![]() |
Naskah Teks Asli Proklamasi/Blogger.com |
Oleh:
Bandung Mawardi *)
Alkisah, seorang lelaki cerdas dan santun mengisahkan detik-detik menakjubkan menjelang peristiwa dalam sejarah Indonesia. Mohamad Hatta dalam Memoir (1979) mengenang serpihan-serpihan 17 Agustus 1945: "Waktu itu bulan puasa. Sebelum aku pulang, aku masih dapat makan sahur di rumah Admiral Maeda. Karena tidak ada nasi, yang kumakan ialah roti, telur, dan ikan sardines. Tetapi, cukup mengenyangkan." Perumus dan penanda tangan teks proklamasi itu mengurus tubuh dalam bingkai religiositas, melumuri tubuh dengan doa, serta memberi diri demi iman dan pasrah kepada Tuhan.
Peristiwa pembacaan teks proklamasi itu sakral karena bersamaan dengan selebrasi iman dan kekudusan angan. Hatta tidur seusai salat subuh, merebahkan tubuh tanpa alpa hasrat mencipta sejarah. Jarum jam bergerak. Pukul 08.30: pemikir moncer bangun, mandi, dan bercukur. Bersih diri secara lahir dan batin, menggerakkan diri menuju Pegangsaan Timur 56, Jakarta. Indonesia pun lahir di bulan suci, disahkan dengan deretan kata, gumpalan sejarah panjang dan tegang. Setahun setelah peristiwa itu, 17 Agustus 1946, Hatta mengucap dalam siaran radio: "Sekali lagi, sejarah membuktikan bahwa lahirnya bangsa diiringi oleh cucuran darah dan air mata." Barangkali kalimat ini hampir klise, tapi mengena karena diucapkan si pelaku sejarah.
Kesan itu berbeda dengan kejengkelan Hatta saat merumuskan teks proklamasi bersama Sukarno dan para pemuda revolusi. Hatta masih ingat dan mengenang. Malam itu Sukarno meminta Hatta memikirkan dan menulis kalimat-kalimat di dokumen proklamasi. Kata Sukarno: "Bung Hatta lebih tahu bahasa Indonesia dari saya. Tulislah dan pikirlah." Sejarah teks proklamasi ternyata mengikutkan perkara bahasa Indonesia: bahasa politik dan kultural. Bahasa ini "merangkum" dan "menebarkan" imajinasi Indonesia saat masa kolonialisme.
Kerja bahasa itu melahirkan kalimat-kalimat ampuh: "Kami bangsa Indonesia dengan ini menyatakan kemerdekaan Indonesia. Hal-hal yang mengenai pemindahan kekuasaan dan lain-lain akan diselenggarakan dengan cara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya." Hatta pun meminta semua orang memberi tanda tangan di dokumen sejarah (politik) itu sebagai gaung imajinasi ala Amerika Serikat. Hatta sempat mengucap bahwa penulisan dan penandatanganan teks proklamasi itu "persis" saat dulu George Washington mencipta sejarah Amerika melalui teks dan tanda tangan. Ajakan Hatta cuma mendapati jawab diam. Soekarni justru usul agar teks itu ditandatangani oleh Sukarno dan Hatta atas nama bangsa Indonesia. Hatta mengenangkan: "Semua gembira. Saya agak jengkel karena diberi kesempatan membuat sejarah, tidak mau." Proklamasi adalah urusan tanda tangan, coretan simbolis tentang otoritas dan kompetensi pendiri bangsa. Sejarah kita berlumuran soal bahasa, tanda tangan, dan perasaan.
Soal bahasa, dalam pengakuan Hatta, mendapat imbuhan dan belokan refleksi dari Sukarno. Proklamator ini mengucap bahwa teks proklamasi itu "pernyataan yang singkat dan tidak menggetarkan perasaan, dengan mana kami menuntut kembali tanah-tumpah-darah kami setelah 350 tahun". Sukarno tidak hendak meremehkan kerja bahasa selama menggarap teks proklamasi bersama Hatta dan para pemuda.
Pengakuan ihwal efek dan makna bahasa itu tercantum dalam buku Bung Karno: Penyambung Lidah Rakyat (1966) susunan Cindy Adams. Simaklah: "Proklamasi itu pendek saja. Melihat sifat kata-katanya, ia menggambarkan pernyataan yang umum. Ia tidak menjeritkan keluhan kepedihan ataupun kemiskinan. Bagaimana mungkin kami di saat itu bisa mencari kata-kata yang cukup pedih untuk mengingatkan orang pada pengorbanan yang tak ada taranya dari ribuan tubuh yang bergelimpangan dalam kuburan-kuburan tak dikenal di Boven Digul. Kami bahkan tidak mencoba mencari kata-kata demikian itu." Penjelasan ini kentara mengandung sejenis "sesal" dan "kesal" karena bahasa dalam teks proklamasi tampak kalem dan lembek.
Bahasa selalu berurusan dengan sejarah, panggilan referensial, sensibilitas realitas, dan subyektivitas. Sukarno dan Hatta tampak beda dalam mengurusi bahasa, senjang dalam mengaitkan bahasa dan sejarah antara Amerika dan Boven Digul. Imajinasi kemerdekaan ala George Washington bersanding dengan memori pedih Boven Digul, ruang derita dan pengasingan bagi kaum penentang kolonialisme. Bahasa di teks proklamasi dituliskan dalam pertaruhan politik, panggilan sejarah, dan keberterimaan meladeni realitas bergerak.
Sindiran Sukarno untuk sejarah Amerika itu disimbolkan dalam bentuk kertas dan pena. Proklamasi cuma dituliskan di secarik kertas ala buku tulis anak sekolah. Sukarno tidak menulis memakai pena bulu dicelupkan ke tinta ala para pelaku sejarah Amerika. Memori Sukarno: "Kami bahkan tidak menyimpan pena yang bersejarah yang menggoreskan kata-kata yang akan hidup untuk selama-lamanya. Aku tahu bahwa presiden-presiden dari Amerika membagi-bagikan pena-pena yang digunakannya untuk menandatangani undang-undang penting. Akan tetapi, aku yang dihadapkan pada detik-detik besar bersejarah, bahkan tidak ingat dari mana datangnya pena yang kupakai. Kukira aku meminjamnya dari seseorang." Kita kehilangan pena, kehilangan jejak sejarah.
Pengakuan Hatta dan Sukarno perihal tubuh, bahasa, pena, memori, kertas, pena, dan tanda tangan pantas menjadi pijakan menilik kesejarahan Indonesia. Semua hadir, bergumul, serta bergerak dengan pijar-pijar sensasi dan imajinasi. Indonesia ada dalam semaian kata dan peristiwa, mendefinisikan diri melalui klaim dan adu tafsiran.
Tubuh mereka memiliki memori berbeda, perasaan pun ada dalam titian subyektivitas. Roti, telur, dan ikan sardines menguatkan tubuh Hatta untuk bergerak dan berdiri mendampingi Sukarno membacakan teks proklamasi. Teks itu memang digarap dengan tergesa, mengesankan bahasa tulisan ketimbang lisan seperti politik kata ala Sukarno. Goenawan Mohamad (2006) menganggap penulisan teks proklamasi memang tergesa, tapi justru ketergesaan itu menjadi makna penting. Pilihan bahasa dan keringkasan menunjukkan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan keputusan di tengah-tengah ketidakpastian. Proklamasi tidak mengandaikan program sudah jadi (paripurna).
Sejarah Indonesia dikumandangkan: 17 Agustus 1945. Tubuh gagah Sukarno memegang dan membaca teks proklamasi ibarat tubuh Indonesia: tegak dan memikat. Tubuh itu bertarung dengan bahasa (tulisan) tak menggetarkan perasaan tapi mengucap Indonesia dalam gairah. Tubuh telah sanggup menggerakkan kata, menumbuhkan imajinasi, dan menebar memori. Kita pun mengenang tubuh dan perasaan mereka, menjalankan misi semaian Indonesia dari secarik kertas, serta menghidupi deretan kalimat demi nasib Indonesia. Begitu.
Pilihan bahasa dan keringkasan menunjukkan bahwa proklamasi kemerdekaan Indonesia merupakan keputusan di tengah-tengah ketidakpastian. Proklamasi tidak mengandaikan program sudah jadi (paripurna). (*)
*) Penulis tinggal di Karang Anyar
Powered: Koran Tempo Epaper
Source: Here