Cerminan Mentalitas Rapuh Seorang Pemimpin

Wednesday, January 5, 2011

Marzuki Alie tidak bisa dipungkiri merupakan salah satu sosok penting di Indonesia saat ini. Paling tidak jika melihat jabatannya sebagai ketua lembaga tinggi negara. Posisinya sebagai ketua Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk periode 2009-2014, menjadikan ia menjadi personifikasi kepemimpinan masyarakat Indonesia, minimal untuk saat sekarang. Baik buruk tindakan, sikap dan perangai seorang pemimpin, menjadi cerminan penting sosok dan karakter yang dibutuhkah oleh masyarakat Indonesia untuk keluar dari berbagai permasalahan, bukan justru memberi persoalan baru yang jauh lebih rumit. Untuk itu, simbolisasi pimpinan begitu penting dalam kehidupan keseharian kita. Maka merupakan hal yang wajar, jika mantan Sekretaris Jenderal Partai Demokrat ini menjadi pusat perhatian dan kritikan oleh berbagai kalangan. Marzuki memang terbilang sosok yang dalam waktu singkat menuai popularitas. Hanya saja, popularitas Marzuki tersebut, tidaklah dicapai karena sosok kepemimpinannya yang kuat, namun akibat berbagai ragam argumentasi dan tindakannya yang kontroversial serta dinilai tidak pantas dilakukan oleh seorang pemimpin.

Rekam Jejak Politik

Pria bernama lengkap H. Marzuki Alie S.E., M.M. ini dilahirkan di Palembang, 6 Nopember 1955. Pengalaman organisasi Marzuki sendiri di bidang politik, terbilang sangat singkat. Sebelum menjabat sebagai Wakil Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat untuk Periode 2010-2015, Marzuki sebelumnya tercatat sebagai Majelis Pertimbangan Daerah (MPD) Partai Demokrat Sumsel tahun 2002 – 2003, Fungsionaris DPP Partai Demokrat tahun 2003 – 2005, dan Sekretaris Jenderal DPP Partai Demokrat peride 2005 – 2010[1].

Diluar Partai Demokrat, selebihnya Marzuki sempat mengecam pengalaman di organisasi sosial kepemudaan, pendidikan, keagamaan maupun profesi. Hal tersebut tidak bisa dikatakan cukup sebagai bekal dalam aktivitasnya di dunia politik kedepan. Namun nasib sepertinya berkata lain. Mengandalkan rekam jejak keorganisasian yang terbilang pendek tersebut, Marzuki mendapatkan ruang di Partai Demokrat, yang kebetulan merupakan partai baru yang sedang gencar-gencarnya merebut simpati di tengah masyarakat. Akhirnya pada tahun 2002 silam, Marzuki memulai petualangan politiknya bersama Partai Demokrat di tingkat Daerah Provinsi Sumatera Selatan.

Marzuki Alie sendiri merupakan sosok politisi yang termasuk dadakan (prematur) dan bernasib mujur. Begitu bergabung ke Partai Demokrat dalam rentang waktu yang begitu singkat, ia langsung terpilih sebagai Sekretaris Jenderal untuk masa periode 2005-2010. Terpilihnya Marzuki Alie se­ba­gai Sekjen Partai Demokrat sudah menim­bulkan kon­tro­versi. Sebab, saat itu dia ma­sih ber­status tersangka kasus du­gaan korupsi di PT Se­men Baturaja[2]. Meskipun kasus ini sudah dihentikan dengan keluarnya Surat Perintah Penghen­tian Penyidikan (SP3) oleh kejak­saan, akan tapi tetap saja menimbulkan pertanyaan, mengapa orang yang diduga bermasalah secara hukum, justru terpilih sebagai Sekretaris Jenderal Partai Demokat saat berlangsungnya Kongres partai berlmbang mercy ini di Bali tahun 2005 silam. Sejatinya, mereka yang memiliki permasalahan hukum, apalagi sudah dalam kapasitas sebagai tersangka, tidaklah menjadi prioritas untuk ditempatkan dalam suatu struktur penting organisasi, apalagi Partai Politik seperti Partai Demokrat, yang merupakan partai baru yang memiliki daya tarik serta sokongan yang cukup besar ketika itu.

Mentalitas Kepemimpinan Yang Rapuh

Setelah terpilih menjadi Ketua DPR RI untuk masa jabatan 2009-2014, Marzuki Alie dinilai tetap menuai kritikan. Bahkan tidak jarang kalangan menganggap, jika sikap dan kepemimpinan Marzuki, membawa permasalahan. Marzuki dicap tidak memiliki mental kepemimpinan yang kuat, mengingat pengalaman politik dan organisasinya yang memang mumpuni dan kurang terasah. Hal tersebut tergambar dari cara Marzuki mengelola organisasi legislatif, dimana berbagai persoalan tidak dapat mencerminkan mentalitas seorang pemimpin. Di awal kepemimpinan sebagai ketua DPR RI saja, ia langsung membuat polemik dimana disaat memimpin sidang paripurna DPR pada tanggal 17 November 2009, ia tidak menandatangani disposisi surat hak angket yang disampaikan oleh inisiator angket Century yang dipelopori oleh beberapa anggota DPR. Tindakan mantan Sekjen Partai Demokrat ini terkesan mengulur-ulur penandatanganan rekomendasi DPR untuk kasus Century dan meminta agar pengawasan dugaan skandal senilai Rp 6,7 triliun itu, sebatas dilakukan oleh Komisi III DPR RI saja. Akibatnya, sidang paripurna yang berlangsung saat itupun berlangsung ricuh. Hujan interupsi dari anggota DPR menjadikan suasana sidang berlangsung tidak kondusif. Akhirnya, pimpinan sidang saat itu, Priyo Budi Santoso, membacakan surat hak angket meski tanpa disposisi Marzuki Alie sebagai Ketua DPR. Merespons sikap Marzuki itu, inisiator angket Century menggulirkan gerakan mosi tidak percaya[3].

Masih terkait dengan Skandal Century, Sikap tidak akomodatif Marzuki Alie kembali dipertontonkan pada saat sidang paripurna pada tanggal 2 Maret 2010. Sidang paripurna inipun kembali ricuh. Hal ini disebabkan oleh interupsi dari sejumlah anggota DPR, sama sekali tidak diindahkan Marzuki Alie sebagai ketua sekaligus pimpinan sidang ketika itu. Alih-alih memberi kesempatan berbicara kepada anggota DPR, Marzuki secara sepihak justru dengan entengnya mengetuk palu sidang yang menandai berakhirnya sidang paripurna, yang kemudian akan dilanjutkan keesokan harinya. Ini jelas merupakan bentuk dari sikap otoritarian yang diperlihatkan oleh seorang ketua DPR. Marzuki setidaknya harus lebih akomodatif dengan mempertimbangkan situasi, khususnya pendapat dan pandangan dari peserta sidang. Walhasil, sikap Marzuki ini memancing protes keras emosional, yang tidak boleh disalahkan jika sedikit mengarah kepada benturan fisik. Selain itu, Marzuki juga dituding menghambat proses politik penyelesaian kasus Century ini pasca sidang paripurna DPR RI pada 3 Maret 2010. Marzuki dianggap lamban mengirimkan rekomendasi sekaligus berkas kepada Presiden serta lembaga hukum lainnya. Ini jelas merupakan pola yang mengulur-ulur waktu, seakan tidak ada niat sama sekali dalam penuntasan kasus tersebut. Hingga kinipun, kasus Century ini terbilang mentok ditengah jalan. Bukan semata menyalahkan Marzuki sebagai pimpinan DPR RI, namun ia juga turut berperan besar, setidaknya dalam upaya mengawal dan mengawasi sejauh mana kasus ini mampu terselesaikan sesuai keinginan banyak pihak.

Kontroversi Marzuki tidak berhenti sampai disini, ia juga sempat memunculkan pernyataan yang menyebut jika sejatinya besan Presiden SBY Aulia Pohan, bukanlah seorang koruptor. Pernyataan ini merespon kebijakan pemerintah yang memberikan remisi terhadap Aulia Pohan dan sejumlah terpidana korupsi yang lain, saat peringatan Hari Ulang Tahun Kemerdekaan RI Agustus 2010 yang lalu. Marzuki dalam pernyataannya menyebutkan bahwa, Aulia Pohan yang juga besan Presiden SBY, hanya terkena pasal ikut serta dalam tindak pidana korupsi, bukanlah seorang koruptornya. Tindakan korupsi itu dipahami oleh Marzuki jika hanya menguntungkan diri sendiri. Mungkin kebijakan yang dikeluarkan Aulia Pohan sebagai Deputi Direktur Bank Indonesia keliru, tapi tidak memperkaya diri dia. Cukup bertanggung jawab secara administrasi, misalnya dengan dipecat, ujar Marzuki Alie[4]. Prinsipnya, apa yang dilontarkan oleh Marzuki, lebih kepada ungkapan solidaritas terhadap Aulia Pohan, bukanlah sebagai bentuk konsistensi dan upaya dalam proses pemberantasan korupsi di Negara kita. Pernyataan tersebut, jelas telah menghina institusi hukum kita, khususnya Pengadilan Tipikor yang telah secara nyata menjatuhkan vinis terhadap Aulia Pohan. Disamping itu, pernyataan Marzuki yang menyebut bahwa Aulia Pohan bukanlah seorang koruptor, jelas menunjukkan kedangkalan berpikir serta pemahaman yang minim akan apa yang kita sebut dengan korupsi. Jika seorang pimpinan DPR saja tidak memahami dengan baik mengenai apa arti korupsi dan bagaimana modus tindakannya, bagaimana mungkin komitmen pemberantasan korupsi itu dapat terbangun?. Maka tidak salah kemudian jika komitmen pemberantasan korupsi, hanya nampak sebagai upaya yang hanya terhenti di mulut dan kampanye saja, tanpa ada upaya yang lebih serius sebagaimana kehendak jutaan Rakyat Indonesia.

Kontroversi Marzukie Alie juga terlihat dalam inisiatifnya bersama wakil ketua DPR-RI, mengundang calon Kapolri, Timur Pradopo sebelum agenda fit and proper test. Ini jelas merupakan suatu bentuk tindakan yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran kode etik, akibat dikhawatirkan adanya konflik kepentingan (conflict of interest) menjelang pemilihan Kapolri baru. Pernyataan ini pulalah yang menyulut reaksi negatif beberapa anggota Komisi III DPR, dengan melaporkan Marzuki Alie ke Badan Kehormatan DPR RI. Bahkan komisi III DPR RI, menyebut tindakan Marzuki tersebut sebagai inisiatif yang berlebihan. Bukannnya menyadari kekeliruan, Marzuki justru membalas kritikan tersebut dengan menuding balik dan menganggap Komis III terlalu lebay[5]. Sekali lagi, Marzuki menunjukkan kerapuhan mentalitas seorang pemimpin yang tidak akomodatif terhadap masukan dan kritikan dari luar, bahkan dikalangan senayan sendiri. Marzuki terlihat lebih senang menebar kontroversi dimana-mana, dibanding mencoba untuk bersikap terbuka dan mencoba belajar dari kesalahan-kesalahan yang diperbuat sebelumnya.

Kontroversi Mentawai

Kontroversi dalam konteks sandaran kemajuan, menjadi hal yang terkadang sangat penting. Apalagi ditengah monotonnya situasi dan keadaan. Akan tetapi, kontroversi yang bersifat diluar konteks, justru menjadi suatu tindakan yang kontra produktif dan terkesan asal. Hal ini pula yang sedang menggejala di lingkaran elit politik kita, dimana banyak pihak baik kelompok maupun personal yang menebar kontroversi hanya demi kepentingan mendongkrak popularitas, atau hanya sekedar menyetor suara agar dianggap peduli dengan kepentingan Rakyat. Seorang Marzuki Alie, memang mengundang banyak kontroversi. Sebagaimana yang disebutkan diwal tulisan ini, bahwa kontroversi ini terbangun selain karena posisinya sebagai Ketua DPR-RI, ia juga menjadi sosok yang menempati posisi penting di Partai Demokrat, partai pemenang mayoritas pada saat pemilu 2009 lalu.

Bencana yang terjadi di mentawai, Sumatera Barat, mengundang solidaritas dari berbagai kalangan. Begitupun dengan Marzuki, yang tidak ingin ketinggalan momentum dalam memberikan pandangan subjektifnya terkait dengan bencana alam mentawai tersebut. Namun alih-alih memberikan dukungan solidaritas bagi masyarakat mentawai, ketua DPR RI ini justru mengeluarkan pernyataan kontroversial yang menyudutkan serta menyalahkan korban (blame the victim). "Mentawai itu kan pulau. Jauh itu. Pulau kesapu dengan tsunami, ombak besar, konsekuensi kita tinggal di pulaulah", kata Marzuki. Saat ditanya, konsekuensi apa yang dimaksudnya, Marzuki menjawab, "Ya kalau takut kena ombak, jangan tinggal di tepi pantai", ujar Wakil Ketua Dewan Pembina DPP Partai Demokrat ini. (Kompas.com, (27/10/2010)[6]. Lebih lanjut, Marzuki menyarankan jika tinggal di pulau itu sudah tahu berisiko, pindah sajalah.

Ini jelas merupakan pernyataan asal bunyi yang tidak berdasar dan seakan menggampangkan persoalan, apalagi pernyataan tersebut terlontar dari mulut seorang Ketua lembaga tinggi Negara. Dengan seenaknya menyalahkan korban, apalagi ditengah situasi masyarakat yang membutuhkan dukungan dari berbagai pihak, pernyataan ini justru menjadi bencana psikologis bagi korban. Meski secara fisik tidaklah nampak, namun serangan psikis seperti ini, justru jauh lebih berbahaya. Menyalahkan masyarakat yang tinggal di pulau, sama saja dengan logika bahwa jika Anda takut jatuh, maka jangan pernah mendaki ketinggian. Atau jika Anda takut melarat, maka jangan jadi orang miskin. Sementara kemiskinan-pun bukanlah kehendak, keinginan atau pilihan seseorang. Namun merupakan akibat dari sebuah ketidakberesan sistem yang memaksa seseorang untuk menjadi miskin. Hal ini pula yang ada di benak masyarakat mentawai yang terkena arus benca tsunami. Hidup dipulau tersebut, adalah keharusan untuk bertahan hidup dan mengelola potensi ekonominya sendiri. Jikapun harus memilih, mungkin mereka ingin duduk dengan penuh kenyamanan di senayan dan justru mempersilahkan Marzuki Alie untuk berganti posisi dan mengecap bagaimana kehidupan mentawai yang terporak-poranda akibat bencana. Inilah yang tidak dirasakan oleh Marzuki, sehingga dengan seenaknya mengumbar pernyataan tanpa mempertimbangkan nasib dan perasaan masyarakat Mentawai. Bukankah ini pola pikir yang serabutan dan sesat? Sangat disayangkan jika pemimpin kita memaknai posisinya hanya sebatas retorika politik, yang begitu entengnya menyalahkan korban.

Ada beberapa alasan kuat, mengapa pernyataan kontrobersial Marzuki ini dikecam oleh banyak pihak, antara lain : Pertama, pernyataan tersebut menunjukkan ketidakpekaan (sense of crisis) terhadap bencana alam yang sedang melanda masyarakat mentawai, Sumater Barat. Apalagi posisi Marzuki sebagai pimpinan lembaga representasi Rakyat (representative house of people), seharusnya berada digarda terdepan di dalam membangun solidaritas, bukan malah menambah tekanan psikis terhadap masyarakat mentawai. Kedua, masalah sikap dan pembawaan seorang pemimpin, apalagi Marzuki Alie memiliki jabatan yang melekat sebagai Ketua DPR RI, yang tentu saja memiliki tanggung jawab lebih dibanding yang lainnya. Harus dipahami bahwa sikap dan pembawaan seorang pemimpin, semestinya responsif atau tanggap terhadap masyarakatnya. Namun hal tersebut bertolak belakang dari apa yang ditunjukkan oleh Marzuki, khusunya dalam bertutur. Cara berbicara ataupun dalam mengeluarkan statement yang serampangan, menjadi cermin rapuhnya pribadi seorang Marzuki. Maka wajar saja jika begitu banyak kalangan yang meragukan kapabilitas dan kredibilitas Marzuki sebagai ketua DPR-RI. Ketiga, pernyataan tersebut bertolak belakang dengan keinginan Pemerintah untuk mengisi kekosongan aktivitas dalam pulau terluar negara kita. Hal ini dilatarbelakangi oleh persoalan klaim dan perebutan wilayah negara Indonesia, yang selama ini terlalu sering muncul. Meminta masyarakat untuk pindah dan keluar dari pulau, sama saja dengan mengosongkan dan membiarkan orang luar masuk dengan leluasa untuk melakukan eksploitasi alam, sebagaimana yang terjadi dengan sipadan ligitan dll.

Dari berbagai kontroversi yang dilakukan oleh Marzuki Alie, tidak bisa dipungkiri telah menjadi ukuran bagi masyarakat Indonesia dalam menilai, pantas tidaknya Ia memimpin lembaga legislatif, yang notabene merupakan lembaga perwakilan rakyat. Seorang ketua DPR RI, tidaklah sekedar melalui proses penunjukan oleh partai politik maupun mekanisme formal yang ada. Akan tetapi seorang pemimpin lahir dan dibesarkan oleh tindakannya bersama dengan rakyat. Menyelami permasalahan rakyat, memahami kebutuhan rakyat dan tentu saja sedapat mungkin responsif terhadap situasi yang ada. Seorang pemimpin yang baik adalah pemimpin yang disaat duka, menangis palingn depan, dan disaat suka ia tertawa paling akhir. Dan karakter inilah yang belum diselami dengan baik oleh Marzuki Alie. Kita butuh pemimpin yang tidak sekedar menebar pesono dan pencitraan. Namun sosok pemimpin yang sebenar-benarnya mengabdikan hidup dan tujuannya demi kepentingan rakyat Indonesia. Dan ini merupakan hal yang sangat mustahil, jika elit politik kita hari ini hanya terkurung di dalam senayan tanpa pernah sedikitpun mengintip apa persoalan rakyat sesungguhnya.
___________________
Catatan Kaki :


[1] Sumber : http://www.marzukialie.com/index/profil. Diakses tanggal 17 November 2010.

[2] Sumber : http://www.rakyatmerdeka.co.id/news/2010/03/07/89236/Demokrat-Disarankan-Cari-Pengganti-Marzuki-Alie. Diakses tanggal 17 November 2010.

[3] Sumber : http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=153522:inilah-noda-ketua-dpr-marzuki-alie&catid=46:analisis&Itemid=128. Diakses tanggal 17 November 2010.

[4] Ibid,-

[5] Ibid,-

[6] Sumber : http://nasional.kompas.com/read/2010/10/27/16512887/Marzuki:.Pindah.Saja.ke.Daratan. Diakses tanggal 1 November 2010.
_______________________________
Majalah Mimbar Politik Edisi 77 Tahun II 22-28 November 2010