Tiga Langkah Penanganan Kasus Nazaruddin

Tuesday, August 16, 2011

Photo: Media Indonesia | Ilustrasi: CSATL/Tim JLC
Oleh:
Adnan Buyung Nasution *)


Banyak orang yang bersyukur dengan tertangkapnya Nazaruddin di Kolombia pada 7 Agustus 2011, atas usaha kerja sama Interpol, KPK, Kementerian Luar Negeri, dan Kementerian Hukum dan HAM. Nazaruddin yang telanjur dipublikasikan itu telah membentuk opini publik bahwa ia koruptor besar yang licik dan licinnya luar biasa. Di lain pihak, banyak juga orang yang waswas karena takut keterlibatan mereka dalam kasus multikompleks ini terbongkar.

Saya katakan multikompleks karena menyangkut berbagai dimensi, yaitu politik, ekonomi, hukum administrasi negara, termasuk hukum pidana. Itu mengaitkan pula berbagai instansi, internal Partai Demokrat yang sedang berkuasa tempat Nazaruddin sebagai bendahara umum yang tahu seluk beluk keuangan partai, Pemerintah RI dalam hal ini badan eksekutif di bawah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang juga Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, DPR, dan instansi penegak hukum seperti kepolisian bahkan KPK.

Dengan sudah kembalinya tersangka Nazaruddin ke Tanah Air pada 13 Agustus 2011, saya ingin mengemukakan pendapat mengenai cara penanganan kasus ini kepada KPK sebagai institusi yang paling bertanggung jawab. KPK, meskipun independen, masih berada di bawah struktur kekuasaan presiden yang tidak mustahil menggunakan pengaruhnya kepada KPK.

Karena itu, saya tujukan pendapat ini juga kepada Presiden RI agar memahami permasalahannya. Saya membagi penanganan kasus ini dalam tiga bagian. Pertama, tempat penahanan yang steril. Kedua, strategi pemeriksaan harus jelas, begitu pula penuntutannya. Ketiga, pembentukan tim pemeriksa yang independen.


Tempat penahanan yang steril

Dengan mengacu ke kasus Gayus Tambunan yang juga cukup menghebohkan, cara penahanan Nazaruddin patut menjadi fokus utama. Harus jelas siapa instansi yang bertanggung jawab, di mana dia ditahan, siapa yang menjaga dan mengawasi, dan siapa yang boleh menjenguk atau bertemu dengannya. Vital pula menjaga keselamatan Nazaruddin, baik keselamatan dalam arti kasusnya bisa diperiksa dan disidik secara objektif dan adil, maupun keselamatan nyawanya yang amat terancam mengingat besarnya kepentingan yang dipertaruhkan.

Dari kasus Gayus saya mendapat pelajaran bahwa tidak cukup kita percayakan penahanan ini hanya kepada satu instansi, dalam hal ini kepolisian. Awalnya penahanan Gayus oleh pihak penyidik Polri terkesan rapi dan ketat di Rutan Brimob yang jauh di pinggir kota dan terisolasi pula dari kawasan Brimob sendiri. Namun, kesan yang baik itu gugur ketika terbongkar di media massa bahwa Gayus bisa berkali-kali keluar dari rutan. Bukan hanya Gayus, banyak tahanan di rutan yang sama bisa keluar masuk, sebut saja Komjen Pol Susno Duadji dan mantan Deputi Gubernur BI Aulia Pohan. Hanya, tidak ada surat kabar yang memberitakan.

Kolaborasi antara penjaga dan tahanan memang sudah mentradisi di berbagai rutan, baik kepolisian, kejaksaan, maupun pengadilan, dengan cara menyogok atau adanya memo dari penguasa.

KPK dan Presiden RI perlu memikirkan di mana sebaiknya Nazaruddin ditahan supaya tidak terulang kejadian yang sama, kalau betul-betul berniat mau melakukan pemeriksaan tuntas. Saran saya di suatu pulau, katakanlah Pulau Samosir, Pulau Bangka, atau Nusakambangan, supaya jauh dari kemungkinan melarikan diri atau adanya intervensi pihak luar.

Meskipun saya ragu di mana pun dia ditempatkan, selama mental korupsi masih merajalela dan pengaruh kekuasaan begitu besar terhadap aparat penegak hukum sehingga para tahanan tetap saja bisa lolos, kita harus berusaha seoptimal mungkin mengantisipasi.


Strategi Pemeriksaan Harus Jelas

KPK yang dipimpin Busyro Muqoddas sejak awal harus jelas menetapkan strategi pemeriksaan dan penyidikan, begitu pula nanti penuntutannya harus jelas pula arah dan tujuannya. Kasus Gayus lagi-lagi merupakan pelajaran berharga bahwa memercayakan pemeriksaan dan penyidikan secara lugu kepada satu instansi saja tidak cukup dan tidak baik. Pemeriksaan dalam kasus Nazaruddin hendaknya tidak diserahkan hanya kepada satu instansi, tidak kepolisian, tidak kejaksaan, tidak pula KPK. Dalam hal korupsi aparat kepolisian dan kejaksaan sudah tidak bisa dipercaya lagi karena terbiasa main kotor dan main kekuasaan.

Busyro pun harus menyadari kalau dalam tubuh KPK ada orang yang pernah terkontaminasi atau diduga terkontaminasi, jangan dipakai lagi.

Pemeriksaan harus objektif dan adil bagi semua pihak. Tidak hanya adil terhadap tersangka, tapi adil bagi seluruh rakyat Indonesia. Ada pepatah Belanda yang mengatakan separuh kebenaran itu lebih jahat daripada kejahatan itu sendiri, yang menurut saya amat bermakna untuk kita menemukan mana kebenaran yang sejati dan mana yang palsu. Dalam rangka mencari keadilan, unsur kebenaran sejati itu mutlak diperlukan.

Dalam kasus Nazaruddin, harus dibuka semua jaringan sepenuhnya sampai telanjang, tidak ada yang disembunyikan, tidak ada yang ditutupi, dengan dasar pemikiran bahwa dalam kebenaran yang telanjang itulah kita bisa menegakkan hukum yang benar dan adil. Kalau tidak, berlakulah pepatah separuh kebenaran lebih jahat daripada kejahatan itu sendiri.

Relevansinya, kalau kejahatan Nazaruddin yang dibongkar untuk mendapatkan kebenaran itu hanya separuh, atau sepertiga, bahkan seperlima, itu lebih jahat daripada kejahatan Nazaruddin sendiri. Bahwa perkaranya nanti tidak utuh satu, mungkin harus dipecah beberapa perkara, silakan saja. Jangan sejak semula strategi sudah membatasi, sudah dibuat limit.

Ibarat permainan sepak bola, tapi lapangannya dibuat lebih kecil seukuran permainan badminton. Kalau memang kenyataannya kejahatan dari perkara itu begitu banyak melibatkan orang, bukalah seluas-luasnya bahkan lebih luas daripada lapangan bola, secara konsisten, konsekuen, dan ikhlas untuk menegakkan kebenaran dan keadilan.

KPK tidak boleh sama sekali berdamai dengan pihak eksekutif dan legislatif. Satu-satunya yang boleh dihubungi hanya pihak yudikatif karena nanti hasil pemeriksaan dan penyidikan memang akan dipertanggungjawabkan kepada pengadilan.

KPK harus transparan kepada masyarakat, open minded, dan open hearted, tidak ada rekayasa apalagi pengarahan untuk menyelamatkan si A, atau kelompok si B, si C, si D. Kalau dipatok-patok atau dikavelingkaveling mengenai hal-hal yang tidak boleh disentuh, itu berarti KPK tidak jujur.


Tim Pemeriksa Independen

Kalau strateginya sudah dibuat KPK dan sudah jelas mengandung niat yang bersih bahwa kali ini betul-betul mau menegakkan keadilan dan kebenaran, saya anjurkan untuk membentuk satu tim pemeriksa yang independen, steril, berwibawa, yang objektivitasnya terjaga.

Orang-orangnya dipilih berdasarkan rekam jejak sebagai penegak hukum yang jujur dan berakhlak, yang tidak saja berani mempertaruhkan nama baik dan kehormatannya, tapi juga bertanggung jawab kepada Allah Yang Mahakuasa. Tim pemeriksa itu disusun KPK, dicari secara selektif dari semua penyidik yang bagus yang ada di Indonesia, baik dari kepolisian, kejaksaan, kalau perlu dari Polisi Militer, Polisi AU, para penyidik dari Imigrasi dan Bea dan Cukai.

Memang tidak mudah, tapi saya yakin masih ada ‘mutiara-mutiara’ itu asalkan kita mau mencarinya dengan seni mencari yang tinggi, jangan menggampangkan dengan asal main comot orang. Jangan sampai tim pemeriksa itu orang yang mau dibayar, gampang dipengaruhi, sehingga bisa memutarbalikkan persoalan dan merekayasa masalah.

Kita menyadari bahwa hukum ini banyak celahnya, banyak bopengnya, banyak tikus di dalamnya, sehingga kita harus menerapkan hukum yang tepat, yang sejujur-jujurnya dan seikhlas-ikhlasnya, dalam suatu proses hukum yang dijaga untuk tegaknya kebenaran dan keadilan sebagai acuan hidup dan sebagai ruh dari penegakan hukum di dalam negara hukum. (*)


*) Penulis adalah Advokat Senior



Powered: Epaper Media Indonesia
Source: Media Indonesia, Selasa, 16 Agustus 2011
Halaman: 14