Showing posts with label HUTRI. Show all posts
Showing posts with label HUTRI. Show all posts

17 Agustus Versus 1 Oktober

Saturday, August 20, 2011

Ilustrasi: Google.com
Oleh:
Max Lane


Saya datang ke Indonesia pertama kali 1969 dan sudah berkali-kali kembali ke Indonesia. Sebagai seorang yang memulai perjalanan kehidupan intelektual sebagai mahasiswa jurusan studi Indonesia, sejak semula saya bergairah untuk belajar sejarah Indonesia – apalagi bila dibandingkan dengan sejarah Australia. Meskipun sejarah Australia juga penuh dengan kisah perjuangan rakyatnya (biasanya melawan elit kaya, baik kolonial maupun modern), ini tak bisa dibandingkan dengan Indonesia. Indonesia mengalami revolusi; rakyat Indonesia menjalankan sebuah revolusi; negeri Republik Indonesia, yang diproklamasikan pada 17 Agustus 1945 dan berhasil mengusir kekuatan politik kolonial tahun 1949, tercipta oleh sebuah revolusi nasional yang prosesnya sudah berlangsung 30-40 tahun sebelumnya.

Semua revolusi dalam sejarah manusia adalah fenomena hebat. Sudah beribu-ribu buku ditulis untuk mendefinisikan dan menganalisa apa itu revolusi. Sudah jelas ada berbagai jenis revolusi; dan juga cara orang memandang revolusi sering tergantung ideologinya dan kepentingannya. Kata revolusi dalam bahasa Inggris bermakna perubahan besar dan drastis dalam situasi politik. Kata itu mulai digunakan pada pertengahan abad 15 dan berasal dari bahasa Latin yang artinya bergelombang balik.

Buat saya, ada dua sifat yang harus dimiliki oleh semua revolusi sosial-politik sejati. Pertama, sebuah revolusi akan memutar-balikkan struktur kekuasaan yang berlaku. Kedua, baik di dalam proses menggulingkan maupun memutarbalikkan struktur kekuasaan tersebut mestinya bisa melahirkan makhluk yang baru secara esensi sebagai hasil dari proses revolusi itu sendiri. Revolusi memutarbalikkan kekuasaan (menghancurkan struktur lama dan mendirikan yang baru) sekaligus kreatif; menciptakan sesuatu mahluk yang baru, yang jauh lebih fenomenal daripada sekedar struktur kekuasaan yang baru. Begitu juga revolusi Indonesia. Struktur kekuasaan kolonial – di mana kekuasaan politik dan ekonomi terpusat sepenuhnya di Den Haag, Amsterdam dan Rotterdam – dihancurkan dan sebuah struktur kekuasaan baru didirikan.

Semula kelas kapitalis Belanda mengisi kelas penguasa; kekuasaan kelas itu terkalahkan oleh kelas-kelas sosial lain yang tadinya terkuasai dan tereksplotasi, terutama kelas buruh, kelas petani kecil maupun kelas borjuis dalam negeri Indonesia. Situasi mulai teresmikan pada 27 Desember 1949 ketika pemerintah Belanda mengakui mahluk yang bernama Republik Indonesia Serikat (RIS). Tapi RIS ini masih mengandung negeri-negeri yang dikuasai secara tak formal oleh Belanda. Sesudah mengalami berbagai gejolak, RIS bubar dan diproklamasikan Republik Indonesia pada 17 Agustus 1950.

Tetapi kreativitas revolusi nasional Indonesia jauh lebih dahsyat daripada sekadar melahirkan sebuah mahluk formal, yaitu Republik Indonesia. Revolusi Indonesia yang sebenarnya sudah mulai sejak awal abad 20 melahirkan orang Indonesia, bangsa Indonesia dan kebudayaan Indonesia – semuanya yang tak pernah berdiri di atas muka bumi sebelumnya. Makanya kata atau nama Indonesia juga tadinya tidak ada; tidak eksis. Yang ada sebelumnya bukan orang Indonesia, tetapi orang Jawa, orang Aceh, orang Dayak, dan seterusnya. Juga tidak ada kebudayaan Indonesia. Kebudayaan Indonesia mulai ada dengan munculnya sastra berbahasa Melayu (baru) dalam bentuk cerpen, roman, drama, syair, lagu, esei dan pidato yang kemunculannya bersamaan dengan kelahiran organisasi sosial-politik modern.

Kalau kita mempelajari fenomena munculnya kebudayaan baru itu – baik sastranya (semua produk tertulis, kemudian produk budaya lain) bersama kegiatan berorganisasi secara sosial politik, memang kita pasti akan terinspirasi sekali oleh kekayaanya akan visi, pengalaman, ide, dan memang kreativitasnya. Belum lagi perjuangan militer, politik, intelektual, budaya dan dipomatik yang sangat intensif sekali diantara tahun 1945 dan 1949.

Luar biasa memang. Buat saya sendiri, saat zaman saya mahasiswa (1969-1972) merasa sangat exciting – dan saya selalu ingin berangkat secepatnya ke Indonesia.

Tetapi semakin sering saya berkunjung ke Indonesia semakin saya terkesan oleh sebuah hal yang, buat orang yang baru kenal Indonesia pada waktu itu, sangat mengecewakan. Kegiatan-kegiatan dan suasana menjelang dan pada hari kemerdekaan tak ada apa-apanya. Ada sebuah pidato oleh presiden Suharto di televisi yang kurang diperhatikan masyarakat. Ada lomba-lomba buat anak-anak di kampung. Ada pawai-pawai yang sangat formal. Tidak ada gaung sama sekali dari kehebatan revolusioner periode 1900-1949. Tak ada penghayatan perjuangan panjang di semua bidang yang menciptakan Indonesia sendiri. Ide-ide yang merupakan asal-usul adanya Indonesia sendiri – kemerdekaan, keadilan, perjuangan, rakyat, pergerakan, kedaulatan, sekali lagi kemerdekaan – tidak hadir sama sekali.

Serba formal, dangkal dan penuh kelupaan. Sama garingnya dengan peringatan hari nasional Australia yang memperingati deklarasi non-revolusioner perkumpulan orang-orang elit putih Australia tahun 1901. Indonesia memiliki warisan politik dan budaya revolusioner, tetapi dilupakan.

Sesudah saya semakin kenal dengan sejarah Indonesia, situasi ini semakin lebih bermakna buat saya. Saya sempat beberapa kali menonton footage Sukarno bicara pada 17 Agustus sebelum 1965. Saya juga mendengarkan pidato-pidatonya. Saya memulai membaca tentang kegiatan peringatan 17-an sebelum 1965. Saya menemukan keadaan yang justru sebaliknya. Sebelum 1965, peringatan 17 Agustus adalah saat diluncurkannya ide-ide politik baru oleh Sukarno yang kemudian akan ramai dibicarakan oleh puluhan juta orang dan bahkan diperdebatkan. Boleh setuju atau benci ide-ide itu, tetapi kenyataannya ialah seluruh masyarakat mendiskusikannya sebagai bagian memikirkan masa depan Indonesia, bersama-sama, beramai-ramai. Bahkan anggota-anggota partai-parti terlarang (Masyumi dan PSI, misalnya – yang seharusnya tidak perlu dilarang) juga ikutan mendiskusikannya, mengingat bahwa berbagai organisasi mereka masih legal dan aktif. Tetapi arus berbalik tahun 1965.

Saya kira sejak 1965, dalam ideologi Orde Baru Suharto (OBS), 1 Oktober – Hari Kesaktian Pancasila – lebih penting daripada 17 Agustus. Ini – antara lain – tercermin olek definisi OBS terhadap 17 Agustus: hari Proklamasi dan juga definisi politik buat Sukarno dan Hatta – terutama Sukarno – sebagai sekadar Proklamator. Dengan definisi tersebut, ide-ide mereka yang merupakan motor penggerak ideologis revolusi nasional dinegasikan. Terbukti pula bahwa selama OBS, tulisan-tulisan Sukarno dilarang. Sebenarnya ide revolusi itu sendiri dilarang. Memang karena apa yang dijalankan oleh kekuatan OBS dari tahun 1965 sampai 1970-an adalah sebuah kontra-revolusi. Tidak mungkin sebuah kekuatan yang menjalankan kontra-revolusi akan mampu menghayati secara sejati arti sebuah hari peringatan revolusi –sebuah hari yang memperingati betapa bergairahnya proses di mana rakyat tertindas memutarbalikkan struktur kekuasaan serta menciptakan sebuah mahluk baru bernama Indonesia. Revolusi nasional Indonesia – kalau sejarah sesungguhnya bisa dihayati –akan ingat kembali bahwa rakyatlah yang menciptakan Indonesia dan Indonesia adalah milik mereka bersama, bukan milik segelintir siapa pun.

Celakanya, kontrarevolusi OBS bukan saja kontra-revolusi yang menggagalkan sebuah revolusi sosial (sosialis) yang sepertinya mungkin akan segera mengancam memutarbalikkan struktur ekonomi kapitalis Indonesia, tetapi juga menggagalkan revolusi nasonal Indonesia yang belum tuntas sebelumnya.

Pemimpin OBS secara sukarela dan dengan semangat (kerakusan) mengundang masuk kembali penanam modal dari negeri-negeri imperialis dengan syarat-syarat sangat minimal sesuai dengan yang diminta oleh Washintgton, London, Tokyo dan lain-lain. Hampir seluruh warisan budaya dari revolusi nasional Indonesia sengaja dihilangkan dari medan kebudayaan Indonesia. Sejarah Indonesia ditulis kembali dengan banyak kepalsuan-kepalsuan dan itu pun hanya untuk dihapalkan. Pada tahun 1970-an kesusasteraan nasional Indonesia tidak lagi dipelajari dengan serius di sekolah. Banyak sekali sastra dan tulisan dilarang. Tindakan ini, dalam bidang ekonomi serta budaya memang merupakan sebuah pe-negasi-an revolusi nasional Indonesia. Tak mungkin 17 Agustus akan bisa diperingati dan dihayati secara sejati. Indonesia didirikan dan diciptakan bukan sekadar berkat proklamasi tetapi karena revolusi. Menghayati 17 Agustus, butuh menghayati apa itu revolusi dan mengapa revolusi itu sebuah proses yang kreatif dan membebaskan manusia.

Hari Kesaktian Pancasila 1 Oktober adalah hari memperingati kemenangan pertama kontrarevolusi OBS. Saya perlu mencatat di sini bahwa dalam pendapat saya peristiwa Gestapu atau Gestok adalah perbuatan ngawur, idiot, dan keblinger. Sebuah konspirasi tengah malam yang tidak bisa dibenarkan. Tetapi tindakan-tindakan Suharto sebagai panglima Kostrad pada waktu itu tidak sekadar bertindak merespons sebuah konspirasi malam yang illegal. Suharto, jelas dengan sadar, meluncurkan sebuah kontarevolusi untuk membalikkan arus politik yang sedang berkembang. Tindakannya tidak hendak mengadili segelintir orang – baik Aidit maupun yang militer - yang menjalankan konspirasi tengah malam yang illegal. Tindakannya merupakan awal dari sebuah proses membasmi dan menindas gerakan sosial, politik, dan budaya yang didukung jutaan rakyat Indonesia yang berbasis ideologi sosialisme.

Ratusan ribu orang kemudian dibunuh tanpa proses hukum apa pun. Mungkin ratusan ribu juga ditahan untuk jangka waktu pendek, serta disiksa secara bengis. Puluhan ribu lain ditahan selama bertahun-tahun tanpa pengadilan apa pun. Ini dijalankan oleh Suharto, dengan memakai tentara (yang sudah dibersihkan dari perwira dan serdadu yang pro-Sukarno) dan didukung keras oleh kaum intektual anti-komunis (Angkatan 66).

Pembasmian dan penindasan ini membuka jalan untuk program ekonomi dan budaya yang anti-revolusi nasional yang saya sudah sebut di atas. Represi itu dan semua program politik OBS yang anti-demokratis yang menyusul kemudian di antara tahun 1968-1990-an sebagai program politik yang menegasikan peran rakyat Indonesia dalam kehidupan politik negeri Indonesia sekaligus merupakan tindakan anti-nasional. Rakyat Indonesia – massa miskin dan marhaen, bersama mahasiswa dan intelektual muda yang aktivis – adalah mereka yang menciptakan Indonesia melalui revolusinya. Program politik OBS merampok kedaulatan politik rakyat dari tangannya. 1 Oktober juga merupakan awal dari budaya yang berdiri di atas kebohongan-kebohongan besar, mulai dari kebohongan bahwa wanita-wanita komunis menyiksa para Jenderal yang diculik tengah malam sampai dengan kabar bohong mutilasi yang tak berdasar pada otopsi dokter-dokter Angkatan Darat sendiri.

Buat OBS, 1 Oktober jelas lebih bermakna. Tetapi, saya kira masalahnya lebih dalam, lebih mendasar lagi. Kontrarevolusi 1965 terjadi 46 tahun yang lalu. 46 tahun merupakan hampir duapertiga dari kehidupan negeri Indonesia. Mayoritas orang Indonesia lahir selama zaman OBS. Mayoritas besar orang Indonesia menjadi dewasa di bawah OBS dan tidak kenal langsung Indonesia sebelum 1965. Karena selama 40 tahun berjuta-juta anak Indonesia tidak diajarkan untuk menghayati sastra mau pun sejarahnya sendiri, sebagian besar rakyat Indonesia tidak mengenal proses kelahiran Indonesia itu sendiri. Selama periode ini pula sel struktur dan kehidupan ekonomi Indonesia juga berubah. Dulu Indonesia negeri pedesaan; sekarang lebih sebagai negeri urban dengan puluhan juta rakyat miskin tinggal di pusat kota yang sangat padat, dan sering kumuh. Dulu, sebelum 1965, kelas kapitalis Indonesia hanya terdiri dari ribuan pengusaha-pengusaha kecil, dengan beberapa pengusaha menengah yang dibantu pemerintah.

Pada kurun 1956-1965 hampir semua sektor modern sudah resmi di tangan negara. Sekarang ada konglomerat kroni Suharto yang tumbuh selama masa OBS hasil dari KKN nasional. Selain mereka juga ada ribuan 'konglomerat' tingkat daerah hasil KKN lokal yang sekarang ada di mana-mana dan sering maju menjadi bupati dan gubernur di seluruh penjuru Indonesia. Tanpa landasan kuat berupa pengetahuan dan penghayatan akan sastra dan sejarah nasionalnya, kebudayaan yang berkembang lebih terpengaruh konsumerisme kosmopolitan dan “budaya” sinetron yang tak rasional, dangkal dan melayani keinginan melarikan diri dari realitas yang pahit daripada bangkit berusaha untuk mengubah realitas tersebut.

Apakah memang sudah ada dua Indonesia: Indonesia hasil kontra-revolusi 1965 yang berdiri di atas penindasan, pembohongan dan KKN atau Indonesia hasil revolusi nasional 1900-1965 yang oleh kekuasaan OBS dieliminasi dari ingatan massa secara sistematik. Akan tetapi kemudian pelahan-pelahan dengan langkah tegas mulai bangun kembali dalam bentuk perlawanan-perlawan terhadap OBS selama tahun 1970an - 1990an. Proses melawan dan mengakhiri Orde Baru (1974-1998) juga sebuah proses kreatif, hanya belum tuntas pula dan masih menghadapi pilihan.

Jadi sekarang mau pilih Indonesia yang macam apa? Indonesia 17 Agustus 1945 atau Indonesia 1 Oktober 1965? *

Source: Here

Mengintip Istana Enam Presiden (2)

Photo Google.com
Oleh:
Agus Dermawan T


Gus Dur Biru, Mega Merah-Putih, SBY 'Ijo Royo-royo'

Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur berada di Istana Presiden selama 1999-2001. Pada masa pemerintahan Gus Dur, Istana Presiden dikembalikan menjadi rumah rakyat. Semua hal yang sifatnya protokoler dibikin kendur. Hampir setiap orang yang berkepentingan dipersilakan masuk ke Istana. Pada masa kekuasaannya, Gus Dur relatif hanya menggunakan istana yang di Jakarta saja.

Gus Dur pada prinsipnya membiarkan keadaan Istana Presiden seperti sediakala. Aneka keramik yang berbentuk vas besar, piring, guci dibiarkan tertata di sejumlah almari dan sudut-sudut ruang. Ada, memang, yang menawarkan perubahan materi interior. Namun Gus Dur menolaknya. "La, diubah bagaimanapun saya juga gak liat. Jadi, buat apa," katanya serius.

Gus Dur memiliki dua kantor kepresidenan di kompleks Istana Negara. Kantor itu, gedung Bina Graha, bekas kantor Presiden Soeharto, dan gedung sayap kiri Istana Negara. Interior kantor Presiden di Bina Graha tidak diubah sedikit pun. Bahkan pemisah ruangan berupa kulit bertatah wayang warisan Pak Harto, yang memisahkan ruang makan, tidak banyak bergeser. Begitu pula hiasan dinding di lorong kantor sayap kiri Istana. Lukisan Gajah Mada karya Henk Ngantung, serta lukisan pemandangan karya Basoeki Abdullah, terpajang tenang.

Sementara Gus Dur dan keluarganya tinggal di sayap kanan Istana Negara, di sini sentuhan seni istrinya, Siti Nuriyah Abdurrahman Wahid, tampak. Sebagian besar elemen rumah, dari gorden sampai permadani, didominasi warna biru. Alasannya, seperti diungkapkan First Lady: istana-istana negara yang pernah ia kunjungi di dunia tidak ada yang berwarna biru. Karena itu, keluarga Gus Dur memulainya. Sementara itu, di dinding tergantung khat atau gambar kaligrafi Arab.

Meski demikian, ada satu hal yang oleh Gus Dur diubah. Di dalam ruang Istana Presiden, apalagi di ruang kerja Presiden dan stafnya, harus bersih dari patung-patung tiga dimensi. Patung-patung tersebut, yang meliputi karya-karya seniman Indonesia dan seniman berbagai negara, lantas "dibuang" ke luar ruangan, seperti taman atau sehamparan lapangan luas. Patung-patung yang relatif kecil, oleh pihak pengelola benda seni Istana, dimasukkan ke gudang Sanggar Seni Rupa Istana Presiden.

Ada yang mengatakan bahwa ide "pembuangan" patung itu bukan murni dari Gus Dur, melainkan dari beberapa penasihatnya yang menganggap patung sebagai embrio berhala. Namun Gus Dur bertanggung jawab atas semua itu. Ia meyakini para penasihatnya paham bahwa pasal keberhalaan dalam Islam adalah "tafsir masa silam" yang sudah dikaji berdasarkan asbabul wurud (musabab, setting, latar belakang turunnya hadis). Sehingga patung-patung figuratif itu untuk masa sekarang sudah mubah, atau boleh. Jadi, "pembuangan" itu hanya soal estetika dekorasi Istana saja.


Mega yang artistik

Megawati Soekarnoputri sesungguhnya telah "menguasai" Istana sejak 1999, kala ia menjadi wakil presiden. Namun pada periode itu ia menahan diri karena, biar bagaimanapun, Gus Dur adalah bosnya. Pada 2001, ia mulai merasa bahwa Istana, yang sudah mewariskan sekitar 15 ribu benda seni, adalah rumah sejatinya.

Ketika Mega berada di Istana selama 2001-2004, Istana Presiden banyak mengalami perubahan. Ia membuat kantor kepresidenan dan ruang sidang kabinet di bagian tengah kompleks Istana Negara. Kantor ini mengambil gedung yang tadinya dipakai untuk Sanggar Seni Rupa Istana Presiden dan Puri Bhakti Renatama, museum craft dan art craft cendera mata dari seluruh dunia.

Mega lalu memindahkan koleksi dua "rumah seni" itu ke gedung Bina Graha, yang dulu dipakai sebagai kantor Presiden Soeharto. Dengan pemindahan itu, berarti lembaga Sanggar Seni Rupa Istana Presiden serta Puri Bhakti Renatama dibubarkan, dan diganti dengan lembaga yang lebih besar dengan tugas yang lebih kompleks: Museum Istana Kepresidenan.

Ihwal ruang kantor utama, Mega berupaya memberikan sentuhan pribadinya. Sejumlah lukisan dan elemen interior yang dipasang menyiratkan makna khusus dan fungsi yang jelas. Di sini ada karya Walter Spies, Roland Strasser, dan Trubus Sudarsono. Di sepojok lantai secara dekorasional ter-display kerajinan gading gajah, yang melambangkan power. Untuk menyempurnakan jagat tata ruang ini, Mega mengangkat Kris Danubrata, kerabatnya, sebagai staf khusus presiden non-struktural bidang seni-budaya.

Semasa era Megawati, Istana Presiden di seluruh Indonesia layak diapresiasi interior dan eksteriornya, juga mutu elemen-elemennya. Gampang dikenang keteduhan kantor presiden serta ruang tamu di Istana Merdeka. Kegairahan Ruang Film di Istana Bogor, yang diaksentuasi lukisan filosofis Basoeki Abdullah, Bila Tuhan Murka. Seremonialnya Ruang Tamu Negara Istana Tampaksiring, yang dihiasi lukisan Gusti Ketut Kobot sampai Wayan Gedot.

Yang unik, di Ruang Tunggu Tamu Istana Negara terpancang bendera kuning bergambar bintang, padi, dan kapas. Bendera ini pada masa pemerintahan Bung Karno dipakai untuk menandai keberadaan Presiden di Istana Negara. Apabila berkibar di puncak Istana Negara, berarti Presiden ada. Apabila tidak dikibarkan, berarti Presiden berada di luar Istana. Bendera penanda ini tak dipakai lagi pada masa pemerintahan Pak Harto, bahkan pada pemerintahan Megawati. Maka, apabila direnungkan, bendera ini bisa menjelma menjadi benda dokumentasi yang banyak bercerita tentang 21 tahun keberadaan Bung Karno di Istana. Pada era Mega, Istana banyak diaksentuasi warna merah dan putih!


Pemandangan SBY

Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY resmi masuk Istana pada akhir 2004. Ia termasuk Presiden yang paling beruntung karena mendapat warisan Istana artistik dari pendahulunya, Megawati. Bahkan SBY tampak berbahagia ketika melihat Bina Graha telah menjadi Museum Istana Presiden. Pada Juli 2005, ia meninjau museum itu, dan berjanji akan mengajak para tamu negara seusai upacara 17 Agustus di Istana. Mengenai situasi interior dan eksterior Istana, SBY juga happy. Ia merasa tinggal bekerja saja, karena semuanya sudah jadi.

Tapi, lain SBY, lain pula para pembantunya. Penasihat Presiden tiba-tiba membongkar habis Museum Istana Presiden yang sudah apik dikemas. Ratusan lukisan, patung, keramik, dan perangkat wayang diringkus, dimasukkan ke gudang. Karena gudang tidak siap, koleksi yang berharga puluhan miliar rupiah itu diboyong memakai truk ke Istana Yogyakarta. Segenap pengelola Museum Istana Presiden kalang kabut.

Semasa pemerintahan SBY, keadaan Istana Presiden, terutama yang di Jakarta, Bogor, dan Cipanas, pelan-pelan berubah. SBY menginginkan suasana di Istana ijo royo-royo (hijau segar), menyenangkan, dan rekreatif. Itu sebabnya, taman bagian dalam Istana Merdeka dijadikan lapangan golf mini. Di Istana Negara, ada sport center yang bisa untuk main pingpong dan sebagainya.

Untuk ruangan, ia sangat suka memajang lukisan pemandangan yang berwarna cerah. Dari situ, ia lalu memerintahkan staf artistik Istana memburu lukisan yang realis fotografis, selaras dengan seleranya. Kini di ruang resepsi Istana Merdeka terpajang lukisan besar S. Baharrizki, pemandangan Gunung Sumbing. Di sisi-sisi lain bertebaran lukisan Yap Hian Tjay yang ringan dan manis. Di serambi Istana Cipanas dipasang lukisan-lukisan bertema bunga mekar. Di serambi itulah SBY kadang menyanyi dengan diiringi band. Ruang kerja SBY dipajangi foto-foto pribadinya yang aksi dalam bingkai yang rapi.

Bertolak dari itu, elemen-elemen interior yang bercorak ekspresif dan mengusung spirit vibrasi vitae terpinggirkan. Bahkan lukisan potret para Presiden RI yang sudah ada di Ruang Pelantikan Istana Negara juga akan diperbarui dengan yang lebih "sempurna". Atas lukisan potret ini, SBY telah memilih karya Ronald Manulang, pelukis super-realis Indonesia ternama.

SBY, dan tentu Ibu Ani Yudhoyono, memang lebih dekat dengan suasana hunian yang perfek, bercitra intelek dan halus, meski kadang terasa steril. Mirip penampilan dirinya di depan publik. *


*) Agus Dermawan T adalah Kritikus seni, penulis buku Istana-istana Presiden RI



Powered by:
Epaper Koran Tempo,
Sabtu, 20 Agustus 2011

Mengintip Istana Enam Presiden (1)

Friday, August 19, 2011

Photo Google.com
Oleh:
Agus Dermawan T


Bung Karno Merdeka, Pak Harto Takut Kualat, Habibie Islami

Sejak 17 Agustus 1945, Indonesia telah memiliki enam presiden. Dan keenam presiden itu menempati istana-istana yang sama, yakni Istana Negara dan Istana Merdeka di Jakarta, Istana Bogor, Istana Cipanas, Istana Yogyakarta (Gedung Agung), Istana Tampaksiring di Bali, dan Istana (peristirahatan) Tenjoresmi di Pelabuhan Ratu. Dalam setiap kekuasaannya, semua presiden mengelola Istana dengan selera pribadinya. Maka Istana pun punya enam rasa: dari rasa Bung Karno sampai rasa Susilo Bambang Yudhoyono. Mari kita cicipi "enam rasa Istana" itu.


Bung Karno

Presiden Sukarno atau Bung Karno sungguh lekat dengan kesenian. Dan kesenian itu, terutama seni rupa, membawanya menjadi kolektor sejati, connoisseur. Selama menjadi presiden pada 1945-1966, ia memiliki koleksi seni rupa sekitar 2.200. Karya seni itu sebagian besar dikumpulkan di semua Istana.

Ketika koleksinya membutuhkan penataan serius, ia mencari ahli seni untuk menangani. Pada 1950, Dullah, yang juga dikenal sebagai pejuang, diposisikan sebagai pelukis Istana Presiden. Setelah Dullah mundur pada 1960, Bung Karno mengangkat pelukis Lee Man Fong dan Lim Wasim untuk menggantikannya. Pengangkatan dua pelukis berbasis Tiongkok ini ada hubungannya dengan situasi politik kala itu, yang beraroma poros Jakarta-Peking.

Namun, meski Bung Karno punya pelukis Istana Presiden, tak berarti segala yang tertata di semua interior dan eksterior diatur oleh pelukis Istana. Menurut Dullah, Bung Karno punya konsep pribadi yang kuat, sehingga dengan merdeka ia bertindak karepe dewe (semaunya sendiri). Suatu hal yang acap melahirkan pertengkaran dengan pelukis Istana yang sesungguhnya sudah diberi mandat.

Untungnya, Bung Karno tahu seni serta memahami interior dan pertamanan. Tinggi-rendah fondasi patung, posisi keramik, sampai peletakan paku gantungan lukisan, Bung Karnolah yang menentukan. Dan ia hanya mau memajang karya yang secara teknik perfek dan secara visual indah. "A thing of beauty is joy forever", begitu ia sering berujar. Seminggu sekali ia keliling taman dan keluar-masuk kamar Istana, mengecek keindahan yang digagasnya.

Penempatan itu tak hanya berkaitan dengan estetikanya, tapi juga berhubungan dengan tema yang tersurat dalam karya. Istana Merdeka, misalnya, dipajangi lukisan yang bertema revolusi. Istana Negara diisi seni dari berbagai negara. Istana Tampaksiring dihiasi karya bertema Bali. Sementara itu, di berbagai dinding kamar, lukisan-lukisan bunga dan wanita seksi ramah menyapa.

Yang unik, sang Presiden sungguh hafal letak setiap karya yang dipajangnya. Suatu ketika pada 1961, ia mendapati lukisan Jenderal Sudirman karya Yoes Soepadyo tak ada di tempatnya. Ia memanggil Lim Wasim, Hardjo Walujo (Kepala Rumah Tangga Kepresidenan), dan sebagian pegawai Istana. Di situ Bung Karno menghardik, "Jangan-jangan kalian semua maling! Maling!"


Soeharto

Presiden Soeharto atau Pak Harto menghuni Istana pada 1966-1998. Jagat kesenian relatif jauh dari benak Pak Harto. Lalu apa yang dilakukan Pak Harto atas ribuan benda seni di Istana Presiden yang diwariskan oleh Bung Karno? Jawaban atas itu didapat dari Lim Wasim, yang tetap dijadikan pelukis Istana (meski tanpa kerja) sampai 1968.

"Pak Harto tidak mengubah sebagian besar pajangan di semua Istana. Pak Harto seperti percaya bahwa peletakan benda seni yang dilakukan Bung Karno itu ada perhitungan mistiknya. Takut kualat. Tapi di sisi lain Pak Harto tidak mempedulikan yang tidak terpajang, sehingga ratusan lukisan dan keramik hilang."

Ketika sadar bahwa di Istana banyak maling, Pak Harto menganjurkan terbentuknya Sanggar Seni Rupa Istana Presiden. Lembaga ini bertanggung jawab atas semua benda seni di situ. Bila ada yang hilang lagi, sanggar itu yang digebuk. Menyadari bahwa dirinya tak memahami seni, Pak Harto lalu memberdayakan Joop Ave untuk mengatur isi kompleks seluruh Istana. Dengan begitu, selera interior dan eksterior Istana adalah selera Joop Ave. Dan ketika Joop Ave diganti Sampurno, keelokan Istana pun bergaya Sampurno. Pertanyaannya: bila Pak Harto "tunaseni", ke mana selera Ibu Tien Soeharto? Kurang jelas.

Namun tak berarti Ibu Tien tidak punya peran. Pada suatu ketika sang Ibu Negara mendadak punya permintaan. Dengan tidak mempedulikan "hitungan mistik" Bung Karno, ia menginstruksikan agar aneka lukisan dan patung bertema telanjang tidak dipajang di semua Istana. Itu sebabnya, selama hampir separuh pemerintahan Pak Harto, puluhan lukisan dan patung nude itu oleh Sanggar Seni Rupa Istana Presiden disekap dalam ruang tertutup di Istana Bogor.

Keberanian Ibu Tien itu mendorong Pak Harto ikut memindahkan satu (ya, satu saja) lukisan dari tempat asalnya. Lukisan itu adalah Jenderal Sudirman karya Yoes Soepadyo yang sudah terceritakan di atas. Lukisan ini lantas dipajang di Ruang Jepara, bilik besar untuk menerima tamu-tamu negara. Konon, pilihan Pak Harto atas lukisan tersebut berangkat dari penghormatan yang sifatnya historis. Jenderal Sudirman adalah komandannya pada era revolusi di Jawa Tengah. Lalu setiap kali televisi menyiarkan pertemuan Pak Harto dengan tamunya, Jenderal Sudirman selalu tampak menemaninya.


Habibie

Bacharuddin Jusuf Habibie menjabat Presiden RI pada 1998-1999. Sebelumnya, Pak Habibie adalah Wakil Presiden sejak 1997.

Sebagai ahli pesawat terbang, Pak Habibie ternyata serius menyalurkan hobinya dalam fotografi. Dari ribuan fotonya tampak bahwa ia memiliki jiwa seni. Maka, apabila menata interior dan eksterior Istana, dipastikan ia memiliki visi. Sayang, rasa seni itu tidak sempat berkembang lantaran jabatannya yang singkat. Dan karena kesibukannya yang hebat, kebijakan keindahan Istana diserahkan kepada Kepala Rumah Tangga Kepresidenan M. Basyuni.

Meski demikian, Pak Habibie sempat meninggalkan jejak khas di lingkup Istana Presiden. Misalnya, ia mencopot dua lukisan karya Basoeki Abdullah, Gatotkaca dan Pergiwa Pergiwati serta Joko Tarub, dari ruang resepsi Istana. Dua lukisan berukuran 255 x 170 sentimeter itu memaktubkan gambar wanita-wanita cantik dan sensual. "Lukisan itu bisa mengganggu pikiran penghuni ruangan. Saya sudah ingin menurunkan itu sejak saya jadi wakil presiden," katanya.

Lalu dinding lebar yang kosong melompong itu, atas anjuran Pak Habibie pula, diisi dengan dua cermin besar. Banyak yang terperanjat atas gagasan ini. Cermin raksasa di tengah ruang resepsi memang tak pernah ada di dunia. Habibie juga mengadakan pemugaran bagian belakang Istana Merdeka. Bagian dinding berkaca di situ dibongkar karena dianggap menciptakan sekat. Maka ruangan pun serta-merta berubah menjadi serambi. Dan di dinding serambi itu dipahat tujuh panil relief kaligrafi Arab yang terbuat dari gipsum. Kecenderungan pilihan ini tentulah berkonteks dengan latar hidup Pak Habibie yang sangat islamis, dan pernah menjadi petinggi Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia. *

*) Agus Dermawan T adalah Kritikus seni, penulis buku Istana-istana Presiden RI



Powered by:
Epaper Koran Tempo,
Jumat, 19 Agustus 2011

Mengapa Tanya Suku Bangsa?

Thursday, August 18, 2011

Pembacaan Naskah Sumpah Pemuda. (Photo: Dispora Kab. Malang)
 
Oleh:
Bryan Bernadi


Pada zaman penjajahan Belanda dan Jepang, golongan penduduk Nusantara dibeda-bedakan berdasarkan suku bangsanya. Berlandaskan pada ketentuan Pasal 131 dan 163 Indische Staatsregeling (IS), golongan penduduk dibedakan menjadi tiga golongan yakni golongan Eropa, golongan Bumiputera, dan golongan Timur Asing.

Berdasarkan pembedaan itu maka ketentuan dan sistem hukum yang diberlakukan bagi tiap-tiap golongan tersebut juga dibedakan. Setelah melewati perjuangan dan proses yang panjang, pejuang kemerdekaan yang dipimpin Bung Karno memproklamasikan kemerdekaan bangsa Indonesia pada 17 Agustus 1945.

Dalam proklamasi kemerdekaan tersebut, Bung Karno membacakan teks Proklamasi yang menyatakan “Kami Bangsa Indonesia, dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia”.Teks Proklamasi yang dibacakan Bapak Bangsa tersebut memproklamasikan dan menegaskan serta mengandung makna yang dalam,bahwa kita adalah satu bangsa,bangsa Indonesia.

Menindaklanjuti kemerdekaan Indonesia, pemerintah berkewajiban untuk menyusun dan menyelenggarakan suatu sistem hukum nasional yang berlaku bagi warga negara Indonesia. Sambil menunggu terbentuknya suatu sistem dan politik hukum nasional, pemerintah masih memberlakukan ketentuan hukum yang berlaku pada zaman Belanda sepanjang tidak bertentangan dengan konstitusi Republik Indonesia, termasuk di dalamnya mengenai ketentuan Pasal 131 dan 163 IS.

Pemerintah terus berusaha mewujudkan hukum nasional sebagai pengganti hukum kolonial, yang direncanakan melalui politik hukumnya dalam haluan negara.Suatu perumusan politik hukum yang dinyatakan secara tegas dan bertahap dicantumkan dalam Garis- Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang ditetapkan dengan Ketetapan MPR.

Mengenai Pasal 131 dan 163 IS yang membagi golongan penduduk di Nusantara itu sendiri, memang hingga saat ini ketentuan pasal tersebut tidak pernah dicabut.Namun demikian, pemerintah pernah menerbitkan Undang-Undang No 62 Tahun 1958 dan menetapkan Instruksi Presidium Kabinet No 31/U/IN/12/1966 tanggal 27 Desember 1966.

Aturan tersebut intinya menyatakan bahwa sistem kewarganegaraan di Indonesia hanya dikenal warga negara Indonesia dan warga negara asing.Aturan itu juga menginstruksikan agar pembagian golongan penduduk berdasarkan ketentuan Pasal 131 dan 163 IS tidak dipergunakan lagi.


Hapus Diskriminasi

Bangsa Indonesia telah 66 tahun merdeka dan mencapai banyak kemajuan dan pembangunan di berbagai bidang. Berbagai prestasi telah diukir oleh anak bangsa di kancah regional dan internasional sehingga mengharumkan nama ibu pertiwi sebagai satu bangsa Indonesia.

Namun, anehnya dalam beberapa peristiwa masih dirasakan semangat diskriminasi ala pemerintahan kolonialisme yang ditancapkan oleh penjajah Belanda dan Jepang dalam membagi golongan pendudukan berdasarkan suku bangsa tertentu.

Sebagai contoh, dalam pembuatan Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) dan pada saat kita mengisi data diri untuk membeli produk investasi tertentu. Selain mengisi formulir mengenai kewarganegaraan, kita juga diminta untuk mengisi data mengenai latar belakang suku bangsa kita.

Aneh bukan? Padahal sudah jelas berdasarkan UU Kewarganegaraan dan Instruksi Presidium Kabinet No 31/U/ IN/12/1966, maka pembagian golongan penduduk sudah tidak dipergunakan lagi. Menjadi timbul pertanyaan,bahwa apakah dengan diketahuinya data diri mengenai suatu suku bangsa tertentu, maka hal tersebut akan menjadikan kita mendapatkan pembedaan perlakuan dari suku bangsa lainnya?

Di konstitusi dan hukum yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan telah mengejawantahkan semangat dan cita-cita luhur proklamasi kemerdekaan para bapak bangsa kita sebagai satu bangsa, bangsa Indonesia. Lebih lanjut, sistem dan ketentuan hukum yang berlaku saat ini pun tidak dibeda-bedakan berdasarkan golongan penduduk atau suku bangsa tertentu.

Oleh karena itu, apakah masih diperlukan pencantuman identitas suku bangsa kita dalam data diri tertentu? Bukankah kita adalah satu bangsa Indonesia? Apa pun itu, hendaknya menjadi perenungan kita semua. Selamat ulang tahun Bangsa Indonesia!.


*) Bryan Bernadi, Associate di Kantor Hukum Andi F Simangunsong


Source: Harian Seputar Indonesia,17 Agustus 2011

Catatan Kecil Kemerdekaan

Wednesday, August 17, 2011

Oleh:
Musri Nauli *)



"Kita belum merdeka.
Karena tanah kami masih dirampas oleh perusahaan besar"
- Danau Lamo, Muara Jambi, Awal Agust 2011


Kata-kata itu seakan menyentak dan memberikan kesadaran baru. Apakah makna kemerdekaan masih sekedar slogan tanpa makna atau sekedar utopia yang kehilangan relevansi dalam kehidupan kemasyarakatan.

Dalam teori ketatanegaraan, perdebatan kapan Indonesia merdeka menimbulkan problematika yang serius. Sebagaimana sudah menjadi pengetahuan, yang dapat dikategorikan sebagai negara apabila terdapat Pemerintahan yang berdaulat, mempunyai wilayah dan mempunyai rakyat. Dalam teori kontemporer, syarat adanya negara juga harus didukung adanya konstitusi dan adanya pengakuan dari negara lain.

Dengan mengikuti konsepsi teori ketatanegaraan, maka tanggal 17 Agustus 1945 barulah dinyatakan sebagai ikrar (pernyataan kemerdekaan). Pembacaan teks Proklamasi tanggal 17 Agustus 1945 pukul 10.00 di Pegangsaan belum dapat dinyatakan telah berdirinya Indonesia merdeka. Pernyataan ikrar sekedar bentuk sikap politik dari anak negeri untuk menyatakan kemerdekaan. Pernyataan kemerdekaan ini sebenarnya sudah juga tercetus seperti 20 Mei 1908 yang kemudian diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional atau pada waktu Kongres Pemoeda yang diadakan di Waltervreden (sekarang Jakarta) pada tanggal 27 - 28 Oktober 1928.

Tanggal 17 Agustus 1945 sama sekali belum menentukan wilayah kedaulatan Indonesia, belum memiliki Pemerintah yang berdaulat. Dengan demikian, maka tanggal 17 Agustus 1945 belum dapat dinyatakan telah berdirinya Indonesia merdeka.

Pada tanggal 18 Agustus 1945, barulah diadakan rapat oleh Panitia Persiapan Usaha-Usaha Kemerdekaan Indonesia (PPUPKI), atau Dokuritzu Zyunbi Tyoosakai membicarakan prinsip-prinsip dasar sebuah negara merdeka. Sebelumnya Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia atau (Dokuritsu Junbi Cosakai) adalah sebuah badan yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang pada tanggal 29 April 1945. Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan BPUPKI dan membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Dalam rapat ini kemudian ditunjuk Ir. Soekarno sebagai Presiden dan M. Hatta sebagai Wakil Presiden. Kabinet pertama RI dibentuk hanya dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan. 

Dengan sudah dirumuskan konstitusi UUD 1945 sebagai sebagai dasar negara (staatgrundnorm) dan ditentukan Ir. Soekarno sebagai Presiden dan M. Hatta sebagai Wakil Presiden, maka Indonesia dapat menyatakan sebagai negara yang berdaulat. Sebagai negara yang berdaulat, maka Indonesia dibenarkan untuk membangun hubungna internasional. Namun ini saja, tidak cukup. Dukungan internasional sebagai prasyarat pengukuhan negara modern juga harus mendapatkan pengakuan dari negara lain.

Dukungan dari internasional sebagai prasyarat negara modern belum diterima Indonesia. Tahun 1947, "Indonesia Office" atau Kantor Urusan Indonesia didirikan di Singapura, Bangkok, dan New Delhi untuk menjadi perwakilan resmi Pemerintah RI. Tahun 1947, Indonesia dan Belanda menandatangani Perjanjian Linggarjati, dimana pihak Belanda mengakui kedaulatan RI hanya sebatas Jawa, Sumatra, dan Madura. Barulah Pemerintah Mesir yang diwakili oleh Abdul Mounem menyampaikan pengakuan resminya terhadap kemerdekaan Indonesia. Tahun 1949, Persetujuan Meja Bundar ditandatangani di Den Haag dan Wakil Kerajaan Belanda menyerahkan kekuasaan formal kepada Pemerintah Republik Indonesia Serikat (RIS)

Amerika Serikat (AS) menjadi negara pertama yang membuka perwakilan diplomatik di Jakarta setelah penyerahan kedaulatan Belanda kepada RIS, hanya tiga hari setelah Konperensi Meja Bundar di Den Haag. Merle Cochran menjadi Duta Besar pertama AS untuk Indonesia. Langkah AS itu kemudian segera disusul oleh Inggris, Belanda, dan China. Kanada membuka secara resmi hubungan diplomatik dengan Indonesia tahun 1949 dan pertukaran duta besar pertama kali terjadi tahun 1952

Sebagai negara berdaulat, Indonesia kemudian Memiliki mata uang sendiri tanggal 2 November 1949, empat tahun setelah merdeka dan menetapkan Rupiah sebagai mata uang kebangsaan.

Dari kacamata konsepsi ketatanegaraan, pernyataan Indonesia sebagai negara yang berdaulat sudah sesuai dengan prasyarat yang sudah ditentukan. Namun yang menjadi persoalan apakah, rumusan ”kemerdekaan” sudah terpenuhi dalam konstitusi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Dari ranah inilah, sebenarnya, rumusan konstitusi yang mengamanatkan untuk melaksanakan konstitusi masih jauh tertinggal. Pasal 33 ayat (3) terkandung konsep politik agraria dirumuskan: “bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara”. Rumusan kalimat “dikuasai oleh negara” inilah yang kemudian dikenal sebagai konsep “Hak Menguasai Negara” (HMN) yang berarti penguasaan, dan pemanfaatan sumber-sumber agraria terpusat pada kekuasaan yang begitu besar daripada negara. Pasal 33 sebagai jiwa dari bangsa Indonesia merupakan volksgeist (jiwa bangsa), Praktis tidak pernah dilaksanakan. Rumusan kata-kata ”menguasai...” sering diplesetkan menjadi ”memiliki”, sebuah istilah yang sangat berbahaya dan bertentangan dengan konsitusi. Lemaire dalam bukunya “Het Recht in Indonesia”, memberikan makna bahwa Pasal 33 Ayat (3) UUD 1945 adalah suatu “deze bepalingen geven vorm aan eigen Indonesisch” atau ketentuan yang bersifat khas Indonesia, yaitu sebagai ketentuan yang hanya dijumpai di Indonesia yang memberikan kewenangan yang begitu besar kepada Negara. Dikaji daritempatnya di dalam UUD ketentuan ini ditempatkan dalam Bab XIV tentang Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial, artinya persoalan ini erat hubungannya dengan usaha menciptakan kesejahteraan sosial bagi masyarakat Indonesia.

MK kemudian merumuskan ”menguasai” yaitu Pengaturan (regelendaad), Pengelolaan (beheersdaad), Kebijakan (beleid), Pengurusan (bestuursdaad), Pengawasan (toezichthoudensdaad)

Dalam penerbitan izin pengelolaan hutan, pemerintah mengabaikan Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) yang secara tegas mengakui hak adat. UUPA dengan undang-undang sektoral lainnya seperti UU Kehutanan, UU Perkebunan, UU Sumber Daya Air, UU Minyak dan Energi, UU Pertambangan tidak sinkron sehingga menimbulkan benturan norma (conflict norm).

Walhi Jambi mencatat ada 317 kasus konflik lahan terjadi sejak 2003, Sedangkan "Sawit Watch" mencatat ada 630 kasus. Data BPN di 2008 ada 8.000-an konflik. Sementara catatan KPA pada 2008 terjadi 1.753 konflik yang menyebabkan satu juta lebih kepala keluarga menjadi korban.

Akibat dari konflik-konflik tersebut yang hingga tidak tuntas dan belum ada upaya penyelesaian, telah menyebabkan timbulnya kemiskinan di kalangan petani. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), luas lahan pertanian padi di Indonesia pada 2010 tinggal 12,8 juta hektare dengan jumlah Rumah Tangga Petani 28,3 juta dengan penguasaan lahan kurang dari 0,5 hektare.

Berbagai riset menunjukkan, 48,8 juta orang tidak mendapatkan akses terhadap pengelolaan sumber daya alam di dalam taman nasional yang mengakibatnya sekitar 10,2 juta termasuk miskin.

Luas tanah yang telantar mencapai 1.578.915,0620 Ha (BPN, 2007). Belum lagi konversi lahan pertanian. Tahun 1993 menyebutkan di Jawa konversi lahan pertanian setiap tahun hampir mencapai satu juta hektare.

Sehingga gema ”makna kemerdekaan” dan teriakan ” Kita belum merdeka. Karena tanah kami masih dirampas oleh perusahaan besar” terdengar nyaring.

Dari titiklah, kemudian makna kemerdekaan kehilangan relevansinya dan diteriakkan di Desa Danau Lamo, Muara Jambi, Awal Agustus 2011. Dari titiklah, kemudian kesadaran konstitusional kita untuk mewujudkannya. (*)
 

*) Penulis adalah Advokat,Tinggal di Jambi

Menjaja Bendera

Penjual Bendera Merah Putih - Photo: Antara Photo

Oleh:
Hendri F. Isnaeni


Agustus adalah bulan kemerdekaan. Menjelang 17 Agustus, pedagang musiman mulai menjajakan bendera merah-putih di pinggiran jalan. Tak sedikit yang mau membeli. Sebab, sesuai UU No 24 tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan, setiap warga negara wajib mengibarkan bendera setiap peringatan Hari Kemerdekaan.

Di awal kemerdekaan, mendapatkan bendera merah-putih bukanlah hal mudah. Kain adalah barang langka. Krisis tekstil ini sudah dimulai pada 1930-an, ketika Belanda membatasi impor serat-serat dan tekstil dari Jepang yang murah, terutama sarung dan rayon, untuk melindungi pabrik-pabrik Belanda, menaikkan harga, dan mengurangi pasokan.

Tak dapat dibayangkan, saat kain menjadi barang mewah, Fatmawati memerlukan kain berwarna merah dan putih untuk membuat bendera. Untuk itulah, Fatmawati kemudian meminta seorang pemuda bernama Chairul Basri untuk menemui pembesar Jepang yang dekat dengan kalangan pemuda maupun tokoh nasional, Shimizu yang dipastikan dapat membantu mencarikan kain merah-putih. Shimizu meminta pada Chairul agar kain merah-putih diberikan kepada Fatmawati.

“Bentuk dan ukuran bendera merah-putih yang dijahit Fatmawati tidak standar karena kainnya berukuran tidak sempurna. Kain bendera itu, atas permintaan Fatmawati, disumbangkan oleh Shimizu dan diserahkan kepada Fatmawati oleh Chairul Basri,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah nasional Indonesia Jilid VI. Bendera merah-putih inilah yang dikibarkan pada Proklamasi 17 Agustus 1945.

Segera setelah itu, para pemuda berupaya menyebarkan berita proklamasi melalui pers, surat selebaran, poster, hingga coretan di tembok-tembok dan gerbong kereta api. Mereka juga berupaya agar bendera merah-putih berkibar di rumah-rumah atau di sudut-sudut kota. Apalagi setelah muncul Maklumat Pemerintah 31 Agustus 1945, yang menetapkan mulai 1 September 1945 bendera nasional Sang Merah Putih terus dikibarkan di seluruh Indonesia.

Pemerintah Indonesia juga mengambil inisiatif untuk menyediakan dan membagi-bagikan bendera. Seperti dilakukan Jawatan Perekonomian Semarang yang menyediakan bahan-bahan untuk membuat bendera merah-putih ukuran besar. Pengerjaannya dilakukan oleh para perempuan. “Kini telah siap kurang lebih 300 helai bendera, yang segera nanti untuk permulaan akan dibagi-bagikan kepada kantor-kantor atau lembaga-lembaga negara yang hingga sekarang belum mempunyai lambang negara tersebut,” tulis Asia Raya, 24 Agustus 1945.

Begitu pula kantor Jakarta Syuutyoo (Karesidenan Jakarta). Untuk menyambut proklamasi dan agar para pegawai kantor Syuutyoo dapat merayakan hari bersejarah itu, kantor tersebut membagikan beratus-ratus bendera merah-putih kepada pegawainya. “Dengan jalan demikian suasana merdeka yang diliputi perdamaian itu dapat disambut oleh mereka yang merupakan sebagian besar dari penduduk kota ini,” tulis Tjahaja, 28 Agustus 1945.

Semarang Syuutyoo juga melakukan hal yang sama. “Telah disiapkan pembikinan 400 helai bendera merah-putih yang nanti akan diserahkan kepada semua Gun (kawedanan) dan Son (kecamatan) seluruh Semarang Syuu,” tulis Sinar Baroe, 26 Juni 1945, “supaya pada hari raya dapat dikibarkan bersamaan dengan Hinomaru... penyerahan tersebut akan dilakukan besok tanggal 29 Juni di kantor Syuutyoo bertepatan dengan akan diadakannya pertemuan segenap Kentyoo (bupati) dan Sityoo (walikota) seluruh Semarang.”

Bahkan di Bandung, bagi-bagi bendera merah-putih dilakukan oleh Perserikatan Penduduk Bangsa Nippon. “Pada tanggal 26 Juni 1945 dengan resmi menghadiahkan 1.112 buah bendera Kebangsaan Indonesia (Sang Merah Putih) untuk dipasang di gendung-gedung Hookookai, sekolah-sekolah dan kantor-kantor pemerintah yang dibolehkan mengibarkannya,” tulis Sinar Baroe, 27 Juni 1945.

Karena kelangkaan kain, Sukarno menginstruksikan pembuatan bendera dari kertas. “Rakyat kami senang sekali dengan lambang-lambang. Jadi kuperintahkan membuat 10 juta bendera merah-putih kecil dari kertas untuk dibagi-bagikan oleh kurir ke pelosok-pelosok terpencil di tanah air. Ini membuat rakyat di pulau-pulau yang jauh dari Jakarta merasakan bahwa mereka bagian dari perjuangan bangsanya,” kata Sukarno kepada Cindy Adams dalam Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia.

Karena kebutuhan pengadaan bendera meningkat, tak heran jika ada yang menjadikannya sebagai barang dagangan. Penjualan bendera merah-putih mulai marak sejak masa revolusi. Terlebih, menurut William H. Frederick, associate professor bidang sejarah di Ohio University, selama bulan-bulan revolusi, identitas kebangsaan ditunjukkan dengan warna merah-putih sebagai simbol Republik, dan merah-putih-biru sebagai simbol Belanda. Fenomena ini sendiri bukanlah hal yang baru. Pada masa sebelum perang pemakaian lencana merah-putih, misalnya, cukup umum di antara orang-orang Indonesia urban muda, bahkan dalam lingkaran-lingkaran atau kesempatan-kesempatan yang belum tentu bersifat politik, seperti pesta dansa.

Baik kelompok maupun individu menunjukkan kepekaan yang luar biasa terhadap simbolisme dalam penampilan pribadi. Mereka menggunakannya untuk mengedepankan nilai-nilai politik dan ekonomi. “Menjual bendera atau pita merah-putih, misalnya, merupakan cara yang efektif untuk mempromosikan maksud nasionalis dan menggalang dana,” tulis Frederick, “Penampilan Revolusi: Pakaian, Seragam, dan Gaya Pemuda di Jawa Timur Tahun 1945-1949”, yang dimuat dalam Outward Appearances: Trend, Identitas, Kepentingan karya Henk Schulte Nordholt.

“Pada September 1945, anggota aktif Pemuda Republik Indonesia/Pemuda Sosialis Indonesia (PRI/Pesindo) di Surabaya menjajakan bendera-bendera kecil kepada umum untuk mendanai aktivitas-aktivitas mereka.”

Setahun kemudian di pedesaan luar kota Surabaya anggota-anggota PRI/Pesindo konon memaksa penduduk untuk membeli lencana merah-putih seharga 15 gulden (dalam mata uang Jepang) untuk mendukung organisasi mereka. Di kampung-kampung Surabaya –mungkin meniru praktik-praktik sinoman pada masa sebelum perang– menjual lencana kecil berwarna merah-putih atau pita-pita sebagai “tiket” pertunjukkan atau semacamnya merupakan taktik umum. Sinoman bagi masyarakat Jawa adalah aktivitas memberikan sumbangan atau titip barang dan menagihnya kembali ketika sedang membutuhkan.

“Sejumlah besar uang (1000 gulden bukanlah hal aneh) bisa didapatkan dengan cara ini. Meskipun sering digunakan untuk keperluan-keperluan seperti membiayai pernikahan dan semacamnya, dana ini juga dikabarkan dialihkan untuk mendukung kelompok-kelompok bawah tanah dan organisasi-organisasi gerilya. Hasil penjualan tersebut juga digunakan untuk memproduksi bendera-bendera merah-putih raksasa untuk pertemuan nasionalis,” tulis Frederick.

Karenanya militer Belanda di Surabaya menganggap sistem cockade (suatu hiasan atau materi yang dipasangkan di topi sebagai simbol pangkat, tingkatan, dan sebagainya) dan menjual bendera, apalagi mengibarkannya, sebagai ancaman serius. Mereka mengambil tindakan keras. Tapi para pejuang tak gentar. Mereka terus menjual dan mengibarkan bendera merah-putih, karena Indonesia telah merdeka.(*)


Source: Here

Spirit Pembebasan Hari Kemerdekaan RI

Tuesday, August 16, 2011

Photo Ilustrasi: Google.com

Oleh:
Fajar Kurnianto *)


Tanggal 17 Agustus ini, bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaannya yang ke-66. Bangsa ini kembali diingatkan dengan sejarahnya di masa lalu, dengan spirit pembebasan yang visioner ketika itu. Jadi, bukan sekadar peringatan seremonial belaka yang hampa makna.


Spirit Kemerdekaan

Lebih daripada sekadar persamaan tanggal, hal penting bagi bangsa ini, saat ini sesungguhnya adalah menggali lebih dalam dan mengelaborasi lebih jauh spirit kemerdekaan. Apa sebenarnya spirit kemerdekaan itu? Kemerdekaan, seperti disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya); kebebasan. Spirit kemerdekaan dengan demikian adalah spirit kebebasan. Kemerdekaan berarti bebas dari segala bentuk penjajahan bangsa asing, bebas menentukan nasib sendiri, mandiri, lepas dari segala bentuk intervensi dan dikte bangsa asing, juga bebas dari ketergantungan terhadap bangsa asing.

Dalam pidato singkat yang diselingi pembacaan teks Proklamasi, Soekarno mengatakan, "Saudara-saudara sekalian, saya telah minta saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan satu peristiwa mahapenting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan Tanah Air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib Tanah Air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Kita sekarang sudah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat Tanah Air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita. Negara merdeka. Negara Republik Indonesia. Merdeka kekal abadi. Insya Allah Tuhan memberkati kemerdekaan kita ini!"

Kemerdekaan juga berarti bebas dari belenggu-belenggu persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang tengah mendera. Kita lihat bangsa ini, saat ini. Korupsi masih membelenggu bangsa sehingga pelayanan publik amburadul dan kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan. Rendahnya etika publik para pejabat publik dan para politisi membelenggu bangsa ini sehingga cita-cita menjadi bangsa yang beradab, berbudaya, dan beretika, terutama di kalangan para pengelola dan pengurus negara, terasa masih jauh. Lemahnya penegakan hukum membuat bangsa ini terbelenggu ketidakadilan, konflik-konflik horizontal, kekerasan oleh kelompok tertentu, intoleransi, dan seterusnya. Ketidakpedulian para elite politik dan pejabat publik membuat bangsa ini terbelenggu dalam kemiskinan, pengangguran, dan keterpurukan.

Bangsa ini sudah lepas dari segala bentuk penjajahan bangsa asing. Tapi, bangsa ini belum lepas dari penjajahan berbagai persoalan dalam negeri yang celakanya dilakukan oleh anak bangsa sendiri. Spirit kemerdekaan adalah pembebasan, membebaskan bangsa ini dari segala persoalan yang membelenggu yang membuat bangsa ini seperti berjalan di tempat, tanpa terobosan-terobosan progresif visioner. Dulu, Soekarno menyebut kemerdekaan adalah jembatan emas bagi masyarakat bangsa ini di mana di seberangnya masyarakat bangsa ini akan hidup sejahtera dan makmur. Spirit untuk menyejahterakan rakyat inilah yang antara lain membuat para pendiri bangsa berjuang mati-matian tanpa kenal lelah dan takut, padahal ketika itu tengah berada dalam ancaman Jepang.


‘State that Never Sleep’

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam memimpin negeri ini menggunakan jargon state that never sleep alias pemerintah yang bekerja 24 jam penuh. Jargon yang tentunya sangat luar biasa, dan bangsa ini bangga karenanya. Bangga karena merasa telah memiliki pemimpin dan pemerintahan yang bekerja penuh, maksimal, dan optimal, jika ukurannya adalah jargon itu. Tapi, jargon tetaplah jargon. Kemampuan manusia tetaplah ada batasnya. Tidak semua persoalan bangsa diselesaikan secara tuntas. Lebih banyak malah yang terabaikan. Atau bahan terlupakan sama sekali kalau tidak diingatkan. Bangsa ini memang kerap lupa dan melupakan. Ini yang sering dimanfaatkan para pejabat dan politisi ketika terjerat persoalan.

Bangsa ini sarat dengan persoalan-persoalan besar meski usia kemerdekaan sudah ke-66 tahun. Dulu Soekarno bermimpi Indonesia akan menjadi mercusuar dunia, menjadi negara maju dan diperhitungkan dunia. Pada masa Soeharto, Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ekonomi dan macan Asia setelah mampu menjadi negara berswasembada pangan. Hingga era reformasi, masa Presiden SBY saat ini, mimpi Soekarno atau minimal menjadi negara berswasembada pangan seperti terjadi di era Soeharto belum juga terwujud akibat pengelolaan negara yang tidak beres. Bahkan jalan menuju ke sana pun terasa buram karena tidak adanya visi yang jelas para pengelola negara hendak ke mana bangsa dan negara ini dibawa. Dengan segala kekurangan dan kelemahannya, Soekarno dan Soeharto telah "berbuat" untuk Indonesia, untuk bangsa ini, dengan capaian-capaiannya.

Momentum kemerdekaan RI kali ini, seperti juga tahun-tahun sebelumnya, seyogianya menjadi peringatan terhadap segenap elemen bangsa ini, terutama para pengelola dan pengurus negara, untuk melihat apa sesungguhnya tujuan bangsa ini merdeka 66 tahun lalu. Para pendiri bangsa sudah memberikan kemampuan maksimal yang bisa mereka lakukan dan kerjakan untuk merawat, menjaga, serta mengisi kemerdekaan dengan segala dinamika dan persoalan yang dihadapi. Abraham Lincoln (1809—1865), Presiden Amerika Serikat ke-16, mengatakan: Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu! Selamat hari kemerdekaan ke-66 RI. (*)


*) Penulis adalah pengamat sosial-politik Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta

Source: Here

Bahasa (Perasaan) Proklamasi

Naskah Teks Asli Proklamasi/Blogger.com
Oleh:
Bandung Mawardi *)


Alkisah, seorang lelaki cerdas dan santun mengisahkan detik-detik menakjubkan menjelang peristiwa dalam sejarah Indonesia. Mohamad Hatta dalam Memoir (1979) mengenang serpihan-serpihan 17 Agustus 1945: "Waktu itu bulan puasa. Sebelum aku pulang, aku masih dapat makan sahur di rumah Admiral Maeda. Karena tidak ada nasi, yang kumakan ialah roti, telur, dan ikan sardines. Tetapi, cukup mengenyangkan." Perumus dan penanda tangan teks proklamasi itu mengurus tubuh dalam bingkai religiositas, melumuri tubuh dengan doa, serta memberi diri demi iman dan pasrah kepada Tuhan.

Peristiwa pembacaan teks proklamasi itu sakral karena bersamaan dengan selebrasi iman dan kekudusan angan. Hatta tidur seusai salat subuh, merebahkan tubuh tanpa alpa hasrat mencipta sejarah. Jarum jam bergerak. Pukul 08.30: pemikir moncer bangun, mandi, dan bercukur. Bersih diri secara lahir dan batin, menggerakkan diri menuju Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Indonesia pun lahir di bulan suci, disahkan dengan deretan kata, gumpalan sejarah panjang dan tegang. Setahun setelah peristiwa itu, 17 Agustus 1946, Hatta mengucap dalam siaran radio: "Sekali lagi, sejarah membuktikan bahwa lahirnya bangsa diiringi oleh cucuran darah dan air mata." Barangkali kalimat ini hampir klise, tapi mengena karena diucapkan si pelaku sejarah.

Kesan itu berbeda dengan kejengkelan Hatta saat merumuskan teks proklamasi bersama Sukarno dan para pemuda revolusi. Hatta masih ingat dan mengenang. Malam itu Sukarno meminta Hatta memikirkan dan menulis kalimat-kalimat di dokumen proklamasi. Kata Sukarno: "Bung Hatta lebih tahu bahasa Indonesia dari saya. Tulislah dan pikirlah." Sejarah teks proklamasi ternyata mengikutkan perkara bahasa Indonesia: bahasa politik dan kultural. Bahasa ini "merangkum" dan "menebarkan" imajinasi Indonesia saat masa kolonialisme.

Kerja bahasa itu melahirkan kalimat-kalimat ampuh: "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya." Hatta pun meminta semua orang memberi tanda tangan di dokumen sejarah (politik) itu sebagai gaung imajinasi ala Amerika Serikat. Hatta sempat mengucap bahwa penulisan dan penandatanganan teks proklamasi itu "persis" saat dulu George Washington mencipta sejarah Amerika melalui teks dan tanda tangan. Ajakan Hatta cuma mendapati jawab diam. Soekarni justru usul agar teks itu ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Hatta mengenangkan: "Semua gembira. Saya agak jengkel karena diberi kesempatan membuat sejarah, tidak mau." Proklamasi adalah urusan tanda tangan, coretan simbolis tentang otoritas dan kompetensi pendiri bangsa. Sejarah kita berlumuran soal bahasa, tanda tangan, dan perasaan.

Soal bahasa, dalam pengakuan Hatta, mendapat imbuhan dan belokan refleksi dari Sukarno. Proklamator ini mengucap bahwa teks proklamasi itu "pernyataan yang singkat dan tidak menggetarkan perasaan, dengan mana kami menuntut kembali tanah-tumpah-darah kami setelah 350 tahun". Sukarno tidak hendak meremehkan kerja bahasa selama menggarap teks proklamasi bersama Hatta dan para pemuda.

Pengakuan ihwal efek dan makna bahasa itu tercantum dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (1966) susunan Cindy Adams. Simaklah: "Proklamasi itu pendek saja. Melihat sifat kata-katanya, ia menggambarkan pernyataan yang umum. Ia tidak menjeritkan keluhan kepedihan ataupun kemiskinan. Bagaimana mungkin kami di saat itu bisa mencari kata-kata yang cukup pedih untuk mengingatkan orang pada pengorbanan yang tak ada taranya dari ribuan tubuh yang bergelimpangan dalam kuburan-kuburan tak dikenal di Boven Digul. Kami bahkan tidak mencoba mencari kata-kata demikian itu." Penjelasan ini kentara mengandung sejenis "sesal" dan "kesal" karena bahasa dalam teks proklamasi tampak kalem dan lembek.

Bahasa selalu berurusan dengan sejarah, panggilan referensial, sensibilitas realitas, dan subyektivitas. Sukarno dan Hatta tampak beda dalam mengurusi bahasa, senjang dalam mengaitkan bahasa dan sejarah antara Amerika dan Boven Digul. Imajinasi kemerdekaan ala George Washington bersanding dengan memori pedih Boven Digul, ruang derita dan pengasingan bagi kaum penentang kolonialisme. Bahasa di teks proklamasi dituliskan dalam pertaruhan politik, panggilan sejarah, dan keberterimaan meladeni realitas bergerak.

Sindiran Sukarno untuk sejarah Amerika itu disimbolkan dalam bentuk kertas dan pena. Proklamasi cuma dituliskan di secarik kertas ala buku tulis anak sekolah. Sukarno tidak menulis memakai pena bulu dicelupkan ke tinta ala para pelaku sejarah Amerika. Memori Sukarno: "Kami bahkan tidak menyimpan pena yang bersejarah yang menggoreskan kata-kata yang akan hidup untuk selama-lamanya. Aku tahu bahwa presiden-presiden dari Amerika membagi-bagikan pena-pena yang digunakannya untuk menandatangani undang-undang penting. Akan tetapi, aku yang dihadapkan pada detik-detik besar bersejarah, bahkan tidak ingat dari mana datangnya pena yang kupakai. Kukira aku meminjamnya dari seseorang." Kita kehilangan pena, kehilangan jejak sejarah.

Pengakuan Hatta dan Sukarno perihal tubuh, bahasa, pena, memori, kertas, pena, dan tanda tangan pantas menjadi pijakan menilik kesejarahan Indonesia. Semua hadir, bergumul, serta bergerak dengan pijar-pijar sensasi dan imajinasi. Indonesia ada dalam semaian kata dan peristiwa, mendefinisikan diri melalui klaim dan adu tafsiran.

Tubuh mereka memiliki memori berbeda, perasaan pun ada dalam titian subyektivitas. Roti, telur, dan ikan sardines menguatkan tubuh Hatta untuk bergerak dan berdiri mendampingi Sukarno membacakan teks proklamasi. Teks itu memang digarap dengan tergesa, mengesankan bahasa tulisan ketimbang lisan seperti politik kata ala Sukarno. Goenawan Mohamad (2006) menganggap penulisan teks proklamasi memang tergesa, tapi justru ketergesaan itu menjadi makna penting. Pilihan bahasa dan keringkasan menunjukkan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan keputusan di tengah-tengah ketidakpastian. Proklamasi tidak mengandaikan program sudah jadi (paripurna).

Sejarah Indonesia dikumandangkan: 17 Agustus 1945. Tubuh gagah Sukarno memegang dan membaca teks proklamasi ibarat tubuh Indonesia: tegak dan memikat. Tubuh itu bertarung dengan bahasa (tulisan) tak menggetarkan perasaan tapi mengucap Indonesia dalam gairah. Tubuh telah sanggup menggerakkan kata, menumbuhkan imajinasi, dan menebar memori. Kita pun mengenang tubuh dan perasaan mereka, menjalankan misi semaian Indonesia dari secarik kertas, serta menghidupi deretan kalimat demi nasib Indonesia. Begitu.

Pilihan bahasa dan keringkasan menunjukkan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan keputusan di tengah-tengah ketidakpastian. Proklamasi tidak mengandaikan program sudah jadi (paripurna). (*)


*) Penulis tinggal di Karang Anyar

Powered: Koran Tempo Epaper
Source: Here

Sukarno yang (Di)Kalah(kan) Total

Sunday, July 3, 2011

Oleh:
Max Lene

Tidak bisa disangkal lagi bahwa Sukarno, bersama seluruh generasinya, berhasil menang dalam perjuangan merebut kemerdekaan dan mendirikan Republik Indonesia. Dan kemenangan itu bukan kemenangan kecil. Negeri Belanda pada tahun 1945-1949 masih bisa mengerakkan banyak modal, manusia dan senjata. Sementara itu pihak Republik masih serba kekurangan. Satu-sautnya modal perjuangan adalah kesadaran politik massa yang sudah dibangun selama 35 tahun sebelumnya. Dalam semua proses itu Sukarno mengambil peran sangat menentukan. Dia memimpin sebuah gerakan yang menang.


Sesudah merdeka lain lagi ceritanya. Sukarno maju sebagai pemimpin gerakan yang mau membangun sosialisme Indonesia. Pada 1965, massa yang digerakkan oleh Sukarno, Partai Nasional Indonesia, Partindo, Partai Komunis Indonesia dan ormas-ormasnya sudah mencapai hampir 25 juta orang . Semua massa itu adalah pendukung Sukarno dan gerakan sosialisme ala Indonesia yang dipimpinnya. Dia bukannya tak punya lawan, saat itu yang menentang Sukarno: sebagian besar militer, Partai Sosialis Indonesia dan ormasnya, Masyumi dan ormasnya dan sebagian dari pemimpin dan ormasnya Nahdatul Ulama. Indonesia terbelah.


Tapi sekarang, tahun 2011, jarak situasi Indonesia dengan Indonesia yang diperjuangkan oleh Sukarno sangatlah jauh. Dia memperjuangkan sosialisme Indonesia: di mana rakyat yang mayoritas berkuasa dan bekerja dengan semangat gotong-royong; di mana Indonesia merupakan bagian daripada gerakan persatuan New Emerging Forces (NEFOS) yang sedang dalam proses membangun sebuah tatanan dunia baru, tanpa kolonialisme tanpa neo-kolonialisme. Tetapi Indonesia yang berkembang dari 1965 sampai 2011 adalah Indonesia yang sepenuhnya tergerakkan oleh dinamika kapitalisme – kapitalisme vulgar eksploitatif dan terbelakang pula, dengan elit berkuasa yang memiliki ciri khas sama – dan menyatunya dengan kekuatan imperialis yang berpusat di Washington, London, Tokyo dan Canberra.


Dengan kata lain: Sukarno gagal total dalam memperjuangakan cita-citanya. Dalam situasi bangsa yang terbelah pada tahun 1965, kendati massa pendukung Sukarno lebih banyak justru kubu lawannyalah yang menang total.


Mengapa bisa begitu?


Mungkin ada berbagai faktor yang bisa ditinjau, mulai dari kekuatan bersenjata yang ada di tangan lawannya sampai dengan taktik konspirasi keblinger yang dilaksakan oleh seorang “pendukung”nya, dan banyak lainnya. Tetapi orang yang menilai positif Sukarno secara umum juga harus berani bertanya apakah ada cacat dalam pemikiran atau praxis Sukarno sendiri yang memungkinkan kekalahannya. Menurut pendapat saya: ya, ada.


Kontradiksi Dalam Praxis Demokrasi


Esensi daripada demokrasi yang sejati adalah keterlibatan seluruh rakyat (atau semakin lama semakin banyak rakyat) dalam kehidupan politik negeri. Rakyat banyak (rakyat miskin dalam kasus Indonesia) semakin menjadi penentu dalam proses pengambilan keputusan. Format dan bentuk proses ini bisa macam-macam. Di Indonesia tahun 1960-an banyak rakyat Indonesia masuk organisasi dan melalui keterlibatannya di organisasi semakin terpolitisir, semakin membaca dan mendiskusikan politik, dan semakin memobilisasi diri untuk menuntut keinginannya. Proses ini juga memang dipimpin Sukarno (secara ideologis) dan diorganisir partai-partai seperti PKI, PNI, dan Partindo. Dari segi itu, gerakan tersebut merupakan gerakan yang meningkatkan kehidupan demokrasi kerakyatan. Hanya saja periode paling intensifnya yang berlangsung 1962-1965, terlalu singkat untuk bisa dievaluasi secara final.


Tetapi di saat yang sama, gerakan demokrasi kerakyatan radikal ini berkembang dalam suatu kerangka politik yang kontradiktif. Di satu sisi demokratis (dalam arti rakyat mulai lebih aktif terlibat dalam politik), di lain sisi tidak demokratis. Ada berapa contoh ketidak-demokratisannya. Pertama, pemerintah melarang Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan Masyumi. Benar ada tokoh-tokoh dua partai ini yang terlibat PRR-Permesta, sebuah pemberontakan bersenjata yang illegal. Tetapi melarang kegiatan seluruh partai karena keterlibatan beberapa tokoh merupakan upaya administratif (bukan tindakan politik) untuk mengatasi masalahnya. Tidak jauh berbeda dengan Suharto melarang kegiatan PKI, karena keblingeran seglintir kecil pemimpinnya yang terlibat Gestapu.  Begitu juga di kemudian hari pemerintah Sukarno melarang Partai Murba, atas desakan PKI. Pula larangan yang tak perlu terhadap Manikebu, manifesto kanan anti-politik oleh segelintir seniman dan intelektual. Semua partai yang dilarang, dilarang saja, tidak ada proses pembasmian. Ini juga berarti bahwa perpolitikan mereka tetap exis tetapi hanya masuk ke pasar gelap politik. 


Kedua, ada proses mentotalitariankan bahasa politik. Dengan dilarangnya PSI dan Masyumi bahasa politik konservatip dan kanan kehilangan ruang gerak padahal masih cukup banyak rakyat Indonesia, biarpun mungkin semakin minoritas, yang menganutnya. Semua diskusi politik harus memakai bahasa yang diciptakan Sukarno. Di satu segi ini adalah hasil daripada semakin besar dukungan buat kubu kiri. Dengan sendirinya kubu konservatif akan semakin kecil dan marjinal. Ini juga mengakibatkan ketimpangan dan distorsi terhadap kehidupan politik demokratik.


Di dalam pikiran politik Sukarno memang ada unsur yang membuka kemungkinan distorsi seperti itu. Soekarno sangat kritis terhadap “demokrasi liberal” maupun “parlementer demokrasi”. Ini bisa di lihat dari berbagai tulisannya. Ini ada dua contoh dari kuliah Sukarno tentang Pancasila yang diadakan di Istana Negara pada1958.


Parlementair demokrasi aalah hanya ideologi politik, Parlementair demokrasi memberi kans yang sama secara demokratis kepada semua orang di bidang politik sama, itupun zoegenaamd [seharusnya]. Sebab dalam praktiknya si pemegang uanglah yang bisa membiayai surat-kabar, membiayai propaganda.


Parlementair demokrasi adalah ideologi politik dari kapitalisme yang sedang naik. …..  …  kita dus sebenarnya tidak boleh memakai parlemantaire demokrasi.”


Juga sangat terkenal kritikan Sukarno yang menyerang demokrasi liberal sebagai hanya “demokrasi 50% plus 1” dan kemudian tekanannya pada menggunakan musyawarah.


Kritik Sukarno terhadap demokrasi liberal mempunyai dua asal yang pokok. Pertama, caranya mengkritik demokrasi liberal berasal dari kritikan umum yang sering diungkapkan oleh kaum kiri di mana pun. Dalam demokrasi liberal semua warganegara dan semua kekuatan punya hak formal yang sama, tetapi karena kekuatan keuangannya berbeda, hak formal yang sama ini sebenarnya batal sebab kata Sukarno: “Dalam praktiknya si pemegang uanglah yang bisa membiayai surat-kabar, membiayai propaganda.” Kritik itu sangat benar.


Asal-usul kedua dari kritikan Sukarno adalah pengalaman Indonesia sendiri sejak kemerdekaan, yaitu periode 1950-1958. Selama periode tersebut kehidupan politik demokrasi parlementer diwarnai oleh gonta-ganti koalisi kabinet. Friksi antar partai semakin tajam. Sukarno dan banyak orang lain mengeluh terjadinya saling “jegal-menjegal”. Sebenarnya masalah yang sama sering juga dikeluhkan oleh masyarakat pada zaman sekarang yang tercerminkan melalui komentar bahwa ada terlalu banyak partai. Saat ini masalah tersebut dicoba diselesaikan sepenuhnya dengan cara adminstratif, yakni dengan cara mempersulit proses verifikasi untuk ikut Pemilu kemudian dengan usulan menaikan threshold.


Tetapi problem yang sama, baik tahun 1950-an maupun zaman sekarang bukan masalah demokrasi liberal itu sendiri. Problem itu adalah cerminan daripada fenomena lain yang juga sering dikomentari Sukarno, apalagi sebelum kemerdekaan. Menurut Sukarno semua hal di Indonesia, termasuk kehidupan demokrasi tentunya, tak bisa berkembang lebih besar dan esensial akibat tak terjadinya industrialisasi. Ini juga berlaku sampai sekarang, bahkan untuk Indonesia pada tahun 2011. Meskipun terjadi pembesaran sektor manufaktur, jenis manufakturnya tidak berkembang lewat industrialisasi tetapi lewat perluasan banyak manufaktur yang berskala kecil. Akibat dari realitas itu adalah banyaknya pengelompokan kelas borjuis dalam negeri Indonesia yang berskala kecil. Situasi kepartaian mencerminkan kenyataan itu.


Di zaman sekarang untuk menghadapi carut-marut seperti itu solusinya bisa mengambil langkah administratif. Bikin saja peraturan yang akan mengakibatkan jumlah partai berkurang. Di tahun-tahun Demokrasi Terpimpin, Sukarno berusaha mengombinasikan solusi politik dengan solusi administratif. Solusi politiknya mula-mula adalah mendukung konsep Golongan Karya (Golkar) dengan harapan bahwa organisasi-organisasi massa bisa melepaskan diri dari affiliasi partai dan menjadi sebuah gerakan massa yang bersatu. Tetapi upayanya tidak berhasil.


Sejak tahun 1962, Sukarno lebih mendorong konsepsi Nasakom dan Front Nasional. Dia kembali kepada tulisannya di tahun 1926 untuk berusaha menyatukan Islam (progressif), nasionalis (progressif) dan Marxis (non-sektarian). Sesudah tahun 1962 gerakan mobilisasi massa mendukung Soekarno semakin membesar. Membesarnya gerakan itu, yang disertai dukungan ide-ide sosialisme ala Indonesia yang diusung Sukarno, agaknya menjadi solusi yang diharapkan bisa memecahkan kebuntuan situasi politik nasional. Tetapi Sukarno tetap memberlakukan sanksi adminstratif, yakni larangan terhadap PSI, Masyumi dan Murba.


Bukan hanya itu, mulai 1959 ada proses penundaan terus-menerus mekanisme utama dari demokrasi parlementer, yakni pemilihan umum. Pada kurun 1959-1962, semua partai, termasuk PKI, selalu menuntut adanya Pemilu yang tertunda (dan ditunda-tunda) itu. Tetapi mulai sekitar 1962-1963, seolah-olah memang semua pihak sepakat tak perlu ada Pemilu lagi. Makan terciptalah sebuah mekanisme baru untuk mengatur perpindahan kekuasaan dari satu golongan kepada golongan lain. Pada 1963 didirikan Komando Tertinggi Retooling Alat Revolusi (Kotrar) langsung di bawah komando Sukarno, yang menggantikan Panitia Retooling Aparatur Negara (Paran) yang dipimpin Jenderal Nasution. Sejak ada Kotrar konsep penggantian pemerintah diubah menjadi konsep Retooling Kabinet – artinya yang mereka yang dianggap datang dari golongan “kanan” di dalam kabinet diganti dengan yang “kiri” atau progressif.


Cara demikian sebetulnya jebakan, karena secara formal semua menjadi tergantung pada Presiden Sukarno. Di luar proses formal, kuncinya adalah memang sejauh mana ide-ide sosialisme ala Indonesia mendapat dukungan. Selama dukungan mayoritas rakyat menjadi sasaran, proses ini memiliki sifat demokratis. Tetapi tanpa proses pemilu, ini merupakan proses demokratis tanpa tersedianya mekanisme demokratis, yaitu mekanisme formal yang memang bersandar pada rakyat sendiri. Semua bersandar pada presiden. Juga sangat susah membayangkan proses demokratis langsung – yaitu insureksi bersenjata oleh rakyat mayoritas, karena mereka tidak memiliki senjata.


Sementara itu presiden juga tidak punya kekuasaan atau kekuatan absolut. Apakah kabinet bisa diretooling atau tidak banyak tergantung pada kalkulasi imbangan kekuatan. Kalkulasi dan manuver menjadi sebuah mekanisme utama yang menciptakan suasana yang penuh kehati-hatian dan manuver yang sangat matang untuk segala macam konspirasi.

Demokrasi liberal memang banyak cacatnya dan banyak mendapatkan kritik dari Sukarno. Dalam hal itu dia benar. Yang harus dipertanyakan adalah solusi yang ditawarkan Sukarno: sebuah sistem politik formal yang membuang semua aspek positif dari demokrasi liberal: ada Pemilu, pelarangan partai-partai dan bahasa politik yang tunggal. Dengan begitu sebuah gerakan memperjuangkan sosialisme ala Indonesia – yang pada hakekatnya bersifat demokratis dan juga melibatkan jutaan orang ke dalam kehidupan politik negeri – berkembang tanpa mekanisme formal demokratis.  Situasi seperti itu berujung pada pertarungan konspirasi gelap dan memuncak di tahun 1965 yang membuka kesempatan untuk kubu lawan Sukarno untuk mengalahkannya secara total. (*)
(*) Penulis adalah peneliti dan pada Majalah Historia

Sukarno: Pemersatu atau Pembelah?

Sunday, June 26, 2011

Oleh:
Max Lane



Sejak saya mulai belajar sejarah Indonesia di University of Sydney tahun 1969, saya selalu diajari oleh para dosen bahwa Sukarno seorang permersatu. Bahkan mereka, baik dosen Australia, Indonesia atau Belanda, cukup banyak yang menyebut Sukarno – dengan nada minor – gandrung persatuan. Dalam bulan Juni 2011 ini – dengan banyak spanduk yang menyatakan ini bulan Sukarno – masalah persatuan, apalagi dalam menghadapi “asing”, suka disebut-sebut lagi.

Baik sebagai seorang akademisi yang “Indonesianis” maupun sebagai warga dunia yang berkewajiban berideologi, saya menyatakan sebelumnya bahwa saya termasuk seorang yang sangat menghargai kepemimpinan Sukarno serta pikirannya, meskipun saya juga berpendapat dia bukan manusia sempurna: pernah juga melakukan kekeliruan dan kadang-kadang analisa yang salah. Sebagai seorang yang menilai peranan Sukarno secara umum sangat positif, saya mau menekankan bahwa gambaran atau stereotipe Sukarno sebagai seorang pemersatu adalah keliru total. Sukarno bukan pemersatu bangsa, dia adalah seorang yang membelah bangsa dan negeri Indonesia.

Apakah ini celaan atau sebuah kritikan? Tidak, ini sebuah pujian. Izinkan saya jelaskan pendapat saya itu.

Kalau kita buka buku Di Bawah Bendera Revolusi jilid I artikel pertama, kita akan temukan artikel “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme”. Artikel itu dimuat di Suluh Indonesia Muda pada tahun 1926. Artikel terkenal itu mengambil sebuah peranan awal dalam kampanye propaganda Sukarno yang kemudian sering dianggap sebagai artikel yang mengusung gagasan persatuan. Tetapi pandangan seperti itu adalah pandangan yang dangkal kalau tak boleh disebut sebagai pandangan yang sangat menyesatkan. Tulisan “Nasionalisme, Islamisme dan Marxisme” sejatinya adalah tulisan pembelahan, bukan penyatuan.

Adalah sangat penting, saya kira, untuk kita bisa menangkap dinamika pembelahan di dalam tulisan Sukarno itu. Karena dinamika pembelahan tersebut menjadi dinamika yang dipertahankan Sukarno sampai seterusnya, sampai tahun 1968 ketika dia dikalahkan oleh Soeharto. Dan basis pembelahannya itu juga merupakan basis keberhasilannya sebagai seorang pemimpin anti-kolonialisme yang memperjuangakan Indonesia Merdeka.

Jadi pertanyaannya ialah: pembelahannya siapa antara siapa? Kalau kita membaca tulisannya itu, Sukarno cukup panjang lebar menjelaskan sebuah argumentasi yang dialamatkan pada masing-masing kaum nasionalis, kaum Islam dan kaum Marxis bahwa mereka semua harus memilih. Harus memilih! Itu memang tantangan yang selalu akan dilemparkan oleh pemimpin yang serius. Masing-masing umat ketiga aliran dihadapkan dengan pilihan yang akan membelah aliran itu masing-masing, serta juga sekaligus membelah bangsa. Coba kita membaca beberapa kata-kata dari tulisan tersebut.

Kepada kaum nasionalis: "Nasionalis jang segan berdekatan dan bekerja bersama-sama dengan kaum Marxis – Nasionalis sematjam itu menundjukkan ketiadaan jang sangat, atas pengetahuan tentang berputarnja roda-politik dunia dan riwajat. Ia lupa, bahwa asal pergerakan Marxis di Indonesia atau Asia itu, djuga merupakan tempat asal pergerakan mereka. Ia lupa, bahwa arah pergerakannya sendiri atjap kali sesuai dengan arah pergerakan bangsanja jang Marxistis tadi."

Kepada kaum Islam: "Hendaklah kaum Islam jang tak mau merapatkan diri dengan kaum Marxis, sama ingat, bahwa pergerakannya itu, sebagai pergerakan Marxis, adalah suatu gaung atau kumandangnya djerit dan tangis rakjat Indonesia jang makin lama makin sempat kehidupannja, makin lama makin pahit rumah tangganya"

“Untuk Islamis sedjati, maka dengan lekas sahadja teranglah baginja, bahwa tak layak dia memusuhi faham Marxisme jang melawan peraturan meerwardenja [nilai lebih], sebab dia tak lupa, bahwa Islam sejati djuga memerangi peraturan itu: ia tak lupa Islam yang sejati melarang keras memakan riba dan memungut bunga."

Kepada kaum Marxis: “Demikian pula, tak pantaslah kaum Marxis itu bermusuhan dan berbenturan dengan pergerakan Islam yang sungguh-sungguh. Tak pantas mereka memerangi pergerakan jang, sebagaimana sudah kita uraikan diatas, dengan seterang-terangnja bersikap anti-kapitalisme; tak pantas mereka memerangi pergerakan jang, sebagaimana kita uraikan diatas jang dengan sikapnya anti-riba dan anti-bunga jalah seterang-terangja jalah anti-meerwaarde.”

Setiap aliran – yang semuanya setuju Indonesia Merdeka – dihadapkan dengan pilihan: bersatu atau tidak. Memang, Sukarno membelah demi sebuah persatuan – tetapi bukan asal bersatu. Ada basis persatuannya yang diperjuangkannya. Setiap orang yang memperjuangkan sebuah basis persatuan yang jelas akan mengakibatkan pembelahan, karena orang harus memilih. Dan basis persatuan yang diperjuangkan dalam tulisan ini bukan hanya Indonesia Merdeka, tetapi analisa terhadap dan sikap anti-kapitalis. Dalam tulisannya dia panjang lebar menguraikan persamaan di antara riba dan bunga dalam Islam dan nilai lebih dalam Marxisme serta juga menjelaskan bahwa hukum kapitalisme akan kebutuhan cari nilai lebih sebanyak-banyaknya juga adalah motor meluasnya kolonialisme, yang dilawan oleh semua mereka yang berideologi nasionalis. Ini kelihatan dari kutipan-kutipan di atas, tetapi silahkan membaca dan merenungkannya sendiri.

Sebenarnya elemen-elemen bangsa Indonesia (yang pada waktu itu sedang dalam proses) sudah sejak awal terbelah dalam soal sikap terhadap kapitalisme. Sarekat Islam juga terbelah ketika gerakannya menghadapi pilihan: kapital (modal) itu halal atau haram, atau hanya modal asing (kolonialis) yang haram.

Dalam sebuah tulisan berjudul “Kapitalisme Bangsa Sendiri” lain Sukarno juga menekankan:

“…. kita bukan sahaja harus menentang kapitalisme asing, tetapi harus juga menentang kapitalisme bangsa sendiri.”

Ada juga aktivis Marxis di luar Indonesia (mungkin juga di dalam) yang mempermasalahkan tulisan ini. Karena Sukarno, meskipun juga menekankan harus ada perlawanan terhadap kapitalisme, perlawanan antar kelas seharusnya tidak menjadi “prioritas” selama Indonesia Merdeka belum tercapai. Tetapi sudah jelas juga dari tulisan ini bahwa dengan menyatakan bahwa Indonesia Merdeka adalah prioritas tidak ada pelunturan sedikit pun dengan tekanannya pada diteruskannya propaganda anti-kapitalis.

Bukan hanya itu. Dalam analisanya, Sukarno menggarisbawahi bahwa hanya rakyat jelata (bahasa dia “Kang Marhaen”) Indonesia bisa menjadi kekuatan yang memerdekakan dirinya dan bukan kaum kapitalis dalam negeri.

Pembelahan pro dan anti-kapitalis, pro dan anti eksploitasi selalu hadir. Begitu juga pembelahan antara kaum “kooperasi” dengan kolonialisme dan kemudian dengan neo-kolonialisme dan non-ko. Pilihannya hanya dua: di sini atau di sana. Pada zaman 1960an, panggung politik terbelah menjadi NASAKOM palsu dan NASAKOM sejati. Basis persatuannya sama: melawan nekolim mengharuskan juga melawan kapitalisme bangsa sendiri.

Yang menarik ialah bahwa ini juga merupakan pembelahan bangsa: karena yang pro-kapitalis, baik zaman dulu maupun zaman sekarang adalah bagian dari bangsa (nation) Indonesia. Pemilik-pemilik konglomerat saat ini yang sekaya-kayanya serta mereka-mereka yang menyetujui dengan sadar secara ideologis strategi pembangunan ekonomi Indonesia yang kapitalis (yaitu bersandar pada sektor swasta baik dalam negeri maupun internasional) adalah bagian dari bangsa Indonesia. Begitu juga dua sayap Sarekat Islam dulu, maupun nasionalis-nasionalis, Marxis-Marxis ataupun orang Islam yang tak bisa bersatu bersandar pada basis persatuan Indonesia Merdeka yang melawan lapitalisme. Di sinilah letak kelemahan nasionalisme sebagai sebuah ideologi, apalagi di zaman pasca kolonial.

Nasionalisme berseru buat semua elemen bangsa bersatu karena kepentingannya sama. Tetapi ini tidak benar secara faktual. Justru jarang sekali elemen-elemen sebuah bangsa mempunyai kepentingan yang sama. Yang dieksploitasi berkepentingan menghentikan eksploitasinya; yang melakukan eksploitasi berkepentingan meneruskan eksploitasinya. Semua punya kepentingan yang saling berlawanan, padahal masih satu bangsa.

Dalam bulan Sukarno ini memang sangat berguna membaca dan mempelajari tulisan Sukarno. Salah satu pelajaran yang bisa diambil adalah pentingnya seorang pemimpin pembebasan bangsa berani memperjuangkan sebuah basis persatuan yang jelas, biar pun itu merupakan sebuah pembelahan. Kelihatan sekali pada kurun tahun 1965-1968, Indonesia terbelah menjadi pro dan kontra Sukarno, pro dan kontra Sosialisme ala Indonesia. Sukarno kalah total. Sosialisme ala Indonesia kalah total. (Lho, kok bisa kalah total? Lain waktu di bulan Sukarno ini mungkin pertanyaan itu bisa dijawab dalam kolom yang sama) (*)

(*) Penulis adalah Redaktur Majalah Historia


Source: Majalah Historia