![]() |
Photo Ilustrasi: Google.com |
Oleh:
Fajar Kurnianto *)
Tanggal 17 Agustus ini, bangsa Indonesia memperingati hari kemerdekaannya yang ke-66. Bangsa ini kembali diingatkan dengan sejarahnya di masa lalu, dengan spirit pembebasan yang visioner ketika itu. Jadi, bukan sekadar peringatan seremonial belaka yang hampa makna.
Spirit Kemerdekaan
Lebih daripada sekadar persamaan tanggal, hal penting bagi bangsa ini, saat ini sesungguhnya adalah menggali lebih dalam dan mengelaborasi lebih jauh spirit kemerdekaan. Apa sebenarnya spirit kemerdekaan itu? Kemerdekaan, seperti disebutkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya keadaan (hal) berdiri sendiri (bebas, lepas, tidak terjajah lagi, dan sebagainya); kebebasan. Spirit kemerdekaan dengan demikian adalah spirit kebebasan. Kemerdekaan berarti bebas dari segala bentuk penjajahan bangsa asing, bebas menentukan nasib sendiri, mandiri, lepas dari segala bentuk intervensi dan dikte bangsa asing, juga bebas dari ketergantungan terhadap bangsa asing.
Dalam pidato singkat yang diselingi pembacaan teks Proklamasi, Soekarno mengatakan, "Saudara-saudara sekalian, saya telah minta saudara-saudara hadir di sini untuk menyaksikan satu peristiwa mahapenting dalam sejarah kita. Berpuluh-puluh tahun kita bangsa Indonesia telah berjuang untuk kemerdekaan Tanah Air kita. Bahkan telah beratus-ratus tahun. Sekarang tibalah saatnya kita benar-benar mengambil nasib bangsa dan nasib Tanah Air kita di dalam tangan kita sendiri. Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri, akan dapat berdiri dengan kuatnya. Kita sekarang sudah merdeka. Tidak ada satu ikatan lagi yang mengikat Tanah Air kita dan bangsa kita. Mulai saat ini kita menyusun negara kita. Negara merdeka. Negara Republik Indonesia. Merdeka kekal abadi. Insya Allah Tuhan memberkati kemerdekaan kita ini!"
Kemerdekaan juga berarti bebas dari belenggu-belenggu persoalan kebangsaan dan kenegaraan yang tengah mendera. Kita lihat bangsa ini, saat ini. Korupsi masih membelenggu bangsa sehingga pelayanan publik amburadul dan kesejahteraan rakyat masih jauh dari harapan. Rendahnya etika publik para pejabat publik dan para politisi membelenggu bangsa ini sehingga cita-cita menjadi bangsa yang beradab, berbudaya, dan beretika, terutama di kalangan para pengelola dan pengurus negara, terasa masih jauh. Lemahnya penegakan hukum membuat bangsa ini terbelenggu ketidakadilan, konflik-konflik horizontal, kekerasan oleh kelompok tertentu, intoleransi, dan seterusnya. Ketidakpedulian para elite politik dan pejabat publik membuat bangsa ini terbelenggu dalam kemiskinan, pengangguran, dan keterpurukan.
Bangsa ini sudah lepas dari segala bentuk penjajahan bangsa asing. Tapi, bangsa ini belum lepas dari penjajahan berbagai persoalan dalam negeri yang celakanya dilakukan oleh anak bangsa sendiri. Spirit kemerdekaan adalah pembebasan, membebaskan bangsa ini dari segala persoalan yang membelenggu yang membuat bangsa ini seperti berjalan di tempat, tanpa terobosan-terobosan progresif visioner. Dulu, Soekarno menyebut kemerdekaan adalah jembatan emas bagi masyarakat bangsa ini di mana di seberangnya masyarakat bangsa ini akan hidup sejahtera dan makmur. Spirit untuk menyejahterakan rakyat inilah yang antara lain membuat para pendiri bangsa berjuang mati-matian tanpa kenal lelah dan takut, padahal ketika itu tengah berada dalam ancaman Jepang.
‘State that Never Sleep’
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dalam memimpin negeri ini menggunakan jargon state that never sleep alias pemerintah yang bekerja 24 jam penuh. Jargon yang tentunya sangat luar biasa, dan bangsa ini bangga karenanya. Bangga karena merasa telah memiliki pemimpin dan pemerintahan yang bekerja penuh, maksimal, dan optimal, jika ukurannya adalah jargon itu. Tapi, jargon tetaplah jargon. Kemampuan manusia tetaplah ada batasnya. Tidak semua persoalan bangsa diselesaikan secara tuntas. Lebih banyak malah yang terabaikan. Atau bahan terlupakan sama sekali kalau tidak diingatkan. Bangsa ini memang kerap lupa dan melupakan. Ini yang sering dimanfaatkan para pejabat dan politisi ketika terjerat persoalan.
Bangsa ini sarat dengan persoalan-persoalan besar meski usia kemerdekaan sudah ke-66 tahun. Dulu Soekarno bermimpi Indonesia akan menjadi mercusuar dunia, menjadi negara maju dan diperhitungkan dunia. Pada masa Soeharto, Indonesia diprediksi menjadi kekuatan ekonomi dan macan Asia setelah mampu menjadi negara berswasembada pangan. Hingga era reformasi, masa Presiden SBY saat ini, mimpi Soekarno atau minimal menjadi negara berswasembada pangan seperti terjadi di era Soeharto belum juga terwujud akibat pengelolaan negara yang tidak beres. Bahkan jalan menuju ke sana pun terasa buram karena tidak adanya visi yang jelas para pengelola negara hendak ke mana bangsa dan negara ini dibawa. Dengan segala kekurangan dan kelemahannya, Soekarno dan Soeharto telah "berbuat" untuk Indonesia, untuk bangsa ini, dengan capaian-capaiannya.
Momentum kemerdekaan RI kali ini, seperti juga tahun-tahun sebelumnya, seyogianya menjadi peringatan terhadap segenap elemen bangsa ini, terutama para pengelola dan pengurus negara, untuk melihat apa sesungguhnya tujuan bangsa ini merdeka 66 tahun lalu. Para pendiri bangsa sudah memberikan kemampuan maksimal yang bisa mereka lakukan dan kerjakan untuk merawat, menjaga, serta mengisi kemerdekaan dengan segala dinamika dan persoalan yang dihadapi. Abraham Lincoln (1809—1865), Presiden Amerika Serikat ke-16, mengatakan: Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu, tapi tanyakan apa yang kamu berikan kepada negaramu! Selamat hari kemerdekaan ke-66 RI. (*)
*) Penulis adalah pengamat sosial-politik Pusat Studi Islam dan Kenegaraan (PSIK) Universitas Paramadina Jakarta
Source: Here