Musri Nauli *
Beberapa waktu yang lalu, kita dikabarkan dengan berita gempar ditemukan meninggalnya seorang anak yang masih balita (bawah umur lima tahun) korban berinisial Mz. Didalam proses penyidikan, kemudian pihak kepolisian berhasil membongkar sebab kematian dari Mz. Seorang pelaku yang kemudian dikenal dengan nama si AF mengaku melakukan perbuatan “tidak senonoh” terhadap korban. Perbuatan Si AF yang melakukan perbuatan “tidak senonoh” terhadap korban disebabkan setelah pelaku menonton video “ariel Peterpan” dari rekaman HP.
Didalam keterangan Si AF dengan lugas menerangkan Si AF telah melakukan perbuatan perbuatan cabul yang kemudian melaporkan kepada orang tua SI AF. SI AF melakukan perbuatan cabul dan membekap mulut korban dengna menggunakan kaos dan tangan pelaku. Pelaku kemudian pergi meninggalkan korban MZ. Si AF kemudian memberitahu Ayah pelaku. Ayah pelaku yang berinisial Mr kemudian menuju ke tempat ditinggalkanya korban MZ, menggendongnya dan kemudian membawa ke pondok tempat tinggalnya. Ayahnya memandikannya dan membawa ke tepi sungai. Sebelum di lemparkan ke sungai, sempat mengatakan “maaf, nak. Aku ini lakukan membuang balak”.
Ayah pelaku menyatakan ketika Korban MZ ditinggalkan pelaku, korban masih hidup. Ini ditandai dengan fakta bahwa ketika sedang dimandikan, “masih ada nafasnya”. Bahkan ketika hendak dibawa dari pondok menuju sungai, ayah pelaku menyatakan, masih ada denyut nadinya dengan perkataan “masih ada nyawanya”.
Didalam persidangan, kemudian dapat dibuktikan, terhadap matinya korban bukan disebabkan dari tindakan pelaku. Matinya “korban” akibat penganiayaan disebabkan dari tindakan dari ayah pelaku. Bukan dari akibat penganiayaan dari pelaku.
Jaksa kemudian mendakwakan pelaku dengna penerapan pasal 80, Pasal 81, Pasal 82 dan Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.
Problem mulai muncul. Problema pertama, Si AF yang masih berusia 11 tahun dapat diterapkan hukum pidana ? Sedangkan problem kedua, apakah Si AF telah melakukan perbuatan pembunuhan terhadap MZ.
Putusan Pengadilan Negeri Muara Tebo kemudian memutuskan bahwa menyerahkan Si AF kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja yang waktunya selama 3 (tiga) tahun.
Pertanggungjawaban Anak
Putusan Pengadilan Negeri Muara Tebo yang memutuskan “menyerahkan pelaku kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja yang waktunya selama 3 (tiga) tahun” merupakan tujuan daripada Pengadilan Anak lebih diutamakan kepada pembinaan dan perlindungan anak. Hakekat ini yang harus dipahami sebagai perbedaan yang mendasar sebagaimana diatur didalam pasal 10 KUHP. Putusan ini berbeda dengan pertimbangan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum yang tidak didasarkan kepada ketentuan didalam UU No. 3 Tahun 1997.
Didalam pasal 22 UU No. 3 Tahun 1997 telah dijelaskan Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-undang ini”. Didalam pasal 22 telah diterangkan bahwa putusan Pengadilan Negeri “anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana” ATAU “tindakan yang ditentukan dalam UU. Dengan menggunakan frase kata “atau”, maka dapat dilakukan “tindakan yang ditentukan dalam UU. Sedangkan didalam pasal 24 diterangkan “Pasal 24 (1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : (a) mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; (b) menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau; (c) menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.
Sedangkan frase kata “anak nakal” dapat kita lihat didalam pasal 1 ayat (2) huruf a. UU No. 3 Tahun 1997.
Dengan menggunakan ketentuan pasal 22, pasal 22, pasal 25 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997, maka perkara ini tidak dapat menjatuhkan putusan pidana pokok sebagaimana diatur didalam pasal 10 KUHP. Dalil sesuai dengan ketentuan pasal 26 ayat (4) dinyatakan Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.
Konstitusi dan Pertanggungjawaban anak
Dengan memahami alur dari putusan Pengadilan Negeri Muara Tebo, maka konstruksi hukum yang dibangun oleh MK dalam putusan PUTUSAN Nomor 1/PUU-VIII/2010 yang diajukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan.
Didalam pertimbangannya, MK kemudian merumuskan penetapan usia minimal 12 (dua belas) tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak telah diterima dalam praktik sebagian negara-negara sebagaimana juga direkomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB dalam General Comment, 10 Februari 2007. Dengan batasan usia 12 (dua belas) tahun maka telah sesuai dengan ketentuan tentang pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak dalam Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) UU Pengadilan Anak.
Penetapan batas umur tersebut juga dengan mempertimbangkan bahwa anak secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil serta sesuai dengan psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia, sehingga dapat bertanggung jawab secara hukum karena telah mengetahui hak dan kewajibannya. MK berpendapat, batas umur minimal 12 (dua belas) tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.
Dengan demikian, frasa sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pengadilan Anak dan frasa belum mencapai umur 8 (delapan) tahun dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak adalah inkonstitusional bersyarat, artinya inkonstitusional kecuali harus dimaknai telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun sebagai ambang batas minimum pertanggungjawaban pidana.
Dengan perubahan batasan usia minimal pertanggungjawaban hukum bagi anak adalah 12 (dua belas) tahun maka menurut MK hal tersebut membawa implikasi hukum terhadap batas umur minimum (minimum age floor) bagi Anak Nakal (deliquent child) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak yang menyatakan, “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”
Pertimbangan MK inilah yang dapat kita saksikan pada pemeriksaan pelaku dimuka persidangan. Selama didalam persidangan, terdakwa tidak memahami yang disampaikan kepada terdakwa. Apabila selalu ditanyakan, apakah terdakwa mengerti apa yang disampaikan, terdakwa selalu mengatakan mengerti. Pernyataan “mengerti” selain didasarkan “mengerti apa yang terjadi”, maka tidak mampu mengetahui dengan konsekwensi dari perbuatan terdakwa.
Selama persidangan, terdakwa tidak merasa bersalah. Selain karena kemampuannya masih dibawah usia dewasa, terdakwa sering kali senyum-senyum sendiri. Dengan demikian, terlepas dari pertanggungjawaban pidana, maka sudah semestinya, pemidanaan sebagaimana diatur didalam pasal 10 KUHP tidak tepat diperlakukan sehingga harus merujuk ketentuan sebagaimana diatur didalam UU No. 3 Tahun 1997.
Putusan MK sekali lagi membuktikan, MK telah menjalankan amanat konstitusi dan menjaga berbagai peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan tafsir konstitusi sebagaimana dirumuskan didalam UUD 1945.
Advokat, Tinggal di Jambi