Showing posts with label Fokus. Show all posts
Showing posts with label Fokus. Show all posts

Sistem Pemerintahan

Tuesday, May 3, 2011

Oleh: Dony Yusra Pebrianto, SH__Tim JLC

Di dalam studi ilmu Negara dan ilmu politik dikenal adanya tiga sistem pemerintahan Negara, yaitu Presidensil, parlementer, referendum.[1]

a. System pemerintahan Presidensil

Suatu pemerintahan dimana pertanggung jawaban atas kebijaksanaan pemerintah dipegang oleh Presiden. Jabatan Presiden disini sebagai kepala pemerintahan merangkap sebagai kepala negara. Menurut Bagir Manan, sistem pemerintahan Presidensil dapat dikatakan sebagai subsistem pemerintahan republik, karena hanya dijalankan dalam Negara yang berbentuk republik (sesuai kepresidenan).[2] Adapun ciri-ciri sistem pemerintahan Presidensil menurut Abdul Hadi Anshary adalah sebagai berikut :

1. Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin cabinet. Semua kabinet diangkat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada presiden. Presiden juga sekaligus kepala Negara yang masa jabatannya telah ditentukan dengan pasti oleh Undang-Undang Dasar.

2. Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih. Oleh karena itu, ia bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem parlementer.

3. Presiden tidak bertanggung jawab pada badan legislatif, dan dalam hubungan ini ia tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif. (di Amerika Serikat, presiden dapat dijatuhkan melalui impeachment).

4. Sebagai imbangannya presiden tidak dapat atau tidak mempunyai wewenang untuk membubarkan badan legislatif.[3]

Kelebihan sistem pemerintahan Presidensil menurut Arend Lijphart adalah sebagai berikut :

1. Akan terjadi stabilitas eksekutif yang didasarkan pada masa jabatan presiden. Stabilitas eksekutif ini berlawanan dengan instabilitas yang biasanya melahirkan suatu sistem parlementer dari penggunaan kekuasaan legislative untuk membentuk cabinet melalui mosi tidak percaya atau sebagau akibat dari hilangnya dukungan mayoritas terhadap cabinet di parlemen.

2. Pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dapat dipandang lebih demokratis dari pemilihan tidak langsung (formal) atau (informal) dalam sistem parlementer. Memang dalam demokrasi tidak menuntut pilihan semua pejabat pemerintah oleh rakyat secara langsung. Tetapi argument bahwa pemerintahan, yang merupakan pemegang jabatan paling penting dan berkuasa di dalam pemerintahan yang demokratis, harus dipillih secara langsung oleh rakyat mengandung validitas yang tinggi.

3. Dalam sistem Presidensil telah terjadi pemisahan kekuasaan yang berarti pemerintahan yang dibatasi sehingga jaminan atas perlindungan kebebasan individu atas tirani pemerintah akan terminimalisasi[4].

Sementara itu kelemahan dari sistem Presidensil adalah :

1. Sistem pemerintahan Presidensil dipandang mempunyai cacat bawaan karena sistem ini berjalan atas dasar aturan “pemenang menguasai semuanya”. Sehingga politik demokrasi akan menjadi sebuah permainan dengan semua potensi konfliknya. Dalam pemilihan presiden, hanya seorang calon dan satu partai yang bakal menang. Selain itu, konsentrasi kekuasaan di tangan presiden memberinya sangat sedikit insentif untuk membentuk koalisi atau sistem pembagian kekuasaan lainnya atau untuk mengambil bagian dalam negosiasi dengan pihak oposisi yang mungkin diperlukan untuk menghadapi berbagai masalah yang dapat memecah belah. Terutama di Negara telah terbagi dan terpolarisasi, aturan “ pemenang menguasai semuanya “ sangat mungkin menimbulkan pembagian dan polarisasi lebih lanjut. Politik menjadi eksekutif, bukan inklusif[5].

2. Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif, sehingga dapat menciptakan kekuasaan yang mutlak.

3. System pertanggung jawaban kurang jelas.

4. Pembuatan keputusan atau kebijakan public umumnya hasil tawar menawar antara eksekutif dengan legislative sehingga dapat terjadi keputusan yang tidak tegas dan memakan waktu yang lama.

b. Sistem Pemerintahan Parlementer

Sistem pemerintahan parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan dimana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam sistem ini, parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri, dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan mosi tidak percaya[6]. Sistem ini muncul dari ketatanegaraan inggris sejak 250-300 tahun yang lalu. Sistem ini muncul di Inggris karena adanya keperluan politis sangat mendesak, sehingga perkembangannya tidaklah didasarkan atas tuntunan konstitusi, hukum, atau teori politik. Praktek mengenai ini berkembang mendahului teori yang ada.

Pada mulanya, kabinet dibentuk sebagai dewan pelayanan rahasia ataupun dewan pelaksana perintah dari raja dalam menjalankan pemerintahan Negara. Secara umum menurut Mahfud MD, ada beberapa ciri-ciri dalam sistem parlementer yaitu[7]:

1. Kepala Negara tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan karena lebih bersifat simbol nasional (pemersatu bangsa)

2. Pemerintah dilakukan oleh sebuah kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri.

3. kabinet bertanggung jawab terhadap cabinet dan dapat dijatuhkan oleh parlemen melalui mosi.

4. Kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah dari parlemen karena itu dia bergantung pada parlemen.

Sampai saat ini, diantara negara-negara yang menerapkan sistem parlementer, masih terdapat perbedaan-perbedaan yang mendasar. Ketidaksamaan tersebut menurut Denny Indrayana, dipengaruhi oleh beberapa factor :

1. Perbedaan jenis parlemen, apakah unicameral atau bicameral, termasuk sistem pemilihan anggota kamar kedua.

2. Perbedaan kekuatan eksekutif untuk membubarkan parlemen dan mempercepat pemilu, serta sebaliknya perbedaan kekuatan parlemen untuk memberhentikan perdana menteri.

3. Perbedaan adanya kewenangan yudisial review. Di Inggris kewenangan demikian tidak ada karena kedaulatan parlemen yang supremasi.

4. Perbedaan jumlah dan partai politik[8].

Sistem parlementer dapat dijalankan baik pada Negara republic maupun kerajaan. Singapura, India, Pakistan, Bangladesh, dan Israel adalah bebrapa Negara republic yang menjalankan sistem parlementer. Sedangkan Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris, Belgia dan Swedia adalah contoh kerajaan yang menjalankan sistem pemerintahan parlementer. Selain itu, ada pula pemerintahan parlementer yang tidak secara resmi berbentuk republic atau kerajaan, seperti Australia, Kanada, dan New Zealand. Ketiga Negara ini merupakan bagian dari sistem commonwealth dengan Inggris sebagai Negara induk[9].

c. Sistem Pemerintahan Referendum

Didalam sistem peerintahan ini, badan eksekutif merupakan bagian dari badan legislatif, misalnya di Swiss disebut Bundesrat adalah badan pekerja legislatif. Dalam sistem ini, badan legislatif membentuk sub badan didalamnya sebagai pelaksana tugas pemerintah. Mekanisme kontrol terhadap badan legislatif didalam sistem ini dilakukan dilakukan oleh rakyat melalui lembaga referendum[10].

Pembuatan Undang-Undang dalam sistem ini langsung diputuskan langsung oleh seluruh rakyat melalui dua mekanisme, yaitu:

1. Referendum obligator, yakni referendum untuk menentukan disetujui atau tidaknya suatu peraturan atau Undang-Undang baru oleh rakyat. Referendum ini disebut referendum wajib.

2. Referendum fakultatif, yakni referendum untuk menentukan apakah suatu peraturan atau Undang-Undang yang sudah ada dapat terus diberlakukan ataukah harus dicabut. Referendum ini merupakan referendum tidak wajib[11].



[1] Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan konstitusi di Indonesia. Cet. I . (Yogyakarta: Liberty,1993).

[2] Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat Studi Hukum UII dengan Gama Media, Yogyakarta, 1999. hlm. 15-16

[3] Abdul Hadi Anshary, Menuju Trias Politika dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Studi Konstitusional tentang Pemisahan Kekuasaan Negara), (Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2003), hlm.125.

[4] Ibid., hlm. 122-123.

[5] Ibid., hlm. 18

[6] Http://id.wikipedia.org/wiki/sistem_parlementer.htm”sistem parlementer“ diakses pada tanggal 30 Desember 2009.

[7] Moh. Mahfud MD. Op.cit.,hlm.74

[8] Denny Indrayana, “Mendesain Presidensial yang Efektif; Bukan ‘Presidensial’ Atawa ‘Presiden sialan.” (Makalah disampaikan dalam seminar sehari memperkuat sistem pemerintahan presidensial, Jakarta, 13 Desember 2006). Hlm 4.

[9] Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat Studi Hukum UII dngan Gama Media, Yogyakarta, 1999. hlm. 5

[10] Moh. Mahfud MD. Op.Cit. hlm. 75

[11] Ibid.

Bolos Kuliah Karena Jalan Putus

Saturday, April 30, 2011

Tribun Jambi - Sabtu, 30 April 2011 12:44 WIB
Share |
Jembatan-Durian-Luncuk.jpg
JARYANTO/TRIBUNJAMBI
Air merendam jembatan darurat di Desa Durian Luncuk, Kabupaten Sarolangun, Jambi.
Laporan Wartawan Tribun Jambi, Jariyanto

*Putusnya Akses Jalan Sarolangun-Tembesi

BANGKO, TRIBUNJAMBI.COM - Terputusnya akses jalan ke Jambi melalui ruas jalan Sarolangun-Tembesi, membawa dampak yang cukup banyak. Putusnya jalan sendiri akibat terendamnya jembatan darurat yang menggantikan jembatan beton yang rusak, di Desa Durian Luncuk, Kecamatan Bathin XXIV, Batanghari.

Dampak utama yaitu terjadinya antrean dari dua arah, baik arah ke Jambi dan sebaliknya arah menuju Sarolangun. Antrean panjang sudah mencapai sekitar empat kilometer dan mulai muncul antrean pada Jumat (29/4), sekitar pukul 20.00.

"Saya terjebak dari pukul 03.00. Tidak bisa putar balik lagi, karena kendaraan sudah terjebak," ujar Lilik Gunawan, Anggota DPRD Merangin dari Fraksi PKS kepada Tribunjambi.com, Sabtu (30/4), sekitar pukul 11.30.

Menurutnya, ia bertolak ke Jambi karena sedang mengikuti kuliah untuk mendapatkan gelar MM. "Hari ini ada tiga mata kuliah yang harus diikuti, tapi gagal karena kondisi ini," ungkapnya pasrah. (*)

Penulis : jariyanto
Editor : nani
Sumber : Tribun Jambi

Naskah Melayu Tertua Dunia di Kerinci


Tribun Jambi - Sabtu, 30 April 2011 17:46 WIB
Share |
30042011_NASKAH_KUNO.jpg
net
JAMBI, TRIBUNJAMBI.COM -

Budayawan Jambi Nukman SS mengatakan seorang ahli filologi dari Hawaiy University Amerika Serikat, Uli Kozok dalam risetnya menyimpulkan naskah melayu tertua di dunia ada di Kerinci.

"Dalam kesimpulan riset dari riset yang dilakukannya di tiga negara yakni Indonesia, Malaysia dan Belanda, filolog Dr Uli Kozok menyimpulkan bahwa naskah Melayu tertua ada di Kerinci, tepatnya di Desa Tanjung Tanah," kata Nukman SS ketika dihubungi di Jambi, Sabtu (30/4/2011).

Naskah tersebut, kata dia, menurut riset Uli Kozok ternyata jauh lebih tua 200 tahun dibanding dengan naskah surat raja Ternate yang sebelumnya dinyatakan sebagai naskah melayu tertua di dunia.

Naskah kitab undang-undang Tanjung Tanah diperkirakan dikeluarkan pada abad 14.

Menurut Nukman, kesimpulan Uli Kozok tersebut juga didasari atas uji radio karbon yang dilakukan pihaknya di Wellington, Selandia Baru atas sampel bahan kertas Daluang (samakan kulit kayu) yang digunakan untuk penulisan naskah itu.

"Uli Kozok dari hasil uji radio karbon yang sangat akurat prediksinya itu menegaskan kalau Daluang yang digunakan untuk media penulisan naskah tersebut bisa dipastikan ditebang pada rentang waktu antara abad 12 hingga 13," katanya.

Dari usia itulah, menurut dia dapat diprediksikan penulisan naskah itu pun berkisar tidak jauh dari abad itu, maksimal pada abad ke 14 naskah itu telah dibuat.

Sesuai catatan sejarah pula, kata dia kalau pada masa itu Kerajaan Melayu yang beribukota di Darmasyaraya (sebuah kabupaten pemekaran Sumbar, tetangga dekat kabupaten Kerinci) diperintah oleh Raja Adityawarman, itu sedang pada masa puncak kejayaannya.

Prediksi umur naskah Kitab Undang-undang Tanjung Tanah itu pun juga berdasarkan pada analisa jenis aksara yang digunakan.

Meskipun diketahui Kerinci sudah dari masa sebelumnya telah memiliki aksara sendiri yakni aksara `Incoung`, namun empunya yang menuliskan kitab tersebut menggunakan aksara pasca-Pallawa, bukan aksara Pallawa dan bukan pula aksara Jawa kuno.

"Karena itu, Uli Kozok menyimpulkan naskah tersebut pasti dikeluarkan oleh pihak kerajaan yakni raja Adityawarman, yang tengah gencarnya membangun imej pemerintahannya sendiri mengingat pada masa itu adalah era mulai melemahnya pengaruh kerajaan-kerajaan Hindu-Budha besar di pulau Jawa," katanya.

Aksara Incoung, kata dia meskipun telah menjadi aksara asli yang sudah digunakan secara umum oleh masyarakat Kerinci masa itu, namun bagi pihak kerajaan aksara itu dianggap aksaranya kaum Sudra atau rakyat jelata.

Orang luar Kerinci menyebut aksara itu sebagai `Surat Ulu` yang artinya aksara dari pedalaman sebagaimana posisi Kerinci sendiri yang memang berada di pedalaman Bukit Barisan.

"Oleh karena itu, menurut Uli Kozok penggunaan aksara itu tidak terlepas dari politik Adityawarman sendiri yang sangat terobsesi untuk membangun kerajaannya sendiri yang mandiri hingga mampu melepaskan diri dari pengaruh kerajaan besar di Jawa, maka dia menggunakan aksara sendiri yang berakar dari aksara Pallawa dan Jawa, daerah yang sebelumnya menjadi tempat tinggalnya dan menimba ilmu," kata Nukman.

Editor : fifi
Sumber : Antara

DIKOTOMI KEBIJAKAN PUBLIK

Tuesday, April 12, 2011

Oleh: Dony Yusra Pebrianto,SH

A. Pengantar

Studi Kebijakan publik sebenarnya merupakan bagian dari studi ilmu administrasi Negara (administrasi publik). Disiplin ilmu ini tergolong baru dalam ilmu administrasi Negara, hal ini mengingat studi ini mulai berkembang pada awal 70-an, terutama dengan terbitnya tulisan Harold D. Laswell tentang Policy Sciences[1].

Namun bagaimana dengan Hukum dan Kebijakan Publik?. Hal ini seyogyanya penulis simpulkan sebagai bagian dari studi Hukum administrasi Negara. Hukum administrasi Negara adalah hukum dan peraturan-peraturan yang berkenaan dengan pemerintah dalam arti sempit atau administrasi Negara, peraturan-peraturan tersebut dibentuk oleh lembaga legislatif untuk mengatur tindakan pemerintah dalam hubungannya dengan warga Negara, dan sebagian peraaturan-peraturan itu dibentuk pula oleh administrasi Negara[2].

Apakah Pengertian Kebijakan Publik?

Menurut Thomas Dye, kebijakan publik adalah apapun pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan (Public Policy is whatever Government Choose To Do or Not To Do)[3]. Konsep tersebut terlalu luas, karena menurut konsep tersebut kebijakan publik juga mencakup tentang sesuatu yang tidak dilakukan oleh pemerintah di samping yang dilakukan oleh pemerintah ketika pemerintah menghadapi permasalah publik.

Pendapat lain dikemukakan oleh James E Anderson yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai kebijakan yang ditetapkan oleh badan-badan dan aparat pemerintah[4]. Dalam pandangannya, Anderson menyatakan bahwa kebijakan publik dipahami sebagai pilihan kebijakan yang dibuat oleh pejabat atau badan pemerintah dalam bidang tertentu, misalnya bidang pendidikan, politik, ekonomi, pertanian, industri, pertahanan dan sebagainya.

Dimanakah Posisi Kebijakan Publik dalam Sistem Hukum Indonesia?

Menurut Abdul Latief[5], di dalam penyelenggaraan pemerinthana Negara terdapat dua jenis peraturan yang dapat berlaku secara berdampingan, yaitu peraturan perundang-undangan dan peraturan kebijakan. Mengenai peraturan perundang-undangan menurut penulis memiliki perbedaan dengan peraturan kebijakan.

Penulis mendasari pendapat diatas dengan meilhat kepada pendapat Van Kreveld dalam bukunya Beleidsregel in recht[6] yang mengemukakan bahwa peraturan kebijakan pada umumnya mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:

a. peraturan itu baik secara langsung atau tak langsung tidak disandarkan pada undang-undang dasar atau undang-undang.

b. Peraturan itu dapat:

1) tidak tertulis dan tidak terjadi oleh serangkaian keputusan instansi pemerintah yang berdiri sendiri dalam rangka menyelenggarakan kewenangan pemerintah yang tidak terikat.

2) Ditetapkan dengan tegas secara tertulis oleh suatu instansi pemerintah.

c. Peraturan itu pada umumnya menunjukkan bagaimana suatu instansi pemerintah akan bertindak dalam menyelenggarakan kewenangan pemerintah yang tidak terikat terhadap setiap orang dalam situasi sebagaimana dimaksud dalam peraturan itu.

Di dalam undang-undang No. 10 Tahun 2004, memang disebutkan tentang eksistensi peraturan perundang-undangan diluar hirarki peraturan perundang-undangan yang disebut di dalam undang-undang ini[7]. namun penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud di sini bukanlah peraturan kebijakan. Penulis menyandarkan pendapat ini kepada penjelasan pasal 4 Undang-undang No. 4 Tahun 2010, yaitu “jenis peraturan perundang-undangan selain dalam ketentuan ini, antara lain, peraturan yang dikeluarkan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Bank Indonesia, Menteri, Kepala Badan, Lembaga, atau Komisi yang setingkat yang dibentuk oleh undang-undang atau pemerintah atas perintah undang-undang, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Gubernur, Dewan Perwakilan Rakyat Kabupaten/ Kota, Bupati/ walikota, Kepala Desa atau yang setingkat.

Penulis menyimpulkan bahwa, ketentuan di atas tidak menyangkut peraturan kebijakan, dan intinya adalah, penulis menggaris bawahi bahwa peraturan kebijakan bukanlah aturan yang termaktub di dalam hirarki peraturan-perundang-undangan maupun peraturan lain berdasarkan Pasal 7 ayat 4 UU No. 10 Tahun 2004. Peraturan kebijakan adalah suatu aturan yang berdiri sendiri.

Peraturan kebijakan merupakan suatu ketentuan yang dikeluarkan oleh Pemerintah di luar peraturan perundang-undangan (diluar hirarki perundang-undangan). “Oleh Karena Freies Ermessen, termasuk beleidsregel, berada di ranah kebijakan administrasi (doelmatigheid) maka beleidsregel atau peraturan kebijaksanaan tidak tergolong peraturan perundang-undangan (algemene verbindede voorschriften), lebih-lebih bukan bagian peraturan perundang-undangan. Peraturan kebijaksanaan (beleidsregel) bukan berpaut rechmatig, tetapi doelmatig.” (Prof. Dr. HM. Laica Marzuki,SH)

Kebijakan Publik=Kebijaksanaan Publik?

Dalam beberapa pendapat para sarjana, ada banyak sarjana yang menyamakan antara kebijakan publik dengan kebijaksanaan publik. Menurut penulis, antara kebijakan publik dan kebijaksanaan publik sebenarnya memiliki perbedaan, dengan kata lain kebijakan publik dengan kebijaksanaan publik berbeda.

Istilah kebijakan bermakna perilaku atau tindakan yang mencerminkan kebajikan bagi setiap pribadi pejabat, sedangkan kebijaksanaan dalam pengertian hukum mempunyai makna sebagai tindakan yang mengarah pada tujuan sebagai pelaksanaan dari kekuasaan pejabat atau organ pemerintahan.

Penulis menyimpulkan bahwa kebijakan publik cenderung bertitik tolak kepada kebebasan bertindak dan mempertimbangkan langkah penyelesaian masalah publik oleh pemerintah yang tidak ada sumber hukum atau normanya kabur. Sedangkan kebijaksanaan sebenarnya hampir sama dengan kebijakan, namun harus ada suatu bentuk pelimpahan kewenangan (delegasi, atribusi, mandat) oleh suatu aturan perundang-undangan.

Dari Sistem Hukum Manakah Asal Freis Ermessen/ Kebijakan Publik?

Pemikiran atau konsepsi manusia merupakan anak zaman yang lahir dan berkembang dalam situasi kesejarahan dengan berbagai pengaruhnya. Pemikiran atau konsepsi manusia tentang Negara hukum juga lahir dan berkembang dalam situasi kesejarahan. Konsep Negara hukum secara historis dan praktis , konsep Negara hukum muncul dalam berbagai model seperti Negara hukum menurut Al-qur’an dan Sunnah atau nomokrasi Islam, Negara hukum menurut konsep eropa continental yang dinamakan rechstaat, Negara hukum menurut Konsep Anglo saxon (Rule of law), konsep socialist legality, dan konsep Negara hukum Pancasila[8]. Namun secara umum konsep Negara hukum dibagi atas Negara hukum rechstaat dan Negara hukum rule of law.

Konsep rechstaat muncul secara lebih eksplisit pada abad ke-19 oleh Friedrich Julius Stahl yang diilhami oleh Immanuel Kant. Menurut Stahl, unsur-unsur Negara hukum (rechstaat) adalah:

a. Perlindungan hak-hak asasi manusia

b. Pemisahan atau pembagian kekuasaan untuk menjamin hak-hak itu

c. Pemerintahan berdasarkan peraturan perundang-undangan

d. Peradilan administrasi dalam perselisihan[9].

Pada saat yang hampir bersamaan muncul pula konsep Negara hukum (rule of law) dari AV. Dicey, yang lahir dalam naungan sistem hukum anglo saxon. Dicey mengemukakan unsur-unsur rule of law sebagai berikut:

a. Supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of the law), yaitu tidak adanya kekuasaan sewenang-wenang (absence of arbitrary power), dalam arti bahwa seseorang hanya boleh dihukum kalau melanggar hukum

b. Kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law). Dalil ini berlaku baik untuk orang biasa maupun untuk pejabat

c. Terjaminnya hak-hak manusia oleh undang-undang (dinegara lain oleh undang-undang dasar) serta keputusan-keputusan pengadilan[10].

Kemudian timbul pertanyaan, dari manakah asal kebijakan publik jika ditinjau dari dua sistem hukum tersebut. Dalam hal ini penulis membaginya ke dalam dua teori, yaitu teori yang menyamakan antara kebijakan publik dengan kebijaksanaan publik, serta teori yang membedakan antara kebijakan publik dengan kebijaksanaan publik.

1. Teori Kebijakan Publik=Kebijaksanaan Publik

Berdasarkan teori ini, penulis memberikan suatu penjelasan tentang pandangan dari sistem hukum mana asal kebijakan publik. Sebagaimana diuraikan diatas tentang sistem hukum rule of law dan rechstaat, dapat digaris bawahi bahwa pada sistem hukum rechstaat bahwa pemerintah melakukan/ menjalankan fungsi dan wewenangnya berdasarkan aturan tertulis yang memang sudah ada, sedangkan sebaliknya, sistem hukum rule of law mengenal dan mengakui sistem hukum yang tidak tertulis.

Dari hal itu penulis menyimpulkan bahwa kebijakan publik satau kebijaksanaan publik (penyamaan) berasal dari sistem hukum rechstaat. Hal ini dikarenakan bahwa dalam pelaksaanan atau pengeluaran suatu produk peraturan kebijaksanaan harus memiliki pelimpahan kewenangan yang jelas oleh undang-undang, bentuknya bisa berupa distribusi, atribusi, dan mandat.

2. Teori Kebijakan Publik ≠ Kebijaksanaan Publik

Lain lagi halnya dengan teori yang menyatakan bahwa kebijakan publik berbeda dengan kebijaksanaan publik. Seperti yang telah dibahas di awal tentang perbedaan kedua hal ini yaitu: Istilah kebijakan bermakna perilaku atau tindakan yang mencerminkan kebajikan bagi setiap pribadi pejabat, sedangkan kebijaksanaan dalam pengertian hukum mempunyai makna sebagai tindakan yang mengarah pada tujuan sebagai pelaksanaan dari kekuasaan pejabat atau organ pemerintahan.

Dari pernyataan tersebut penulis menyimpulkan hal-hal sebagai berikut:

a. Kebijakan publik berasal dari sistem hukum rule of law, karena berdasarkan pemahaman ini kebijakan publik hanya merupakan prilaku moral pejabat publik dalam menyelesaikan atau mengambil solusi dalam pemecahan permasalahan publik yang sandaran hukumnya kosong, kabur, atau ambigu.

b. Kebijaksanaan publik berasal dari sistem hukum rechstaat, hal ini berdasarkan kepada pemahaman bahwa kebijaksanaan merupakan suatu pelaksanaan kewenangan dari pejabat publik yang kewenangan kebijaksanaannya diatur secara yuridis dalam bentuk distribusi, atribusi, dan mandat.



[1] A.G Subarsono, Analisis Kebijakan Publik, Konsep, Teori, dan Aplikasi, Pustaka Pelajar, Jakarta, 2009, hlm1.

[2] Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm 36.

[3] Thomas R dye, “Understanding Public Policy”, Prentice-Hall, New Jersey, Chapter I,1981, hlm. 1

[4] James E Anderson, “Public Policy Making”, Holt, Rinehart and Winston, New york, Chapter 1,2 dan 5, 1979, hlm 3.

[5] Abdul Latief, “Hukum dan Peraturan Kebijaksanaan (beleidsregel) pada Pemerintahan Daerah”, UII Press, Yogyakarta, 2005, hlm 86

[6] Ibid

[7] Pasal 7 Ayat 4 UU No. 10 Tahun 2004: Jenis peraturan perundang-undangan selain sebagaimana dimaksud pada ayat (1), diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

[8] Tahir, “Negara Hukum”, Bulan Bintang, Bandung, 1997, hlm. 63.

[9] Dikutip dari Miriam Budiardjo, “Dasar-dasar ilmu politik”, Gramedia, Jakarta, 1982, hlm 57-58, Philipus M. Hadjon, “Perlindungan Hukum Bagi Rakyat Indonesia”, Bina Ilmu, Surabaya, 1987, hlm 76-82

[10] Miriam Budiardjo, Ibid, hlm. 58