: Narsisme Pemimpin

Tuesday, February 15, 2011

*:Pengunjung
:AIox9aE7uC.jpg
*:Narsisme Pemimpin
:Editorial Media Indonesia | Selasa, 15 Februari 2011
*:APA jadinya apabila negara dipimpin oleh pemimpin yang mengidap narsisme akut?

Tentu mengerikan. Bayangkanlah kegemarannya mematut diri serta kesibukannya menyedot
perhatian publik ketimbang memberikan performa.

Secara psikologis, sedikit narsisme memang dibutuhkan oleh seorang pemimpin. Pemimpin tentu harus seorang yang merasa nyaman dengan dirinya, penuh percaya diri dan selalu ingin melakukan yang terbaik. Akan tetapi narsisme tentu tidak boleh kebablasan. Narsisme harus dapat dikendalikan.

Keinginan untuk terus berkuasa misalnya adalah narsisme yang kebablasan. Sang pemimpin terlalu cinta dirinya, menjadikan dirinya pusat segalanya, menyebabkan ia tak ingin berbagi kekuasaan, tak ingin membatasi dan dibatasi kekuasaannya, sampai kemudian dipaksa turun oleh rakyatnya.

Presiden Mesir Hosni Mubarak adalah contoh paling mutakhir pemimpin jenis itu. Paling mutakhir, tapi agaknya bukan yang terakhir, karena riwayat jatuhnya berbagai pemimpin rupanya tidak cukup membikin jera. Presiden Mubarak jelas tidak belajar dari kejatuhan Presiden Soeharto.

Dengan kata lain, sang pemimpin harus bisa keluar dari kotak ‘keakuan’. Narsisme harus dapat digantikan dengan altruisme, yaitu demi kepentingan orang lain, demi kepentingan publik.

Salah satu kualitas penting dalam altruisme adalah tanpa pamrih. Memberi tanpa meminta, berkorban tanpa imbalan, mengabdi tanpa tanda jasa.

Kiranya pemimpin altruistis itu semakin langka di negeri ini. Bahkan, sistem politik yang dianut negara ini telah dengan sengaja membunuhnya.

Sebab, sekarang ini tidak ada anak bangsa yang dapat menjadi pemimpin tanpa jual beli. Kekuasaan diraih melalui politik transaksional dan di atas aliran uang yang berlimpah. Tidak ada jabatan yang diraih melalui pemilihan umum tanpa investasi, tanpa money politics.

Akibatnya korupsi melanda penyelenggara negara, terutama menimpa anggota DPR dan kepala daerah, dua jabatan yang diraih melalui pemilihan umum.

Akibat lain ialah penyalahgunaan kekuasaan oleh kepala daerah dalam penerimaan pegawai negeri sipil. Satu kursi pegawai negeri berharga minimal Rp100 juta. Hal ini terutama dilakukan bupati/wali kota sehingga dengan cepat dapat mengembalikan modalnya ketika pilkada.

Jadi, jangan heran bila birokrasi akan semakin korup karena memang diisi oleh pegawai negeri yang diterima bekerja dengan menyogok.

Itulah sebabnya adalah bijak untuk menimbang kembali tidakkah sebaiknya kepala daerah dipilih oleh DPRD. Tidak kalah penting adalah menumbuhkan kesadaran warga untuk tidak memilih pemimpin narsisme.

Sumber: Media Indonesia



Powered by EmailMeForm