Ilustrasi: google.com
Filsafat Hukum dalam Kajian Aspek Ontologi, Epistomologi dan Aksiologi
”Kesengsaraan dunia tidak akan berakhir sebelum filsuf menjadi raja, dan raja-raja menjadi filsuf” - Plato
“…..Telah kutinggalkan kepadamu dua perkara agar kalian tidak sesat dunia dan akhirat,… (Kitabullah Al-Qur’an wa sunatulrasul)” - Nabi Muhammad SAW
1. Pemikiran Filsafat
Muara ilmu pengetahuan adalah filsafat ilmu (sciences of mother), demikian pula dalam ilmu hukum, bahwa ilmu hukum tidak dapat melepaskan diri dari ketiga kodrati besar yakni logika, etika dan estetika. Filsafat terhadap objek matrilnya; logika, etika dan estetika, yaitu akal untuk logika, budi untuk etika dan rasa untuk estetika. Socrates pernah berkata ; bahwa tugas filsafat bukan menjawab pertanyaan yang diajukan, melaikan mempersoalkan jawaban yang diberikan. Karenanya, penjelasan dalam filsafat meliputi ajaran ontologis (ajaran tentang hakekat), aksiologis (ajaran tentang nilai), ajaran epistimologis (ajaran tentang pengetahuan) serta ajaran teologis (ajaran tentang tujuan) untuk memperjelas secara mendalam sejauh dimungkinkan oleh pencapaian pengetahuan.
Sebelum kita masuk dalam cangkupan filsafat hukum dan objek materiil filsafat hukum, telah dikatakan bahwa setiap objek matriil dari suatu disiplin ilmu pengetahuan bisa saja sama dengan objek matriil ilmu pengetahuan lain, sehingga pokok bahasannya saling bertumpang-tindih (covergency). Oleh karenanya terhadap filsafat hukum; ilmu hukum pidana, hukum acara pidana, hukum perdata, hukum acara perdata, hukum tata usaha negara, hukum administrasi negara, disamping yang lainnya, sama-sama membahas hukum sebagai objek matrilnya juga selalu bertumpang tindih oleh sebab itu disebut juga sebagai ilmu-ilmu hukum. Berkenaan dengan itu, Satjipto Rahadjo (1982 : 321) memberikan penjelasan tentang pengertian filsafat hukum terhadap objeknya yakni ; filsafat hukum itu mempersoalkan pertanyaan-pertanyaan yang bersifat mendasar dari hukum. Gustav Radbruch (1952) merumuskannya dengan sederhana, yaitu bahwa filsafat hukum itu adalah cabang filsafat yang mempelajari hukum yang benar, sedangkan Langemeyer (1948) menyatakan pembahasan secara filosofis tentang hukum. Dengan demikian pengertian filsafat hukum pada tataran ontologi, epistimologi dan aksiologi, bahwa filsafat hukum bertujuan untuk mempelajari bagaimana filsafat digunakan untuk menemukan hukum secara hakiki.
2. Ontologi Filsafat Hukum
Sebelum kita masuk pada cangkupan dan kajian aspek ontologi filsafat hukum, maka kita perlu meletakan fungsi ontologi. Ajaran ontologi dalam filsafat ilmu, tidak membatasi jangkauannya hanya pada suatu wujud tertentu. Penelusuran ontologi mengkaji apa yang merupakan keseluruhan yang ada secara objektif ditangkap oleh panca indra, yaitu pada taraf metafisika akan mengkaji dan membicarakan problem watak yang sangat mendasar dari benda atau realitas yang ada dibelakang pengalaman yang langsung secara koperhensif, oleh karena itu, ontologi akan mencari dan mengkaji serta membicarakan watak realitas tertinggi (hakekat) atau wujud (being). Noeng Muhajir berpandangan bahwa objek telaah ontologi adalah yang ada tidak terikat pada sesuatu perwujudan tertentu, ontologi membahas tentang yang ada secara universal, yaitu berusaha mencari inti yang dimuat setiap kenyataan yang meliputi segala realitas dalam semua bentuknya. Dengan demikian dapat dipahami bahwa titik tolak kajian ontologi dalam filsafat ilmu akan mempersoalkan; apa objeknya, bagaimana hakekat dari keberadaan (wujud) objek tersebut, serta bagaimana perhubungan objeknya terhadap jangkauan penalaran (pikiran) dan deteksi panca indara manusia.
Aspek Ontologi Filsafat Hukum, berusaha untuk menemukan objeknya, bagaiman kita dapat memahami wujud hukum yang sesungguhnya (makna tertinggi), sementara kita hanya mempersoalkan bahwa hukum harus “begini” dan hukum harus “begitu”, tanpa melihat apa sesungguhnya dari objek hukum itu sendiri. Dengan kata lain, filsafat hukum adalah ilmu yang mempelajari hukum secara filosofis. Demikian pula menurut Abdul Ghafur Anshori bahwa objek filsafat hukum adalah hukum, dan objek tersebut dikaji secara mendalam sampai pada inti atau dasarnya, yang disebut sebagai hakikat. Mengingat objek filsafat hukum adalah hukum, maka permasalahan dan pertanyaan yang dibahas oleh filsafat hukum itupun antara lain berkisar pada apa yang telah diuraikan diatas, seperti hubungan hukum dengan kekuasaan, hubungan hukum kodrat dan hukum positif, apa sebab orang mentati hukum, apa tujuan hukum, sampai pada masalah-masalah filsafat hukum yang ramai dibicarakan saat ini oleh sebahagian orang disebut sebagai masalah filsafat hukum kontemporer meskipun itu belum tentu benar, oleh karena masalah tersebut jauh sejak dulu telah diperbincangkan…. Para filsuf terdahulu menjadikan tujuan hukum sebagai objek dalam kajian filsafat hukum. Objek pembahasan filsafat hukum bukan hanya tujuan hukum, melainkan masalah hukum yang mendasar sifatnya yang muncul didalam masyarakat yang memerluka suatu pemecahan, karena perkembangan filsafat hukum saat ini bukan lagi filsafat hukum para fisuf zaman yunani dan romawi. Pemikiran filsafat hukum selalu berupaya dinamis menembus permsalahan yang bersinggungan hukum, dan secara terus menerus mencari jawaban debalik apa yang telah tertuntaskan (ultimate). Pandangan fisafat hukum juga tidak secara langsung mempersoalkan hukum positif sebagai objek yang inti. Adalah Gustav Radbruch dengan tesis “Tiga Nilai Dasar Hukum”, yaitu Keadilan, Kegunaan dan Kepastian Hukum Oleh karena filsafat hukum secara ontologi bekerja diluar jangkauan yang mengikat. Ontologi filsafat hukum, pada prinsipntnya tidak hanya melihat hukum sebagai objeknya melainkan segala pola perilaku manusia, dasar dimana timbal balik hak dan kewajiban (manusia) berperan, serta hubungan timbal balik antara manusia dengan alam sekitarnya yang berkemungkinan bersentuhan (perlindungan) dengan kewajiban negara, pemerintah dan masyarakat. Menurut hemat kami, bahwa yang dimaksudkan dengan objek filsafat hukum yaitu, hak dan kewajiban, keadilan, perlindungan/pencegahan.
3. Epistimologi Filsafat Hukum
Pada tataran epistimologi dalam filsafat ilmu, akan mempersoalkan bagaimana segala sesuatu itu ada (datang), bagaimana kita dapat memahaminya, dan bagaimana kita dapat mengklasifikasi eksistensi setiap objek berdasarkan ruang dan waktunya. Epistimologi filsafat hukum, merupakan landasan dimana kita melakukan suatu proses penemuan pengetahuan logika, etika dan estetika, menjadi suatu kebenaran ilmiah.
Epostimologi dalam filsafat hukum, akan mempersoalkan darimana unsur-unsur hukum itu datang (ada), selanjutnya bagaimana orang dapat memperoleh pengetahuan hukum dan bagaimana orang dapat merumuskan tentang struktur pengetahuan tentang ilmu-ilmu hukum. Untuk ilmu pengetahuan hukum, lahirlah pertanyaan mendasar yakni, untuk apa penggunaan hukum, apa batasan wewenang penelitian (jangkauan) hukum dan bagaimana hukum raharus diarahkan, serta bagaimana kita dapat memperoleh jaminan-jaminan hak dan kewajiban hukum pada taraf yang wajar.
Sebagai suatu sistem ajaran, maka disiplin ilmu hukum mencangkup antara lain; pertama, ajaran yang menentukan apa yang seyogianya atau seharusnya dilakukan, (preskriptif), dan yang kedua, yang senyatanya dilakuakan (deskriptif) didalam hidup. Sedangkan unsur-unsur hukum mencangkup unsur-unsur idiil serta unsur-unsur riil. Epistimologi filsafat hukum berusaha membuat “dunia etis yang menjadi latar belakan yang tidak dapat diubah oleh panca indra”, sehingga filsafat hukum (pada tataran epistimologinya), menjadi suatu ilmu normatif , seperti halnya dengan ilmu politik hukum,….
Aspek epistimologi dalam filsafat hukum, berusaha untuk menyatakan bahwa unsu-unsur hukum merupakan objek pengetahuan ilmu hukum yang senantiasa titeliti perkembangan dan persesuaiannya terhadap kondisi ruang dan waktunya dimana hukum diberlakukan serta segala sesuatu yang dapat mempengaruhi hubungan-hubungan hukum.
4. Aksiologi Filsafat Hukum
Yang menjadi objek kajian filsafat pada tataran aksiologi adalah bagaimana manusia dalam penerapan pengetahuan itu, dapat mengklasifikasinya, tujuan pengetahuan dan perkembangannya. Pada taraf tertinggi, aksilogi filsafat hukum akan mempersoalkan bagaiman hukum itu berfungsi secara ideal. Nilai, azas dan norma (azas objektif hukum yang bersifat moral, Azas objektif hukum yang bersifat Rasional, dan Azas subjektif hukum yang bersifat Moral dan Rasional) yang merupakan unsur-unsur hukum. Pengertian azas hukum adalah prinsip-prinsip yang dianggap dasar atau fundamen hukum atau pengertian dan nilai-nilai yang menjadi titik tolak pembentukan undang-undang dan interpretasi undang-undang atau prinsip-prinsip yang merupakan kedudukannya yang lebih tinggi dari pada hukum yang ditentukan manusia. Aksiologi filsafat hukum pada kebanyakan (masyarakat) umumnya dikenal dengan peranan hukum, dimana dasar keadilan dan kepastian hukum menjadi pilar yang seyogianya ditopang dengan segenap keseimbangan hukum. Tidak bermaksud untuk memadukan antara aksiologi filsafat hukum dan penemuan hukum, namun pada kausalitasnya penerapan hukum, unsur-unsur penemuan hukum merupakan kosekwesi dari penerapan hukum secara empirik. Sudikno Mortokusumo berpandangan bahwa, jikalau mencari hukumnya, arti sebuah kata maka dicari terlebih dahulu dalam undang-undang, karena undang-undang bersifat autentik, berbentuk tertulis, dan menjamin kepastian hukum. Nilai (value) merupakan salah satu cabang filsafat yaitu axiologi (filsafat nilai). Nilai biasanya digunakan untuk menunjukan kata benda yang abstrak yang dapat dinyatakan sebagga keberhargaan (worth) atau kebaikan (goodness). Demikian pula, Bahanuddin Salam menyatakan bahwa, melalui teori pengetahuan kita sudah sampai pada teori nilai yaitu teori yang menyelidiki proses dan isi penilaian yaitu proses-proses yang mendahului, mengiringkan malahan menentukan semua kelakuan manusia.
Oleh karena, hukum dalam tataran aksiologi filsafat hukum pada fase ketiga tahapan pembedahan hukum (Fungsi Filsafat Hukum) maka, keadilan hukum, kepastian hukum, jaminan hak dan kewajiban serta hubungan-hubungan hukum merupakan ruang bersekutunya unsur-unsur hukum, yang menjadi alasan objektif ke-dinamisasian hukum itu berproses.
5. Kesimpulan
Pada prinsipnya, filsafat hukum merupakan variabel utama disamping ilmu-ilmu terapan dalam ilmu hukum, bahkan dikatakan filsafat hukum adalah gerbang masuk dalam arena pengkajian ilmu-ilmu hukum. Terhadap Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi Filsafat Hukum, secara umum adalah sama objeknya namun secara hakekat bahwa, ternyata ketiga unsur filsafat ilmu ini, (Ontologi, Epistimologi dan Aksiologi ) dalam filsafat hukum memiliki substansi yang berbeda pula, sehingga kita perlu mempelajari filasafat hukum.
Filsafat hukum dalam perannya akan melahirkan hubungan teori-teori hukum. Misalnya hubungan hukum dengan teori hukum, jika teori hukum mewujudkan sebuah meta teori berkenaan dengan Dokmatika Hukum, maka filsafat hukum memenuhi fungsi dari sebuah meta disiplin berkenaan dengn teori hukum. Secara struktur teori hukum terhubungkan pada filsafat hukum dengan cara yang sama seperti Dogmatika hukum terhadap teori hukum. Filsafat hukum merupakan sebuah meta disiplin berkenaan dengan teori hukum. Filsafat hukum sebagai ajaran nilai dari teori hukum dan filsafat hukum sebagai ajaran ilmu dari teori hukum.
Filsafat sebagai ajaran ilmu dari teori hukum dan sebagai ajaran pengetahuan mewujudkan sebuah meta disiplin berkenaan dengan teori hukum tidak memerlukan penjelasan lebih jauh mengingat filsafat hukum disini mengambil sdari kegiatan-kegiatan dari teori hukum itu sendiri sebagai objek studi.
***
Hasan Madilis SH
Dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Maluku Utara,
Sedang kuliah S2 Ilmu Hukum Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto dengan konsentrasi Sistem Peradilan Pidana.
Email : hasanmadilis78@yahoo.com. Kontak person: 085310321318
Tulisan ini juga di muat di www.gagasanhukum.woedpress.com