: | Ridwan Akbar |
: | |
: | Hukum Potong Tangan dan Rajam Bukan Bagian Dari Hukum Islam? |
: | Saya sangat setuju kalau hukum atau peraturan-peraturan dalam ajaran agama Islam yang bersumber pada nash, Hadits, Analogi atau qiyasan dan Ijma para sahabat itu diterapkan secara kaffah atau menyeluruh. Ya, Ajaran islam sendiri tidak hanya mengatur masalah yang berkenaan dengan ibadah saja sebagaimana ajaran agama yang lainnya. Kalau kita telaah isi dari nash/Al Qur'an dan Hadits, sebagian besar isinya adalah mengenai peraturan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan, baik itu berhubungan dengan Sistem Ekonomi, Sistem Pemerintahan, Politik, Sosial, Kesehatan dll. Ada beberapa hukum islam yang didalamnya banyak menuai pro dan sebagian besar kontra. Diantaranya adalah Hukuman bagi penzinah yang sudah pernah menikah (Muhshon) adalah dirajam/dilempari batu hingga mati dan Hukuman bagi pencuri adalah dipotong tangannya. Hukuman bagi penzinah yang sudah pernah menikah (Muhshon) adalah dirajam/dilempari batu hingga mati. Mereka yang kontra mempunyai opini yaitu mengenai hukum rajam tersebut dirawi oleh satu orang perawi yaitu Ubadah bin Ash Samit, sehingga kedudukan hadis ini adalah ahad, yang sifatnya tidak qath'i (mutlak). Golongan yang kontra ini hanya menerima hadis yang mutawatir (diriwayatkan oleh lebih dari tiga orang perawi) yang dapat dijadikan sebagai hujjah hukum. Perdebatan lainnya adalah mengenai otoritas ayat al-Quran terhadap dalil hadis sebagai landasan penerapan hukum rajam, dimana sebagian pendapat menyatakan bahwa penetapan (praktek) hukuman rajam dilakukan oleh Rasulullah sebelum turunnya Surah An-Nur ayat 2, sehingga setelah ayat al-Quran tersebut diturunkan tidak pernah terjadi lagi praktek rajam pada masa Rasulullah. Jadi mereka berpendapat baik penzinah yang belum pernah menikah (Ghoiru Muhshon ataupun para penzinah yang pernah menikah (muhshon) hukumannya adalah sam! a, yaitu didera/cambuk sebanyak 100 (seratus) kali, sebagaimana ayat al-Quran surah An-Nur ayat 2. Hukuman bagi pencuri adalah dipotong tangannya. Hukuman potong tangan tersebut harus disesuaikan dengan apa yang telah dicurinya. Mereka yang kontra mempunyai pendapat sendiri yaitu seperti penuturan berikut ini; Yang dimaksud dengan "potong tangan" sebagaimana ditegaskan dalam ayat adalah "mencegah melakukan pencurian". Pencegahan tersebut dapat diwujudkan dengan penahanan dalam penjara dan sebagainya, tidak mesti harus dengan jalan potong tangan. Dengan demikian, ayat tersebut dapat berarti: Pencuri laki-laki dan pencuri perempuan, cegahlah kedua tangannya dari mencuri dengan cara yang dapat mewujudkan pencegahan. Golongan ini mengemukakan alasan bahwa kata memotong (al-qath'u) arti aslinya adalah semata-rnata pencegahan (al-man'u), dengan alasan sebagai berikut. 1. Menurut sebuah riwayat, Rasulullah memberi hadiah kepada Aqra' bin Habis At-Tamimi dan 'Uyainah bin Hisn Al-Fazari masing-masing seratus ekor unta, sedangkan kepada 'Abbas bin Mardas Nabi memberikan hadiah kurang dan seratus ekor unta. Kemudian 'Abbas mendendangkan syair di hadapan Nabi yang mengutarakan bahwa kedudukan dan perjuangannya jika tidak lebih maka tidak dapat dipandang kurang dari Aqra' dan 'Uyainah tersebut. Ketika mendengar syair 'Abbas yang dibaca berulang-ulang itu, Nabi berkata kepada para sahabat: iqthaÕu anni lisanahu (secara harfiah berarti: potonglah dari aku lidahnya). Para sahabat kemudian memberikan kepada 'Abbas tambahan sampai seratus unta, sebagaimana Nabi telah memberikan kepada Aqra' dan 'Uyainah. Kalaulah kata qatha 'a berarti pemotongan, tentu para sahabat memotong lidah 'Abbas. Tetapi mereka menanggapi perkataan Nabi tersebut tidak menurut arti lahirnya, yaitu pemotongan lidah. Melainkan memahaminya agar mencegah lidah 'Abbas dari mengoceh dan mengemukakan protesnya, dengan mencukupkan bilangan unta seratus ekor. Dengan demikian, perkataan Nabi tersebut tidak diartikan oleh para sahabat dengan "potonglah lidahnya", tetapi diartikan "cegahlah lidahnya." 2.Menurut riwayat, Laila Al-Akhiliah pernah membacakan kasidahnya untuk memuji Panglima Hajjaj. Hajjaj berkata kepada ajudannya: 'iqtha Ôanni lisanaha" Mendengar perintah ini, ajudan tersebut membawa Laila ke tukang besi untuk dipotong lidahnya. Ketika dilihatnya tukang besi mengeluarkan pisau, Laila berkata: "Bukan itu yang dimaksudkan Hajjaj, tetapi ia memerintahkan agar engkau memotong lidahku dengan hadiah, bukan dengan pisau." Setelah ajudan kembali bertanya kepada panglima, ia membenarkan pendapat Laila, sehingga ajudan tersebut mendapat celaan dari panglima karena kebodohannya. Sekiranya kata qhathaÕa diartikan memotong secara sempit, tidaklah wajar Hajjaj memarahi ajudannya. Panglima Hajjaj dan Laila terkenal sebagai pujangga dan sastrawan Arab pada masa Daulah Bani Umayyah yang kata-katanya dapat dijadikan hujjah dalam memahami bahasa Arab. Sedangkan ahli bahasa sependapat bahwa bahasa Arab pada masa Umayyah dan permulaan Daulah 'Abbasiah sampai dengan masa Abu Al-'Atahiyah (sastrawan Arab terkenal pada masa Abbasiah yang wafat pada 211 H) dapat dijadikan hujjah. (Sumber:webtwin.com) Pendapat saya pribadi mengenai hukuman rajam sampai mati pada khasus perzinahan yang sudah pernah menikah (Muhshon), saya kurang setuju, dan cenderung lebih berat kepada pendapat diatas yang kontra. Memang sih pendapat tersebut sempat pula dilontarkan oleh golongan khawarij. Tapi kita harus bersikap bijak, jangan terlalu berpandangan negatif saja pada suatu golongan tetentu. Karena khawarij adalah segolongan manusia biasa, sama seperti kita. Toh yang namanya manusia tempatnya adalah salah dan benar. Sedangkan untuk pendapat saya mengenai hukum potong tangan bagi pencuri, saya setuju. Karena hukum potong tangan bagi pencuri disamping efek jeranya sangat besar untuk sipelaku/pencuri sehingga kapok, juga dalil-dalilnya telah dikemukakan secara jelas (shorohatan) walaupun pada QS Al-Ma'idah (6) ada para ulama yang berbeda pendapat dari segi bahasa dan penafsiran. Dan perlu dicatat baik-baik, bahwasannya hukum potong tangan bagi pencuri tidak serta-merta asal potong tangan, melainkan ada peraturannya. Hukuman potong tangan baru akan dijatuhkan apabila seseorang mencuri barang milik orang lain dari tempat penyimpanan yang layak senilai 94 gram emas atau lebih. Sementara yang mengambil barang senilai 64 gram emas sampai dengan 94 gram emas, maka akan dicambuk paling tinggi 45 kali dan paling rendah 15 kali. Atau memilih didenda senilai Rp 45 juta atau paling rendah Rp 15 juta. atau dipidana penjara paling lama 7 tahun enam bulan atau paling rendah dua tahun enam bulan. Mungkin hanya itu saja sekilas pengetahuan saya yang disampaikan pada Catatan Akbar ini. Saya melalui blog ini mencoba untuk bertaqlid muttabi. Mohon maaf apabila para pembaca sekalian yang dirohmati oleh Allah SWT ada yang tersinggung dengan tulisan saya ini baik yang dituturkan secara sengaja ataupun tidak disengaja.. Semoga informasi ini dapat diterima oleh pembaca dan juga bermanfaat. Jazakumullah. Penulis:R. A. |
Powered by EmailMeForm