkawinan, perhatian terhadap moralitas, dan masalah feminis lainnya. Pada peringatan tahun 1955 dilakukan aksi perdamaian dan protes terhadap percobaan senjata nuklir dan pendudukan Belanda atas Irian Barat.


Peringatan Hari Perempuan Internasional 1966 tampaknya menjadi yang terakhir di Indonesia. Setidaknya tak terdengar peringatan serupa selama pemerintahan Suharto, yang menggantikan Sukarno dan komunisfobia. Nama Clara Zetkin pun menjadi asing. Di era reformasi, meski gaungnya tak sekuat pada masa Orde Lama, peringatan itu muncul kembali.


Pada 1932, kendati telah berusia 75 tahun, Zetkin sekali lagi terpilih menjadi anggota Parlemen. Sebagai anggota tertua dia berhak membuka sesi pertama Parlemen. Zetkin berpidato panjang dan keras mengecam kebijakan Adolf Hitler dan Partai Nazi. Akibatnya, dia diasingkan ke Moskow. Pada 20 Juni 1993, di pengasingan, di Arkhangelskoye, dekat Moskow, Zetkin wafat dalam usia 76 tahun. 

Zetkin, seorang jurnalis, orator, sekaligus pemikir Marxis terkemuka, yang populer dengan slogannya: “Buruh di seluruh dunia, bersatulah!, telah meninggalkan jejaknya untuk perjuangan kaum buruh dan perempuan di dunia.

(Tim JLC)




 

Disarikan dari Majalah Historika