PENEGASAN SISTEM PRESIDENSIAL DALAM UUD 1945

Friday, March 4, 2011

Lembaga Kepresidenan hanya ada dan dikenal dalam suatu sistem pemerintahan negara yang menganut Presidensial. Secara teoritis Presiden berkedudukan sebagai kepala pemerintahan dan kepala negara, sehingga tidak dikenal adanya pemisahan kekuasaan antara kepala negara dan kepala pemerintahan. Didalam teori maupun praktek, organ kepresidenan terdiri dari Presiden dan Wakil Presiden.
Menurut Jimly Asshiddiqie, terdapat pembedaan tugas dan kewenangan antara Presiden dan Wakil Presiden. Tugas dan Kewenangan Presiden dan Wakil Presiden antara lain adalah: 1. kewenangan yang bersifat eksekutif atau menyelenggarakan pemerintahan berdasarkan UUD 1945, 2. kewenangan yang bersifat legislatif atau untuk mengatur kepentingan umum, 3. kewenangan yang bersifat yudisial dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan pengadilan misalnya: pengurangan hukuman, memberikan pengampunan atau penghapusan tuntutan, 4. kewenangan yang bersifat diplomatik yaitu menjalin hubungan dengan negara lain atau subyek internasonal dalam konteks hubungan internasional, 5. kewenangan yang bersifat untuk mengangkat dan memberhentikan orang dalam jabatan-jabatan kenegaraan. (Jimly Asshiddiqie, 2005 : 75)
Sedangkan Wakil Presiden menurut Jimly, berperan sebagai wakil yang mewakili Presiden, pengganti yang menggantikan Presiden, pembantu yang membantu presiden, pendamping yang mendampingi presiden, dan sebagai wakil yang bersifat mandiri. Dalam menjalankan tugas dan wewenangnya, secara konstitusional Presiden dan Wakil Presiden harus bertindak sebagai satu kesatuan subyek jabatan kepresidenan.
Secara implisit pengaturan kekuasaan lembaga kepresidenan terdapat dalam Bab III UUD 1945 setelah amandemen. Lembaga Kepresidenan memiliki posisi yang kuat dalam menduduki jabatanya. Hal ini memang sesuai dengan karakteristik sistem presidensial secara teoritik. (Jimly Asshiddiqie, 2005: 75)
Realitas yang terjadi bahwa masyarakat memandang jabatan Presiden dan Wakil Presiden dari segi ketokohan personal bukan institusi. Pada periode-periode awal berdirinya Republik Indonesia, personalisasi itu nampak dalam diri Dwi Tunggal Soekarno-Hatta, kemudian setelah Hatta mengundurkan diri, maka personalisasi nampak pada diri Presiden Soekarno, bahkan sampai kemudian dikukuhan dengan Ketetapan MPRS No. III/MPRS/1963 tentang Pengangkatan Pemimpin Besar Revolusi Indonesia Bung Karno Menjadi Presiden Republik Indonesia Seumur Hidup. TAP MPR ini semakin memperlihatkan personalisasi dan kultus individu dari Presiden Soekarno sebagai Presiden Pertama Republik Indonesia. Bahkan mungkin sampai sekarang kultus dan personalisasi terhadap Presiden Soekarno masih nampak di beberapa kalangan rakyat Indonesia. Hal serupa terjadi pada saat Presiden Soeharto berkuasa, personalisasi dan kultus individu juga nampak. Salah satu keberhasilan membangun kultus individu dan personalisasi diri nampak dalam keberhasilannya berkuasa lebih dari 30 tahun.
Selama era pemeritahan Presidensial yang menunjukkan kultus individu dan personalisasi terebut, nampak terjadi apa yang disebut dengan ”pengerdilan” kedudukan dan fungsi dari wakil presiden. Fenomena mundurnya Muhammad Hatta, kemudian Wapres selama Orde Baru yang seolah-olah hanya menjadi ”ban serep” semata, adalah bukti nyata bahwa institusi kepresidenan harusnya ditata ulang, salah satunya adalah mengenai pembagian kerja diantara Presiden dan Wakil Presiden.
Personalisasi lembaga kepresidenan juga nampak dari pandangan umum yang hanya memandang bahwa lembaga kepresidenan adalah hanya terdiri dari Presiden dan Wapres saja. Padahal dalam praktek dilapangan, lembaga kepresidenan adalah terdiri dari banyak staf dan pembantu-pembantu Presiden. Jadi bukan hanya kabinet saja yang membantu presiden, namun juga staf-staf khusus yang merupakan orang-orang ahli, profesional dan kepercayaan presiden yang membantu presiden. Didalamnya juga terdapat pegawai-pegawai protokoler istana, Pasukan Pengawal Presiden (Paspampres).
Lebih dari itu, kordinasi pembuatan kebijakan seperti Peraturan Pemerintah (PP), Keputusan Presiden (Kepres) dan sejenisnya juga harus di tata ulang. Sebab selama ini pembuatannya sanga desentralistik dan parsial dalam arti dibuat oleh masing-masing departemen yang bersangkutan tanpa kordinasi dengan departemen lainnya. Setelah di paraf oleh Sekertariat Negara dan Sekertariat Kabinet, maka Presiden kemudian menandatanganinya. Dalam hal ini lembaga Kepresidenan belum mempunyai kewenangan dan tugas untuk mencerna dan menganalisa setiap PP atau Kepres atau peraturan lain dari menteri agar sesuai dengan visi dan misi presiden. Disinilah letak dari fungsi dan tugas lembaga kepresidenan yang terdiri dari staf ahli yang bertugas mereview dan menelaah semua produk hukum dibawah UU yang menjadi merupakan ranah kekuasaan eksekutif untuk membuat aturan operasional, sehingga arah dan langkah legislasi yang dilakukan oleh presiden maupun menteri-menterinya akan bisa tertata dengan baik. (Jazim Hamidi 2009 : 115)
Kasus teraktual yaitu permasalahan Legalitas Jaksa Agung yang di gugat oleh Yusril Ihza Mahendra, sebenarnya di satu sisi menunjukkan bahwa ada masalah serius dalam penguatan sistem Presidensial Indonesia. Ketidakjelasan legalitas Hendarman Supandji, apakah termasuk dalam anggota Kabinet atau bukan dan juga kapan berakhirnya masa jabatan seorang Jaksa Agung, sebenarnya adalah masalah serius dalam mekanisme negara hukum dan sistem presidensial yang dianut oleh Indonesia.
Dengan melakukan reposisi dan reformulasi lembaga kepresidena, maka akan jelas bagaimana Hubungan sistem dan Hubungan Kerja antara Presiden dengan Kejaksaan dan Kepolisian. Apakah hanya hubungan fungsional dan administrasi, ataukah hubungan hukum dan kelembagaan. Sebab selama ini, persepsi yang ada bahwa Kejaksaan dan Kepolisian berada di bawah kekuasaan Presiden.
Oleh karenanya maka gagasan tentang perlunya pengaturan mengenai lembaga kepresidenan memang diperlukan. Bukan hanya mengenai pembagian tugas Presiden dan Wapres, Kementrian Negara dan Dewan Pertimbangan Presiden saja, namun juga keberadaan Staf Khusus dan semua perangkat di lembaga kepresidenan juga perlu dilata ulang. Oleh karenanya perlu sebuah norma konseptual dan tekni yang akan mengatur mengenai hal tersebut agar tidak terjadi kerancuan dan tumpang tindih didalam lembaga kepresidenan yang sedang mengalami banyak perubahan ini.
Lembaga Kepresidenan adalah satu-satunya lembaga yang belum mempunyai payung hukum. Dibandingkan dengan DPR, DPD, MPR yang sudah memiliki UU Susduk, BPK yang sudah ada UU nya, MA, MK juga sudah memiliki, bahkan Kementrian dan Dewan Pertimbangan Presiden jua sudah memiliki, maka kebutuhan suatu produk UU yang mengatur tentang Lembaga Kepresidenan juga diperlukan. 
Selain itu hal ini juga untuk mencegah agar lembaga kepresidenan tidak menjadi ajang pembagian kue kekuasaan sehingga lebih profesional dan diisi oleh orang-orang yang ahli dibidangnya. Dengan demikian Presiden akan lebih memiliki visi dan misi yang lebih jelas dan terang dalam sistem presidential.

_________________________________
Penulis: Dody Nur Andriyan
Editor: Tim JLC