TOKOH: Mochtar Kusumaatmadja; Cermin Intelektual Hukum Sejati

Wednesday, January 5, 2011

“ Hukum tanpa kekuasaan angan-angan. Kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman

-Mochtar Kusumaatmadja-


Diplomat Berpikir Cepat dan Lugas


Mantan Menteri Luar Negeri (1978-1988) ini seorang diplomat ulung yang lugas dan cepat mengambil suatu konklusi dalam setiap pembicaraan (diplomasi). Guru Besar FH Unpad kelahiran Jakarta, 17 April 1929, ini berperan banyak dalam diplomasi penetapan batas laut teritorial, batas darat, dan batas landas kontinen Indonesia. Dia berhasil memainkan posisi dan kebijakan politik bebas-aktif Indonesia dalam peta diplomasi dunia.
Pria yang memulai karier diplomasi pada usia 29 tahun ini dikenal piawai dalam mencairkan suasana dalam suatu perundingan yang amat serius bahkan sering menegangkan. Dia cepat berpikir dan melontarkan kelakar untuk mencairkan suasana. Diplomat penggemar olahraga catur dan berkemampuan berpikir cepat namun lugas ini, memang suka berkelakar.
Wakil Indonesia pada Sidang PBB mengenai Hukum Laut, Jenewa dan New York, ini berperan banyak dalam konsep Wawasan Nusantara, terutama dalam menetapkan batas laut teritorial, batas darat, dan batas landas kontinen Indonesia. Alumni S1 Fakultas Hukum Universitas Indonesia (1955), ini berperan banyak dalam perundingan internasional, terutama dengan negara-negara tetangga mengenai batas darat dan batas laut teritorial itu.
Tahun 1958-1961, dia telah mewakil Indonesia pada Konperensi Hukum Laut, Jenewa, Colombo, dan Tokyo. Beberapa karya tulisnya juga telah mengilhami lahirnya Undang-Undang Landas Kontinen Indonesia, 1970. Dia memang seorang ahli di bidang hukum internasional. Selain memperoleh gelar S1 dari FHUI, dia melanjutkan kuliah di Sekolah Tinggi Hukum Yale (Universitas Yale) AS (1955). Kemudian, dia menekuni program doktor (S3) bidang ilmu hukum internasional di Universitas Padjadjaran ( lulus 1962).
Dari sejak mahasiswa, terutama setelah menjadi dosen di FH Unpad Bandung, Mantan Dekan Fakultas Hukum Unpad ini telah menunjukkan ketajaman dan kecepatan berpikirnya. Ketika itu, dia dengan berani sering mengritik pemerintah, antara lain mengenai Manifesto Politik Soekarno. Akibatnya, dia pernah dipecat dari jabatan guru besar Unpad. Pemecatan itu dilakukan Presiden Soekarno melalui telegram dari Jepang (1962).
Namun pemecatan dan ketidaksenangan Bung karno itu tidak membuatnya kehilangan jati diri. Kesempatan itu digunakan menimba ilmu di Harvard Law School (Universitas Harvard), dan Universitas Chicago, Trade of Development Research Fellowship tahun 1964-1966.
Malah kemudian kariernya semakin melonjak setelah pergantian rezim dari pemerintahan Soekarno ke pemerintahan Soeharto. (Pemerintahan Soeharto memberi batasan pembagian rezim ini sebagai Orde Lama dan Orde Baru).
Di pemerintahan Orde baru, sebelum menjabat Menteri Luar Negeri Kabinet Pembangunan III dan IV, 29 Maret 1978-19 Maret 1983 dan 19 Maret 1983-21 Maret 1988, menggantikan ‘Si Kancil’ Adam Malik, Mochtar terlebih dahulu menjabat Menteri Kehakiman Kabinet Pembangunan II, 28 Maret 1973-29 Maret 1978. Namun tampaknya dia lebih menunjukkan kepiawian dalam jabatan Menlu dibanding Menkeh.
Di tengah kesibukannya sebagai Menlu, dia sering kali menyediakan waktu bermain catur kegemarannya, terutama pada perayaan hari-hari besar di departemen yang dipimpinnya. Bahkan pada akhir tahun 1985, ia terpilih menjadi Ketua Umum Persatuan Catur Seluruh Indonesia (Percasi).

Cermin Intelektual Hukum Sejati

Mochtar Kusumaatmadja mungkin dapat diidentikan sebagai bapak hukum internasional di Indonesia. Bukunya tentang Pengantar Hukum Internasional dianggap oleh sebagian kalangan sebagai karya monumental dalam hukum internasional yang ditulis dalam bahasa Indonesia. Tidak hanya itu, kiprahnya dalam berbagai konferensi internasional serta advokasi atas kasus-kasus Indonesia di forum internasional menambah keyakinan sebagian orang atas kepakaran beliau di ranah tersebut.

Kegairahan beliau atas ilmu hukum tidak hanya terbatas pada hukum internasional saja akan tetapi merambah ke ruang-ruang yang lain. Pemikiran yang luas tersebut kemudian menelurkan pendapatnya yang otentik tentang hukum dan pembangunan. Ide-ide brilian juga banyak beliau sumbangkan kepada dunia pendidikan tinggi hukum Indonesia baik ketika berprofesi sebagai akademisi maupun birokrat.

Hukum dan Pembangunan
Mochtar Kusumatmadja mengakui sendiri bahwa konsepsi hukum-nya sangat dipengaruhi oleh dua orang sarjana hukum dari Amerika Serikat, yakni Myres Mc Dougal dan F.S.C Northop. Kedua sarjana tersebut memperkaya pemikiran beliau tentang hukum dengan menyisipkan pendekatan orientasi politik serta dasar-dasar filosofi dan sosiologi hukum.

Hukum menurut konsepsi Mochtar adalah tidak saja merupakan keseluruhan asas-asas dan kiadah- kaidah yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat melainkan meliputi pula lembaga-lembaga (institutions) dan proses-proses yang mewujudkan berlakunaya kaidah-kaidah itu dalam kenyataan. (Pembinaan Hukum Dalam Rangka Pembangunan Nasional, 1973)

Definisi beliau dapat diartikan bahwa ia tidak terjebak hanya melihat hukum sebagai gejala normatif saja akan tetapi sebagai bagian gejala sosial yang tumbuh dan berkembang dalam proses dan lembaga yang berlaku di dalam masyarakat.

Pada sebuah tulisan lain yang berjudul Hukum, Masyarakat dan Pembinaan Hukum Nasional (1976), beliau kembali mendefinsikan hukum dengan redaksional yang sedikit berbeda. Hukum tidak hanya seperangkat kaidah dan asas-asas yang mengatur kehidupan manusia dalam masyarakat, tetapi harus pula mencakup lembaga (institutions) dan proses (processes) yang diperlukan untuk mewujudkan hukum itu dalam kenyataan.

Sebenarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara kedua definsi tersebut. Beliau tetap konsisten bahwa hukum tidak semata aturan yang normatif saja (kaidah hukum) akan tetapi asas-asas yang sudah dikenal oleh masyarakat. Proses-proses yang terjadi pada lembaga-lembaga yang ada juga memainkan peran yang penting apabila ingin hukum ditaati dan dipatuhi.

Mengenai hubungan hukum dan pembangunan, beliau memadukan pendekatan Eugene Erhlich dan Roscoe Pound. Bahwasanya sebagai negara yang sedang melakukan pembangunan, maka salah satu alat yang bisa digunakan adalah hukum. Hukum dijadikan sebagai alat perubahan masyarakat. Mochtar melihat setiap perubahan pada dasarnya membawa penolakan-penolakan sendiri didalamnya. Untuk itu, hukum digunakan sebagai alat agar perubahan yang terjadi sebagai faktor dalam pembangunan nasional bisa berjalan dengan tertib dan teratur. Selaras dengan konsepsi beliau mengenai hukum, ia tidak melihat hukum semata-mata mengejar ketertiban dan keteraturan saja, akan tetapi tetap diperhatikan keyakinan hukum di dalam masyarakat (living law).

Berdasarkan asumsi tersebut, kemudian ia mencoba membagi isu-isu hukum menjadi hukum yang netral dan non-netral yang dilihat dari sudut pandang kebudayaan. Perubahan-perubahan yang dapat segera dilakukan dalam kerangka pembangunan nasional adalah pembentukan norma-norma hukum berkaitan dengan isu hukum yang netral, seperti hukum kontrak, hukum persereoan dan hukum lalu lintas.

Hukum Internasional
Buku Pengantar Hukum Internasional karangan Mochtar Kusumaatmadja merupakan salah satu buku wajib yang harus dimiliki oleh mereka yang bergelut diranah hukum internasional. Sebab dalam buku tersebut beliau memberikan gambaran awal tentang substansi hukum internasional secara ringkas namun berkelas. Ringan, enak dibaca tetapi sangat bernas. Tujuan beliau menulis buku ini didasarkan keprihatinan beliau atas langkanya literatur hukum internasional dalam bahasa Indonesia.

Definisi hukum internasional menurut Mochtar adalah keseluruhan kaidah dan asas yang mengatur hubungan atau persoalan yang melintasi batas negara antara :
a) negara dengan negara
b) negara dengan subjek hukum lain bukan negara atau subjek hukum bukan negara satu sama lain.

Pengertian tersebut diartikan oleh beliau dalam kerangka hukum internasional publik. Sejak awal ia telah membedakan antara hukum internasional publik dan hukum perdata internasional. Hal ini sebenarnya beliau lakukan untuk memudahkan para peminat hukum internasional dalam memahaminya. Pembedaan yang dilakukan oleh Mochtar saat ini bagi sebagian pakar terasa sudah tidak relevan lagi. Dalam artian bahwa batas-batas antara hukum perdata internasional dan hukum internasional publik semakin sumir. Meskipun demikian, beliau dari awal sudah mengingatkan pembaca bahwa pembedaan itu dilakukannya bukan berdasarkan subjek hukumnya melainkan obyek kajiannya. Perdebatan ini jika diteruskan akan sampai pada permasalahan filsafat hukum, tentang apakah perlu dibedakan antara hukum publik dan privat? apabila sudah memasuki ruang tersebut maka tulisan ini tidak berpretensi untuk membahas permasalahan tersebut.

Beliau juga dianggap berperan dalam pengembangan hukum laut internasional di Indonesia. Idenya tentang negara kepulauan (archipelagic state) yang diterima pada Konferensi Hukum Laut III pada tahun 1982 dianggap sebagai sumbangan yang sangat signifikan bagi hukum laut internasional.

Sebenarnya perjuangan untuk memasukkan konsep negara kepulauan telah diperjuangkan oleh Indonesia sejak Konferensi Hukum Laut pertama pada tahun 1958. Hal ini berkaitan dengan dikeluarkanya Deklarasi Juanda pada 13 Desember 1957, yang berisikan bahwa semua perairan yang berada diantara pulau-pulau Indonesia merupakan satu kesatuan dari Indonesia, konsep ini lebih dikenal dengan Wawasan Nusantara.

Ada lubang sejarah yang patut diteliti lebih lanjut tentang siapakah sebenarnya konseptor negara kepualauan. Ketika saya membaca buku biografi Ir. H. Djuanda, Mochtar Kusumaatmadja menulis bahwa pada saat ia ditugaskan untuk membuat batas-batas laut teritorial Indonesia, ia masih menyandarkan pada konsep lebar laut teritorial selebar 3 mil. Hasil kajiaannya tersebut lalu ditunjukan kepada Kemal Idris (Asisiten Ir.H.Djuanda). Kemudian Kemal Idris marah besar dan menyatakan apabila konsep tersebut diterima maka bisa runtuh keuntuhan Indoensia karena akan terdapat laut-laut bebas di antara pulau-pulau Indonesia. Setelah itu ia meminta kepada Mochtar untuk mencari solusi (merevisi) kajiannya itu.

Jika melihat catatan sejarah yang dituliskan oleh Mochtar sendiri, terlihat jelas bahwa ide dasar Deklarasi Djuanda bukanlah pemikiran otentiknya. Deklarasi keluar setelah beliau diminta mengubah hasil kajiannya tersebut. Saya menduga, Mochtar terinspirasi oleh kesepakatan dalam Mahkamah Internasional (ICJ) tahun 1951, tentang kasus Anglo-Norwegian Fisheries Case untuk merevisi kajiannya.

Apapun data sejarah yang tersaji, hal tersebut tidak dapat menghilangkan keunggulan beliau dalam kajian hukum internasional khususnya hukum laut internasional. Sejak keberhasilan di UNCLOS 1982, nama beliau semakin harum sebagai pakar di bidang hukum laut internasional.

Pendidikan Tinggi Hukum
Mochtar Kusumaatmadja juga memperkenalkan metode pendidikan hukum klinis pada tahun 1971 ketika mengetuai Sub Konsorsiun Ilmu Hukum, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI. Hasil pemikiranya itu menciptakan tiga buah lembaga bantuan hukum. Pertama, lembaga bantuan hukum Indonesia yang dikelola secara partikelir. Kedua, dititipkan pada Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Bandung), Ketiga, dititipkan ke Universitas Airlangga (Surabaya) dengan nama Biro Bantuan Hukum. Tujuannya adalah untuk melibatkan mahasiswa, baik secara emosional maupun intelektual sebagai konkretisasi komitmennya dalam melayani klien secara profesional dan bertanggungjawab.

Idenya tersebut kembali dikuatkan pada saat ia menjadi konsorsium ilmu hukum, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI pada tahun 1991, dimana ia menginginkan untuk dimasukkannya “legal skiils training” dan “etika profesi hukum” yang kemudian diadopsi oleh Depdikbud. Mengenai pola pengembangan pendidikan hukum, beliau juga membedakan secara konseptual menjadi tiga, yaitu:
1) Pendidikan di dalam lingkungan perguruan tinggi
a) program pendidikan strata 1
b) program pendidikan strata 2
c) program pendidikan doktor ilmu hukum

2) Pendidikan di luar lingkungan perguruan tinggi dan merupakan latihan jabatan misalnya: Departemen Kehakiman, Kejaksaan Agung, Mahkamah Agung dll.

3) Pendidikan di luar pendidikan tinggi dan merupakan pendidikan profesional (untuk jabatan profesi) yang diselenggarakan oleh organisasi profesi.

Menurut beliau, tugas konsorsium adalah hanya membenahi jenis pendidikan yang pertama saja. Beliau mempunyai pedoman tentang tugas jenis pendidikan pertama sebagai berikut:
1) Program S-1 Bertugas untuk mempersiapkan atau menghasilkan lulusan-lulusan yang memiliki pengetahuan dan kemahiran untuk menerapkan hukum positif dengan baik dan bertanggungjawab dalam rangka usaha mewujudkan negara hukum.
2) Program S-2 Bertugas mempersiapkan atau menghasilkan orangn yang akan menempuh karier di bidang perilmuan, penelitian dan pengajaran hukum.
3) Program S-3 Bertugas mempersiapkan atau menghasilkan orang yang akan mengabdikan diri pada penelitian dan pengembangan hukum sebagai ilmu.

Mochtar Kusumuaatmadja juga memprihatinkan aspek penelitian yang kurang pada perguruan-perguruan tinggi hukum. Dalam bidang penelitian ia membedakan menjadi dua, yaitu;
• Pertama: Legal research yaitu penelitian di bidang hukum positif. Riset ini merupakan riset hukum sebagai norma dan bertujuan untuk menemukan ketentuan-ketentuan yang dapat diterapkan dalam suatu perkara dalam rangka mencari penyelesaian suatu masalah hukum. Karena itu penelitian hukum normatif ini mengacu pada sumber hukum (source of law) dan didasarkan pada ilmu tafsir (interpretation)
• Kedua: Penelitian hukum yang lebih luas, mencakup segala penelitian yang obyeknya hukum, baik hukum sebagai fakta ataupun sebagai gejala sosial. Penelitian ini bertujuan antara lain untuk meneliti peranan hukum dalam masyarakat, khususnya dalam proses perubahan yang terjadi di masyarakat yang bersangkutan.


(Tim_JLC)

___________________________
Dihimpun dari berbagai sumber

Sumber-Sumber Bacaan
Mochtar Kusumaatmadja, Pengantar Hukum Internasional, Binacipta, Bandung, 1981.
Mochtar Kusumaatmadja, Konsep-Konsep Hukum dalam Pembangunan, Alumni, Bandung, 2004.
MiekeKomar, Etty R. Agoes, Eddy Damian (ed), Mochtar Kusumaatmadja: Pendidik dan Negarawan, Alumni, Bandung, 1999.