: | AKBAR KURNIA PUTRA |
: | |
: | Freedom of Navigation |
: | Pendahuluan Dalam sejarah hukum laut, perdagangan internasional yang kita kenal dengan istilah ekspor-impor barang antar Negara diangkut oleh kapal melalui pelayaran di laut. Dan sampai saat ini, sarana vital yang menyangkut pelayaran guna mengangkut barang-barang ekspor-impor dalam perdagangan internasional itu mendominasi kurang lebih 90% arus perdagangan barang antar negara. Pelayaran internasional yang mendorong perdagangan lintas batas tersebut dikuasai oleh Negara-negara maju yang memiliki armada kapal yang besar dan kuat, sehingga Negara-negara berkembang meskipun memiliki laut, belum mendapatkan keuntungan yang optimal dari pelayaran internasional tersebut. Pelayaran internasional berada di bawah wadah organisasi dunia, yang disebut International Maritime Organization atau IMO yang bermarkas di London, Inggris. IMO telah banyak mengeluarkan berbagai aturan pelayaran internasional yang mengikat setiap Negara termasuk Indonesia dan Indonesia juga telah meratifikasi beberapa perjanjian internasional yang dibuat oleh IMO tersebut. Konvensi Hukum Laut 1982 yang lebih bersifat publik juga telah mengatur sebagaimana yang terdapat dalam beberapa pasal antara lain Pasal 17- 45, Pasal 52-53, Pasal 87, dan Pasal 90. Indonesia sendiri sudah mempunyai Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang baru-baru ini sudah diamandemen Perumusan Masalah Perumusan masalah dari makalah ini adalah menyangkut hal-hal apa saja yang diatur di dalam pelayaran internasional menurut United Nations Convention on the Law of the Sea 1982 Pembahasan (1) Pelabuhan Pelabuhan (ports) yang diatur dalam Konvensi Hukum laut 1982 dihubungkan dengan penetapan batas laut territorial suatu negara sebagaimana terdapat dalam Pasal 11 yang berbunyi: "For the purpose of delimiting the territorial sea, the outermost permanent harbor works which form an integral part of the harbour system are regarded as forming part of the coast. Off-shore installations and artificial island shall not be considered as permanent harbour works" (untuk maksud penetapan batas laut territorial, instalasi pelabuhan permanen yang terluar yang merupakan bagian integral dari sistem pelabuhan dianggap sebagai bagian dari pada pantai. instalasi lepas pantai dan pulau buatan tidak akan dianggap sebagai instalasi pelabuhan yang permanen) Sedangkan di dalam Pasal 12 Konvensi Hukum Laut 1982, juga diatur mengenai Tempat Pelabuhan di Tengah Laut (roadsteads): "Roadsteads which are normally used for the loading, unloading and anchoring of ships, and which would otherwise besituated wholly or partly outside the outer limit of the territorial sea, are include in the territorial sea" (tempat berlabuh ditengah laut yang biasanya dipakai untuk memuat, membongkar dan menambat kapal, dan yang terletak seluruhnya atau sebagian diluar batas luar laut territorial, termasuk dalam laut territorial) (2) Hak Lintas Damai dan Bukan Damai Pengaturan mengenai hak lintas damai (rights of innocent passage) dan bukan damai, diatur didalam Pasal 17-19 Konvensi Hukum Laut 1982. Konvensi menyebutkan pengaturan di dalam Pasal 17 sebagai berikut: "subject to this convention, ships of all state, wheater coastal or land-locked, enjoy the right of innocent passage through the territorial sea" (dengan tunduk kepada ketentuan konvensi ini, kapal semua Negara, baik Negara berpantai ataupun Negara tak berpantai, menikmati hak lintas damai melalui laut territorial) Pasal 18 Konvensi memberikan pengertian lintas (passage) yaitu: 1. Passage means navigation through the territorial sea for the purpose of: (a). traversing that sea without entering internal waters or calling at a roadstead or port facility outside internal water; (b). proceeding to or from internal waters or a call at such roadstead or port facility. 1. Passage shall be continous and expeditious. However, passage includes stopping and anchoring, but only it so far as the same are incidental to ordinary navigation or are rendered necessary by force majure or distress or for the purpose of rendering assistance to persons, ships or aircraft in danger or distress. 1. Lintas berarti navigasi melalui laut territorial untuk keperluan: (a). melintasi laut tanpa memasuki perairan pedalaman atau singgah di tempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan diluar perairan pedalaman; (b). berlalu ke atau dari peraiaran pedalaman atau singgah ditempat berlabuh di tengah laut (roadstead) atau fasilitas pelabuhan tersebut. 2 Lintas harus terus menerus, langsung serta secepat mungkin. namun demikian, lintas mencakup berhenti dan buang jangkar, tetapi hanya sepanjang hal tersebut berkaitan dengan navigasi yang lazim atau perlu dilakukan karena force majure atau mengalami kesulitan atau guna memberikan pertolongan kepada orang, kapal atau pesawat udara yang dalam bahaya atau kesulitan sedangkan pada Pasal 19 Konvensi Hukum Laut juga memberikan pengertian mengenai lintas damai: 1. Passage is innocent so long as it is not prejudicial to the peace, good order or security of the coastal state. such passage shall take place in conformity with this Convention and with other rules of international law. 2. Passage of a foreign ship shall be considered to be prejudicial to the peace, good order security of the coastal state if in the internasional sea it engages in any of the following activities: a) any threat or use of force against the sovereignty, territorial integrity or political independence of the coastal state, or in any other manner in violation of the principles of international law embodied in the charter of the United Nation; b) any exercise or practice with weapons of any kind; c) any act aimed at collecting information to the prejudice of the defence or security of the coastal state; d) any act of propaganda aimed at effecting the defence or security of the coastal state; e) the launcing, landing or tacking on board of any military device; f) the loading or unloading of any commodity, currency or person contrary to gthe customs, fiscal, immigration or sanitary laws and regulations of the coastal state; 1. Lintas adalah damai sepanjang tidak merugikan bagi kedamaian, ketertiban atau keamanan Negara pantai. Lintas tersebut harus dilakukan sesuai dengan ketentuan Konvensi ini dan peraturan hukum internasional lainnya. 2. Lintas suatu kapal asing harus dianggap membahayakan kedamaian, ketertiban atau keamanan Negara pantai, apabila kapal tersebut di laut territorial melakukan salah satu kegiatan sebagai berikut: a) setiap ancaman atau penggunaan kekerasan terhadap kedaulatan, keutuhan wilayah atau kemerdekaan politik Negara pantai, atau dengan cara lain apapun yang merupakan pelanggaran asas hukum internasional sebagaimana tercantum dalam Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa; b) setiap latihan atau praktek dengan senjata macam apapun; c) setiap perbuatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi yang merugikan bagi pertahanan atau kemanan Negara pantai; d) setiap perbuatan propaganda yang bertujuan untuk mempengaruhi pertahanan atau kemanan Negara pantai; e) peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap pesawat udara di atas kapal; f) peluncuran, pendaratan atau penerimaan setiap peralatan dan perlengkapan militer; g) bongkar atau muat setiap komoditi, mata uang atau orang secara bertentangan dengan peraturan perundang-undangan bea cukai, fiscal, imigrasi, atau saniter Negara pantai; 3. Hak Lintas Transit Hak Lintas transit (right of transit passage) diatur oleh Pasal 37-44 Konvensi Hukum Laut 1982. Pasal 37 menyatakan bahwa lintas transit (transit passage) berlaku pada selat-selat yang digunakan untuk pelayaran internasional antara satu bagian laut lepas (high seas) atau zona ekonomi ekslusif dan bagian laut lepas atau bagian laut lepas atau zona eksklusif lainnya, sedangkan hak lintas tranasit itu sendiri terdapat di dalam Pasal 38 Konvensi yang menyatakan bahwa semua kapal (ships) dan pesawat udara (aircraft) mempunyai hak lintas transit yang tidak boleh dihalangi. Lintas tranasit berarti pelaksanaan kebebasan pelayaran (freedom of navigation) dan penerbangan (overflight) semata-mata untuk tujuan transit terus-menerus langsung dan secepat mungkin antara satu bagian laut lepas atau zona eksklusif dan bagian laut lepas atau zona ekonomi eksklusif lainnya 4. Alur Laut Negara pantai dengan memperhatikan keselamatan pelayaran dapat mewajibkan kapal asing melaksanakan hak lintas damai melalui laut territorial dengan menggunakan alur laut (seas lanes) dan skema pemisahan lalu lintas (traffic separation schemes) sebagaimana diatur oleh Pasal 22 Konvensi Hukum Laut 1982: 1. the coastal state may, where necessary having regard to the safety of navigation, require foreign ships exercising the right of innocent passage through its territorial sea to use such sea lanes and traffic separation schemes as it may designate or prescribe for the regulation of the passage of ships. 2. In particular, tankers, nuclear-powered ships carrying nuclear or other inherently dangerous or noxious substance or materials may be required to confine their passage to such sea lanes. 3. in the designation of sea lanes and the prescription of traffic separation schemes under this article, the coastal state shall take into account: a) the recommendations of the cometent international organization; b) any channels customarily used for international navigation; c) the special characteristics of particular ships and channel; and d) the density of traffic. 1. Negara pantai dimana perlu dengan memperhatikan keselamatan navigasi, dapat mewajibkan kapal asing yang melaksanakan hak lintas damai melalui laut teritorialnya untuk mempergunakan jalur laut dan skema pemisah lalu lintas sebagaimana yang dapat ditetapkan dan yang harus diikuti untuk pengaturan lintas kapal. 2. khususnya, kapal tanki, kapal bertenaga nuklir dan kapal yang mengangkut nuklir atau barang atau bahan lain yang karena sifatnya berbahaya atau beracun dapat diharuskan untuk membatasi lintasnya pada alur laut demikian. 3. dalam penetapan alur laut dan penentuan skema pemisah lalu lintas menurut pasal ini, Negara pantai harus memperhatikan: a) rekomendasi organisasi internasional yang kompeten; b) setiap alur yang biasanya digunakan untuk navigasi internasional; c) sifat-sifat khusus kapal dan alur tertentu; dan d) kepadatan lalu lintas Demikian juga pelayaran dengan menggunakan hak lintas transit karena ketentuan Pasal 41 Konvensi Hukum Laut 1982 yang mengatur alur laut dan skema pemisah lintas transit: 1) In conformity with this part state bordering straits may designate sea lanes and prescribe traffic separation scheme for navigation in straits where necessary to promote the safe passage of ships; 2) Such state may, when circumstances require, and after giving due publicity thereto, substitute other sea lanes or traffic separation schemes for any sea lanes or traffic separation schemes previously designated or prescribed by them; 3) Such sea lanes and traffic separation schemes shall conform to generally accepted international regulations; 4) Before designating or substituting sea lanes or prescribing or substituting traffic separation schemes, state bordering straits shall refer roposals to the competent international organization with a view to their adoption. the organization may adopt only such sea lanes and traffic separation schemes as maybe agreed with the states bordering the straits, after wich the state may designate, prescribe or substitute them; 5) In respect of a straits where sea lanes or traffic separation schemes through the waters of two or more states bordering the state are being proposed, the state concerned shall co-operate in formulating proposal in consultation with the competent internasional organization; 6) State bordering straits shall clearly indicate or sea lanes and traffic separation schemes designated or prescribed by them on charts to which due publicityshall be given; 7) Ships in transit passage shall respect applicable sea lanes and traffic separation schemes established in accordance with this article. 1) Sesuai dengan ketentuan bab ini, Negara yang berbatasan dengan selat dapat menentukan alur laut dan dapat menetapkan skema pemisah lalu lintas untuk pelayaran diselat apabila diperlukan untuk meningkatkan lintasan yang aman bagi kapal; 2) Negara yang demikian, apabila keadaan menghendakinya, dan setelah untuk itu memberikan pengumuman sebagaimana mestinya, dapat menggantikan setiap alur-alur laut atau skema pemisah lalu lintas yang telah ditentukan atau ditetapkan sebelumnya dengan alur-alur laut skema pemisah lalu lintas lainnya; 3) Alur laut dan skema lalu lintas demikian harus sesuai dengan peraturan internasional yang telah diterima secara umum; 4) Sebelum menentukan atau mengganti alur laut atau menetapkan atau mengganti skema pemisah lalu lintas, Negara yang berbatasan dengan selat harus mengajukan usul kepada organisasi internasional yang berwenang dengan maksud dapat menerimanya. Organisasi itu hanya dapat menerima alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang telah disepakati dengan Negara-negara yang berbatasan dengan selat, setelah mana Negara-negara itu dapat menentukan, menetapkan atau menggantinya. 5) Bertalian dengan suatu selat dimana sedang diusulkan alur laut atau skema pemisah lalu lintas melalui perairan dua atau lebih Negara yang berbatasan dengan selat, Negara-negara yang bersangkutan harus bekerjasama dalam merumuskan usul melalui konsultasi dengan organisasi internasional yang berwenang; 6) Negara yang berbatasan dengan selat harus secara jelas mencantumkan semua alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang ditentukan atau ditetapkannya pada peta yang diumumkan sebagaimana mestinya; 7) Kapal dalam lintas transit harus menghormati alur laut dan skema pemisah lalu lintas yang berlaku dan yang ditetapkan sesuai dengan ketentuan pasal ini. 5. Kapal Nuklir Hak lintas damai juga berlaku bagi kapal asing nuklir/kapal yang bertenaga nuklir (foreign nuclear-powered ships) atau kapal yang membawa nuklir (ships carrying nuclear) atau kapal lain yang membawa bahan berbahaya dan beracun (other inherently dangerous or noxious substances) melalui laut territorial harus membawa dokumen dan mematuhi upaya pencegahan khusus yang ditetapkan oleh persetujuan internasional. 6. Tagihan Terhadap Kapal Asing Dalam hal tagihan terhadap kapal asing, Konvensi Hukum Laut 1982 mengaturnya dalam Pasal 26, yaitu: 1) No charge may be levied upon foreign ships by reason only of their passage through the territorial sea; 2) Charges may be levied upon a foreign ships passing through the territorial sea as payment only for specific service rendered to the ships. These charges shall be levied without discrimination. 1) Tidak ada pungutan yang dibebankan pada kapal asing hanya karena melintasi laut territorial; 2) Pungutan dapat dibebankan kepada kapal asing yang melintasi laut territorial hanya sebagai pembayaran bagi pelayanan khusus yang diberikan kepada kapal tersebut. pungutan ini harus dibebankan tanpa diskriminasi. 7. Aturan Bagi Kapal Dagang dan Kapal Pemerintah Untuk Komersial Di dalam Pasal 27 Konvensi Hukum Laut 1982, mengatur kapal dagang dan kapal pemerintah untuk kegiatan komersial yang melintas di laut territorial bahwa jurisdiksi pidana Negara pantai tidak dapat dilaksanakan diatas kapal asing untuk menangkap siapapun atau mengadakan penyelidikan berkenaan dengan kejahatan yang dilakukan diatas kapal asing selama lintas damai tersebut kecuali: 1) apabila kejahatan itu mempengaruhi Negara pantai; 2) apabila kejahatan itu mengganggu kedamaian atau ketertiban Negara pantai; 3) apabila diminta bantuan oleh nakhoda kapal atau perwakilan diplomatic/konsuler Negara bendera; 4) apabila diperlukan untuk memberantas perdagangan gelap narkotika dan bahan psikotropika. 8. Kapal Perang dan Kapal Pemerintah Untuk Kegiatan Bukan Komersial Pasal 29-32 Konvensi Hukum Laut 1982 mengatur ketentuan bagi kapal perang (warships), yaitu kapal yang dimiliki oleh angkatan bersenjata dengan memakai tanda yang menunjukan kebangsaannya dan dibawah komando serta awak kapal yang tunduk pada disiplin militer. Kapal perang yang melintasi laut territorial tetap harus mematuhi peraturan perundang-undangan Negara pantai dan apabila kapal perang itu menimbulkan kerugian bagi Negara pantai, maka kapal perang itu bertanggung jawab. kapal perang dan kapal pemerintah yang dioperasikan untuk kegiatan bukan komersil mempunyai kekebalan. 9. Urusan Pabean dan Imigrasi Wilayah laut yang berbatasan langsung dengan laut teritori adalah zona tambahan (contiguous zone) yang diatur oleh Pasal 33 Konvensi Hukum Laut 1982: 1. In a zone contiguous to its territorial sea, described as the contiguous zone, the coastal state may exercise the control necessaryto: a) prevent infringement of its customs, fiscal, immigration or sanitary laws and regulations within is territory or territory sea; b) punish infringement of the above laws and regulations commited within is territorial sea. 2.The contiguous zone may riot extend beyond 24 nautical miles from the baselines from which the breadth of the territotial sea is measured. 1. Dalam suatu zona yang berbatasan dengan laut teritorialnya, yang dinamakan zona tambahan, Negara pantai dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan untuk: a) mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangan bea cukai, fiscal, imigrasi atau saniter di dalam wilayah atau laut teritorialnya; b) menghukum pelanggaran peraturan perundang-undangan tersebut diatas yang dilakukan di dalam wilayah atau laut teritorialnya. 2. Zona tambahan tidak dapat melebihi 24 mil laut dari garis pangkal dari mana lebar laut diukur. Pengaturan hak lintas damai bagi kapal asing, hak lintas alur laut kepulauan, hak lintas damai sudah diatur oleh Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia. Demikian juga aturan pelayaran menurut Konvensi Hukum Laut 1982 sudah diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran yang kemudian dirubah menjadi Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 *tulisan ini dibuat sbg naskah akademik hukum transnasional pemanfaatan laut |
Powered by EmailMeForm