Musri Nauli
Berkumpulnya dosen pengampu Filsafat Hukum jauh dari hiruk pikuk liputan media massa yang terjebak dengan liputan mengenai Koalisi, masalah Jamaah Ahmadiyah atau liputan masalah politik kontemporer lainnya. Berkumpulnya dosen pengampu filfsafat hukum ‘seakan-akan” mempertanyakan fungsi hukum didalam memperjuangkan keadilan di tengah carut marut reformasi. Berkumpulnya dosen pengampu filsafat hukum “sekali lagi” menegaskan akan kurikulum Fakultas Hukum yang hanya mencetak sarjana hukum Positivisme dan gagal menjadi “jurist” yang lantang memperjuangkan keadilan. Website Hukumonline. Para ‘Filsuf Hukum’ Berkumpul di Bandung.
(http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt4d75d4242dda2/Para+%E2%80%98Filsuf+Hukum%E2%80%99+Berkumpul+di+Bandung)
Entah apa yang sesungguhnya terjadi. TIdak ada yang bisa merumuskan dengan pasti. Kalangan industry menggugat kampus yang gagal mencetak sarjana hukum yang siap pakai. Sementara kalangan kampus menuding, pasar yang membuat sarjana hukum menjadi sarjana yang pragmatis yang gagal menerapkan etika ilmu pengetahuan dan gagal menjadi pejuang hukum hukum (jurist) dan terjebak menjadi kaum legisme yang terkotak pada aturan normative hukum yang sempit.
Dari ranah inilah, sebenarnya sudah semestinya, kurikulum Fakultas Hukum harus dirumuskan ulang. Dalam praktek peradilan, penulis merasakan kegelisahan yang kadang-kala seakan-akan melupakan kaidah-kaidah ilmu hukum. Para praktisi hukum kemudian “hanya”membaca rumusan pasal suatu produk perundang-undangan tanpa menangkap makna tersirat dan makna keadilan (kajian filosofi). Para praktisi kemudian berdebat “kata perkata” tanpa menangkap pesan dari sebuah produk perundang-undangan itu diterbitkan (suasana kebatinan/geistlichen hintergrund). Bahkan banyak praktisi hukum yang justru tidak menguasai tentang Prinsip-prinsip hukum, asas-asas hukum, bahkan teori yang melingkupi suatu peraturan perundang-undangan. Pengetahuan dasar ini hanya berkutat tentang Perbuatan melawan hukum (onreghtmatiigdaad) dalam lapangan hukum perdata, asas pemerintahan yang baik (Algemene Beginselen van Behoorllijke Bestuur´ (ABBB) dalam lapangan hukum administrasi negara, atau asas “praduga tidak bersalah” (presumption of innocent) dalam lapangan hukum acara pidana. Selain dari itu, hampir praktis, seperti mahasiswa baru yang hendak kuliah semester awal di Fakultas Hukum. Terbengong-bengong dan mulut menganga seperti baru mendapatkan pelajaran baru.
Sekedar catatan, penulis pernah memaparkan berbagai kekeliruan para sarjana hukum didalam menguraikan pemikirannya.
MENGAJUKAN PENINJAUAN KEMBALI (Herzeening/PK) NAMUN JUGA MENGAJUKAN GRASI
Masih ingat dari ingatan publik, disaat bersamaan, Tommy Soeharto yang telah dijatuhkan putusan pidana oleh MA kemudian mengajukan PK (Herzeening/PK). Disaat bersamaan kemudian mengajukan grasi. Alasan yang disampaikan, mengajukan PK dan grasi bersamaan tidak diatur/dilarang oleh ketentuan hukum (peraturan perundang-undangan).
Didalam KUHAP, PK merupakan upaya hukum luar biasa. Artinya, terdakwa dengan sikap tidak menerima putusan kasasi dan melakukan perlawanan. Sikap perlawanan harus diterjemahkan, terdakwa tetap keberatan dan tetap merasa tidak bersalah dan mengajukan keberatannya melalui mekanisme PK. Dengan demikian, maka harus ditafsirkan, terdakwa tetap “merasa tidak bersalah” dan masih “mempersoalkan” Putusan Kasasi.
Sikap berbeda ditujukan apabila terdakwa mengajukan grasi. Grasi yang disampaikan terdakwa sebenarnya diartikan, terdakwa telah menyatakan bersalah dan memohon pengampunan (baik dengan meminta pengurangan hukum maupun pengampunan lainnya).
Dengan demikian, walaupun tidak diatur didalam ketentuan normatif, maka mengajukan PK dan grasi bersamaan, menimbulkan komplikasi yang serius. Apakah bisa mengajukan PK dengan menyatakan “tidak bersalah” dan kemudian mengajukan grasi “memohon ampunan”. Menurut penulis, kekeliruan ini didasarkan kepada kaum jurist yang tidak memaknai hakiki dari PK dan grasi itu sendiri.
PEMANGGILAN PEJABAT DAERAH OLEH PENGADILAN
Perdebatan ini bermula, disaat Ketua Majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara water boom hendak memanggil Gubernur Jambi. Sebagian kalangan menganggap pemanggilan Gubernur harus seizin Presiden. Namun ketika didesak menggunakan argumentasi hukum, kaum jurist kesulitan menjelaskan. Yang pasti menurut pasal 36 UU No. 32 tahun 2004 hanya mengatur ditingkat penyelidikan/penyidikan. Dengan demikian, siapapun yang dipanggil menjadi saksi dimuka persidangan tidak memerlukan izin tertulis dari Presiden.
BELUM ADA IZIN DARI PRESIDEN TERHADAP KEPALA DAERAH
Begitu juga terhadap pemeriksaan Kepala Daerah yang diminta keterangan sebagai saksi dalam perkara proyek di Muara Jambi. Kejaksaan bersikukuh telah mengirimkan surat kepada Presiden untuk memeriksa kepala Daerah. Namun kejaksaan kemudian bersikukuh belum menerima surat izin dari Presiden dan belum melakukan pemeriksaan. Padahal apabila dibaca pasal 36 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004, walaupun penyidik telah mengajukan surat permohonan izin melakukan pemeriksaan kepada Presiden, namum apabila setelah lewat waktu 60 hari, Presiden belum memberikan persetujuan tertulis, pemeriksaan dapat dilanjutkan.
Argumentasi yang disampaikan, penyidik tidak berani melakukan pemeriksaan disebabkan akan dipersoalkan prosedural dimuka persidangan dapat dibantah dengan bukti pengiriman surat yang disampaikan oleh penyidik kepada Presiden. Dengan melihat bukti-bukti formal, maka dapat diketahui, penyidik telah melakukan mekanisme berdasarkan pasal 36 ayat (2) UU No. 32 Tahun 2004 dan pemeriksaan terhadap pihak kepala Daerah yang bersandarkan kepada alasan belum ada persetujuan tertulis dari Presiden dapat dibantah.
MENGAJUKAN PK PERKARA PRAPERADILAN
Masih segar dalam ingatan kita, kasus Praperadilan yang diajukan Anggodo terhadap SKPP Kejaksaan Agung terhadap Bibit-Chandra. Kejaksaan Agung kemudian mengajukan PK. Entah disengaja atau tidak, namun pengajuan PK sebenarnya sudah diatur didalam UU No. 5 Tahun 2004. Didalam pasal 46A sudah ditegaskan tidak dimungkinkan PK terhadap perkara yang berkaitan dengan praperadilan.
Namun aturan yang secara tegas normatif didalam UU ternyata menimbulkan reaksi yang berbeda. MA yang menolak pengajuan PK kasus Praperadilan disikapi dengan argumentasi yang aneh. Alih-alih menerima putusan MA, malah MA diteriaki dan dituduh tidak mendukung pemberantasan korupsi. Dari sudut pandang ini, penulis yang semula menganggap kaum jurist hanya dari advokat, kemudian penulis juga menganggap tidak semata-mata kaum jurist dari kalangan advokat, juga para pihak yang teriak dan tidak memahami ketentuan normatif yang “sesat pikir”.
HUKUM NASIONAL LEBIH BAIK DARIPADA HUKUM ADAT
Dalam perselisihan antara masyarakat marginal (termasuk masyarakat adat) berhadapan dengan negara, Pemerintah sering menggunakan argumentasi yang bertujuan mendeskriditkan hukum adat. Argumentasi yang paling sering disampaikan, hukum adat ketinggalan, kuno, tidak tertulis, terpinggirkan, magis dan hanya diketahui dan dimengerti kalangan hukum adat itu sendiri.
Padahal, Hukum Adat terbukti mampu menyelesaikan berbagai persoalan. Hukum adat mempunyai nilai-nilai yang terbukti dihormati masyarakat. Nilai yang menjadi pegangan dan dihormati masyarakat, Titian Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena hujan, “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabbullah.
Nilai yang terkandung didalam “Titian Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena hujan, “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabbullah, menurut Ajaran Hukum Murni hipotesis yuridis yang disebutnya Grundnorm.
Nilai yang terkandung didalam “Titian Teras bertangga batu. Cermin nan tak kabur. Lantak nan tak goyang, kaping idak tagensuo. Tidak lekang karena panas tidak lapuk karena hujan, “Adat bersendikan syarak, Syarak bersendikan kitabbullah, dalam Teori stufenbau, menyatakan bahwa sistem hukum merupakan sistem anak tangga dengan kaidah berjenjang dimana norma hukum yang paling rendah harus berpegangan pada norma hukum yang lebih tinggi, dan kaidah hukum yang tertinggi (seperti konstitusi) harus berpegangan pada norma hukum yang paling mendasar (grundnorm). Menurut Kelsen norma hukum yang paling dasar (grundnorm) bentuknya tidak kongkrit (abstrak). (LUAK XVI DALAM PERSPEKTIF HUKUM. Posmetro, 6 OKtober 2010)
Dari berbagai sesat pikir yang disampaikan kaum jurist, maka kaum jurist terjebak kedalam tataran pasal-pasal normatif, tanpa melihat “suasana kebathinan” pembuatan suatu produk hukum. Kaum jurist kemudian menjadi robot yang menterjemahkan pasal-pasal kaku dari suatu produk hukum tanpa melihat essensi dari nilai produk hukum tersebut. Kaum jurist tidak melihat makna “keadilan” dan roh dari suatu produk hukum. Kaum jurist berdebat dengan pasal-pasal dan menghapal pasal-pasal dengan “lettelijk”
Kondisi ini memang miris dan menyedihkan. Sehingga dari kesalahan ini, maka bisa dimengerti, carut marut hukum disebabkan dari kesalahan sarjana hukum itu sendiri.
Dari kegelisahan inilah, berkumpulnya kaum FIlsuf Hukum harus diberi ruang apresiasi yang pantas. Kegelisihan Filsuf Hukum didasarkan gugatan terhadap terhadap pembekalan sarjana hukum yang “kering” makna filosofi. Pembekalan hukum juga harus dimaknai agar “ilmu hukum” menjadi jiwa dari nilai keadilan dalam perjalanan bangsa.
Advokat