Showing posts with label Keperdataan. Show all posts
Showing posts with label Keperdataan. Show all posts

Undang--undang no. 1 tahun 1974 dan masalah perkawinan di bawah umur - Oleh Johni Najwan

Wednesday, March 9, 2011

Undang--undang no. 1 tahun 1974 dan masalah perkawinan di bawah umur : Studi kasus tentang perkawinan di bawah umur di Kotamadya Jambi*)

Oleh
Johni Najwan**)  

Abstrak

Perkawinan sangat penting artinya dalam kehidupan manusia, baik sebagai perseorangan maupun kelompok. Dengan perkawinan yang sah, pergaulan laki-laki dan perempuan menjadi lebih terhormat sesuai dengan kedudukan manusia sebagai makhluk yang mulia diantara makhluk Allah. Selain itu, melalui perkawinan kehidupan rumah tangga juga dapat dibina dalam suasana yang lebih harmonis. Selanjutnya, keturunan dari perkawinan yang sah itupun, Juga akan menghiasi kehidupan keluarga dan sekaligus merupakan kelangsungan hidup manusia secara mulia pula. Oleh karena itu, pada tempatnyalah apabila Undang-undang Perkawinan Nomor I Tahun 1974, mengatur masalah perkawinan ini dengan sangat teliti dan terperinci, untuk membawa umat manusia menuiu kehidupan yang lebih baik.

Undang-undang ini menganut prinsip, bahwa calon suami isteri harus telah masak jiwa raganya untuk dapat melangsungkan perkawinan, agar dapat mewujudkan tujuan perkawinan secara baik, dan tanpa berakhir dengan perceraian, serta mendapat keturunan yang baik dan sehat pula.

Di samping itu, perkawinan juga mempunyai hubungan dengan masalah kependudukan. Karena pada kenyataannya, batas umur yang lebih rendah bagi seseorang untuk melangsungkan perkawinan, mengakibatkan laju kelahiran lebih tinggi, Jika dibandingkan dengan batas umur yang lebih tinggi bagi seseorang untuk dapat melangsungkan perkawinan. Berhubung dengan itu, Undang-undang ini menentukan batas umur untuk kawin bagi seseorang, yakni 19 tahun bagi pria dan 16 tahun bagi wanita. Penentuan batas umur minimal untuk melangsungkan perkawinan tersebut adalah sangat penting. Karena suatu perkawinan di samping menghendaki kematangan biologis juga psikologls.

Waleupun Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, sudah hampir 20 tahun diberlakukan secara efektif, namun pelanggaran terhadap undang-undang ini, bukan berarti tidak ada. Malahan cukup banyak dan bervariasi, baik secara nyata maupun tidak nyata, di antaranya ialh perkawinan di bawah umur.

Sehubungan dengan itu, karena perkawinan merupakan salah satu aspek syari'at agama, yang telah berurat dan berakar, Serta telah melembaga pula dalam tata kehidupan masyarakat Indonesia, maka masalah pelanggaran terhadap Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 ini, perlu mendapat perhatian khusus, baik oleh instansi yang terkait 1angsung, maupun oleh masyarakat pada umumnya.

***
 *)  Tulisan ini adalah Tesis penulis pada Program Pasca Sarjana Universitas Indonesia.
**)  Prof. Johni Najwan, SH., MH., Ph.D - sekarang Guru Besar di Fakultas Hukum Universitas Jambi dan sebagai Ketua Program Magister Ilmu Hukum pada Pasca Sarjana Universitas Jambi.


Berikut ini adalah teks dari Karya Ilmiah selengkapnya.

Sumber: Digital Library Universitas Indonesia

DIMENSI PERTANGGUNGJAWABAN ANAK MENURUT KONSITUSI

Thursday, March 3, 2011

Musri Nauli *


Beberapa waktu yang lalu, kita dikabarkan dengan berita gempar ditemukan meninggalnya seorang anak yang masih balita (bawah umur lima tahun) korban berinisial Mz. Didalam proses penyidikan, kemudian pihak kepolisian berhasil membongkar sebab kematian dari Mz. Seorang pelaku yang kemudian dikenal dengan nama si AF mengaku melakukan perbuatan “tidak senonoh” terhadap korban. Perbuatan Si AF yang melakukan perbuatan “tidak senonoh” terhadap korban disebabkan setelah pelaku menonton video “ariel Peterpan” dari rekaman HP.

Didalam keterangan Si AF dengan lugas menerangkan Si AF telah melakukan perbuatan perbuatan cabul yang kemudian melaporkan kepada orang tua SI AF. SI AF melakukan perbuatan cabul dan membekap mulut korban dengna menggunakan kaos dan tangan pelaku. Pelaku kemudian pergi meninggalkan korban MZ. Si AF kemudian memberitahu Ayah pelaku. Ayah pelaku yang berinisial Mr kemudian menuju ke tempat ditinggalkanya korban MZ, menggendongnya dan kemudian membawa ke pondok tempat tinggalnya. Ayahnya memandikannya dan membawa ke tepi sungai. Sebelum di lemparkan ke sungai, sempat mengatakan “maaf, nak. Aku ini lakukan membuang balak”.

Ayah pelaku menyatakan ketika Korban MZ ditinggalkan pelaku, korban masih hidup. Ini ditandai dengan fakta bahwa ketika sedang dimandikan, “masih ada nafasnya”. Bahkan ketika hendak dibawa dari pondok menuju sungai, ayah pelaku menyatakan, masih ada denyut nadinya dengan perkataan “masih ada nyawanya”.

Didalam persidangan, kemudian dapat dibuktikan, terhadap matinya korban bukan disebabkan dari tindakan pelaku. Matinya “korban” akibat penganiayaan disebabkan dari tindakan dari ayah pelaku. Bukan dari akibat penganiayaan dari pelaku.

Jaksa kemudian mendakwakan pelaku dengna penerapan pasal 80, Pasal 81, Pasal 82 dan Pasal 83 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

Problem mulai muncul. Problema pertama, Si AF yang masih berusia 11 tahun dapat diterapkan hukum pidana ? Sedangkan problem kedua, apakah Si AF telah melakukan perbuatan pembunuhan terhadap MZ.

Putusan Pengadilan Negeri Muara Tebo kemudian memutuskan bahwa menyerahkan Si AF kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja yang waktunya selama 3 (tiga) tahun.

Pertanggungjawaban Anak

Putusan Pengadilan Negeri Muara Tebo yang memutuskan “menyerahkan pelaku kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan dan latihan kerja yang waktunya selama 3 (tiga) tahun” merupakan tujuan daripada Pengadilan Anak lebih diutamakan kepada pembinaan dan perlindungan anak. Hakekat ini yang harus dipahami sebagai perbedaan yang mendasar sebagaimana diatur didalam pasal 10 KUHP. Putusan ini berbeda dengan pertimbangan yang disampaikan oleh Jaksa Penuntut Umum yang tidak didasarkan kepada ketentuan didalam UU No. 3 Tahun 1997.

Didalam pasal 22 UU No. 3 Tahun 1997 telah dijelaskan Terhadap Anak Nakal hanya dapat dijatuhkan pidana atau tindakan yang ditentukan dalam Undang-undang ini”. Didalam pasal 22 telah diterangkan bahwa putusan Pengadilan Negeri “anak nakal hanya dapat dijatuhkan pidana” ATAU “tindakan yang ditentukan dalam UU. Dengan menggunakan frase kata “atau”, maka dapat dilakukan “tindakan yang ditentukan dalam UU. Sedangkan didalam pasal 24 diterangkan “Pasal 24 (1) Tindakan yang dapat dijatuhkan kepada Anak Nakal ialah : (a) mengembalikan kepada orang tua, wali, atau orang tua asuh; (b) menyerahkan kepada negara untuk mengikuti pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja; atau; (c) menyerahkan kepada Departemen Sosial, atau Organisasi Sosial Kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja. (2) Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat disertai dengan teguran dan syarat tambahan yang ditetapkan oleh Hakim.

Sedangkan frase kata “anak nakal” dapat kita lihat didalam pasal 1 ayat (2) huruf a. UU No. 3 Tahun 1997.

Dengan menggunakan ketentuan pasal 22, pasal 22, pasal 25 ayat (1) UU No. 3 Tahun 1997, maka perkara ini tidak dapat menjatuhkan putusan pidana pokok sebagaimana diatur didalam pasal 10 KUHP. Dalil sesuai dengan ketentuan pasal 26 ayat (4) dinyatakan Apabila Anak Nakal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 2 huruf a, belum mencapai umur 12 (dua belas) tahun melakukan tindak pidana yang tidak diancam pidana mati atau tidak diancam pidana penjara seumur hidup, maka terhadap Anak Nakal tersebut dijatuhkan salah satu tindakan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24.

Konstitusi dan Pertanggungjawaban anak

Dengan memahami alur dari putusan Pengadilan Negeri Muara Tebo, maka konstruksi hukum yang dibangun oleh MK dalam putusan PUTUSAN Nomor 1/PUU-VIII/2010 yang diajukan oleh Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Yayasan Pusat Kajian dan Perlindungan Anak Medan.

Didalam pertimbangannya, MK kemudian merumuskan penetapan usia minimal 12 (dua belas) tahun sebagai ambang batas usia pertanggungjawaban hukum bagi anak telah diterima dalam praktik sebagian negara-negara sebagaimana juga direkomendasikan oleh Komite Hak Anak PBB dalam General Comment, 10 Februari 2007. Dengan batasan usia 12 (dua belas) tahun maka telah sesuai dengan ketentuan tentang pidana yang dapat dijatuhkan kepada anak dalam Pasal 26 ayat (3) dan ayat (4) UU Pengadilan Anak.

Penetapan batas umur tersebut juga dengan mempertimbangkan bahwa anak secara relatif sudah memiliki kecerdasan emosional, mental, dan intelektual yang stabil serta sesuai dengan psikologi anak dan budaya bangsa Indonesia, sehingga dapat bertanggung jawab secara hukum karena telah mengetahui hak dan kewajibannya. MK berpendapat, batas umur minimal 12 (dua belas) tahun lebih menjamin hak anak untuk tumbuh berkembang dan mendapatkan perlindungan sebagaimana dijamin dalam Pasal 28B ayat (2) UUD 1945.

Dengan demikian, frasa sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun dalam Pasal 4 ayat (1) UU Pengadilan Anak dan frasa belum mencapai umur 8 (delapan) tahun dalam Pasal 5 ayat (1) UU Pengadilan Anak adalah inkonstitusional bersyarat, artinya inkonstitusional kecuali harus dimaknai telah mencapai usia 12 (dua belas) tahun sebagai ambang batas minimum pertanggungjawaban pidana.

Dengan perubahan batasan usia minimal pertanggungjawaban hukum bagi anak adalah 12 (dua belas) tahun maka menurut MK hal tersebut membawa implikasi hukum terhadap batas umur minimum (minimum age floor) bagi Anak Nakal (deliquent child) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat (1) UU Pengadilan Anak yang menyatakan, “Anak adalah orang yang dalam perkara Anak Nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum pernah kawin”

Pertimbangan MK inilah yang dapat kita saksikan pada pemeriksaan pelaku dimuka persidangan. Selama didalam persidangan, terdakwa tidak memahami yang disampaikan kepada terdakwa. Apabila selalu ditanyakan, apakah terdakwa mengerti apa yang disampaikan, terdakwa selalu mengatakan mengerti. Pernyataan “mengerti” selain didasarkan “mengerti apa yang terjadi”, maka tidak mampu mengetahui dengan konsekwensi dari perbuatan terdakwa.

Selama persidangan, terdakwa tidak merasa bersalah. Selain karena kemampuannya masih dibawah usia dewasa, terdakwa sering kali senyum-senyum sendiri. Dengan demikian, terlepas dari pertanggungjawaban pidana, maka sudah semestinya, pemidanaan sebagaimana diatur didalam pasal 10 KUHP tidak tepat diperlakukan sehingga harus merujuk ketentuan sebagaimana diatur didalam UU No. 3 Tahun 1997.

Putusan MK sekali lagi membuktikan, MK telah menjalankan amanat konstitusi dan menjaga berbagai peraturan perundang-undangan agar sesuai dengan tafsir konstitusi sebagaimana dirumuskan didalam UUD 1945.


Advokat, Tinggal di Jambi

PERTANGGUNGJAWABAN HUKUM PERAWAT DALAM PENYELENGGARAAN PELAYANAN KESEHATAN

Thursday, December 23, 2010

Arrie Budhiartie,S.H.,M.Hum
(Dosen Hukum Kesehatan Fakultas Hukum Universitas Jambi)
A. Pengantar
Perawat merupakan aspek penting dalam pembangunan kesehatan Perawat merupakan salah satu tenaga kesehatan yang diatur dalam PP No. 32 Tahun 1996 tentang Tenaga Kesehatan. Bahkan dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, tenaga perawat merupakan jenis tenaga kesehatan terbesar yang dalam kesehariannya selalu berhubungan langsung dengan pasien dan tenaga kesehatan lainnya. Namun di dalam menjalankan tugasnya tak jarang perawat bersinggungan dengan masalah hukum. Bahkan profesi perawat sangat rentan dengan kasus hukum seperti gugatan malpraktik sebagai akibat kesalahan yang dilakukannya dalam pelayanan kesehatan. Terlebih lagi bahwa perawat bukan lagi sekedar tenaga kesehatan yang pasif. Bahkan di New York sejak tahun 1985 melalui suatu kepeutusan Pengadilan Tinggi diakui bahwa perawat bukan lagi menjadi petugas kesehatan yang pasif, tetapi penyedia jasa perawatan kesehatan yang desisif dan asertif.
Dalam lingkup modern dan pandangan baru itu, selain adanya perubahan status yuridis dari “perpanjangan tangan” menjadi “kemitraan” atau “kemandirian”, seorang perawat juga telah dianggap bertanggung jawab hukum untuk malpraktik keperawatan yang dilakukannya, berdasarkan standar profesi yang berlaku. Dalam hal ini dibedakan tanggung jawab untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian, yakni dalam bentuk malpraktik medik (yang dilakukan oleh dokter) dan malpraktik keperawatan.
Menurut hasil lokakarya Keperawatan Nasional Tahun 1983, Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan, berbentuk pelayanan bio-psiko-sosio-spiritual yang komprehensif, ditujukan kepada individu, keluarga, dan masyarakat baik, yang sakit maupun sehat yang mencakup seluruh siklus hidup manusia. Sementara pengertian perawat dalam Permenkes No. HK.02.02/MENKES/148/2010 adalah seseorang yang telah lulus pendidikan perawat baik di dalam maupun di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
B. Fungsi, Peran, dan Kewenangan Perawat.
Dalam praktik keperawatan, fungsi perawat terdiri dari tiga yakni fungsi independent, fungsi interdependen, dan fungsi dependen[2].
1. Fungsi Independen adalah those activities that are considered to be within nursing’s scope of diagnosos and treatment. Dalam fungsi ini tindakan perawat tidak membutuhkan perintah dokter.Dalam hukum administrasi negara, fungsi independen ini merupakan kewenangan yang bersifat atribusi dalam asrti kewenangan perawat untuk melakukan suatu tindakan keperawatan berdasarkan kewenangan yang diperoleh dari undang-undang atau perundang-undangan. Dalam hal ini diatur dalam Permenkes No. HK.02.02/MENKES/148/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat Pasal 8, Pasal 9 dan Pasal 10.
Contoh tindakan perawat dala fungsi independen adalah:
a. pengkajian seluruh kejarah kesehatan pasien/keluarganya dan menguji secara fisik untuk menentukan status kesehatan
b. mengidentifikasi tindakan keperawatan mungkin dilakukan untuk memelihara atau memperbaiki kesehatan
c. membantu pasien dalam melakukan kegiatan sehari-hari
d. mendorong pasien untuk berperilaku secara wajar.
2. Fungsi Interdependen adalah carried out in conjunction with other health team members. Tindakan perawat yang berdasarkan pada kerja sama dengan tim perawatan atau tim kesehatan. Kewenangan yang dimiliki dalam menjalankan fungsi ini disebut sebagai kewenangan delegasi karena diperoleh karena adanya suatu pendelegasian tugas dari dokter kepada perawat.
3. Fungsi Dependen adalah the activities performed based on the physician’s order. Di sini perawat bertindak membantu dokter dalam memberikan pelayanan medik, memberikan pelayanan pengobatan, dan tindakan khusus yang menjadi wewenang dokter yang seharusnya dilakukan oleh dokter seperti pemasangan infus, pemberian obat, melakukan suntukan dan sebagainya. Kewenangan di dalam fungsi ini adalah bentuk kewenangan yang diperoleh karena mandat. Dalam arti perawat melakukan suatu tugas karena adanya pemberian mandat dari dokter.
Menurut dr.Sofwan Dahlan, SpPF(K)[3], seorang pakar hukum kesehatan dari Unika Soegiyopranoto Semarang menyebutkan bahwa tindakan perawat yang bekerja di RS dapat dibagi menjadi:
1. Caring activities semua tindakan keperawatan yang memang menjadi tanggungjawab perawat & oleh karenanya perawat yang bersangkutan bertanggung jawab secara hukum terhadap tindakan tersebut; meliputi keputusan (decision) yang dibuatnya serta pelaksanaan (execution) dari keputusan tersebut
2. Technical activities adalah semua tindakan keperawatan dimana perawat hanya bertanggung jawab secara hukum terhadap pelaksanaan (execution) dari suatu keputusan (decision) yang dibuat oleh dokter. Termasuk technical activities antara lain:
- Aktivitas yang dilakukan atas perintah tertulis dokter.
- Aktivitas yang dilakukan atas perintah lisan dokter.
- Aktivitas yang dilakukan berdasarkan aturan (protap) yang telah dibuat.
- Aktivitas yang dilakukan dengan syarat ada dokter di RS yang dapat hadir segera.
- Aktivitas-aktivitas tertentu di tempat-tempat tertentu yang telah ditetapkan.
- Aktivitas tertentu yang tidak memerlukan persyaratan khusus.
3. Delegated medical activities adalah adalah suatu tindakan yang menjadi bagian dari kewenangan medik, tetapi telah didelegasikan kepada perawat.


Dilihat dari peran perawat, maka secara garis besar perawat mempunyai peran sebagai berikut:
1. Peran perawatan (caring role/independent)
2. peran koordinatif (coordinative role/interdependent)
3. Peran Terapeutik (therapeutik role/dependent)
Peran perawatan dan peran koordinatif adalah tanggung jawab yang mandiri, sementara tanggung jawab terapeutik adalah mendampingi atau membantu dokter dalam pelaksanaan tugas kedokteran, yaitu diagnosis, terapi, maupun tindakan-tindakan medis.
Tugas pokok perawat apabila bekerja di RS adalah memberikan pelayanan berbagai perawatan paripurna. Oleh karena itu tanggung jawab perawat harus dilihat dari peran perawat di atas. Dalam peran perawatan dan koordinatif, perawat mempunyai tanggung jawab yang mandiri. Sementara peran terapeutik disebutkan bahwa dalam keadaan tertentu beberapa kegiatan diagnostik dan tindakan medik dapat dilimpahkan untuk dilaksanakan oleh perawat. Dalam hal ini perlu diperhatikan bahwa tanggung jawab utama tetap pada dokter yang memberikan tuigas. Sedangkan perawat mempunyai tanggung jawab pelaksana. Pelimpahan hanya dapat dilaksanakan setelah perawat tersebut mendapat pendidikan dan kompetensi yang cukup untuk menerima pelimpahan. Pelimpahan jangka panjang atau terus menerus dapat diberikan kepada perawat kesehatan dengan kemahiran khusus, yang diatur dengan peraturan tersendiri (standing order).
Berdasarkan uraian di atas maka perlu adanya pengaturan tentang pelimpahan tugas yang sesuai dengan keahlian perawat, misalnya perawat khusus gawat darurat, perawat pasien gangguan jiwa, perawat bedah, dan seterusnya. Dalam peran terapeutik maka berlaku verlengle arm van de arts/prolonge arm/extended role doctrine (doktrin perpanjangan tangan dokter). Tanpa delegasi atau pelimpahan, perawat tidak diperbolehkan mengambil inisiatif sendiri, yang berarti:
1. Dokter secara moral maupun yuridis bertanggungjawab atas tindakan-tindakan perawat yang dilakukan berdasarkan perintah dokter
2. Dokter harus mengamati tindakan-tindakan yang dilakukan perawat dan harus menjamin bahwa apa yang dilakukan perawat adalah benar
3. Dokter harus mampu memberikan petunjuk apabila perawat melakukan kesalahan, dan
4. Perawat dapat menolak melaksanakan perintah bila dirasa bahwa dirinya tidak kompeten untuk melakukan tindakan tersebut.
Wewenang dalam melaksanakan praktik keperawatan diatur dalam Permenkes No. HK.02.02/MENKES/148/I/2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Perawat. Praktik keperawatan dilaksankan melalui kegiatan:
1. pelaksanaan asuhan keperawatan
2. pelaksanaan upaya promotif, preventif, pemulihan dan pemberdayaan masyarakat
3. pelaksanaan tindakan keperawatan komplementer
Asuhan keperawatan meliputi pengkajian, penetapan diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi, dan evaluasi keperawatan meliputi penerapan, perencanaan dan pelaksanaan tindakan keperawatan. Sementara tindakan keperawatan meliputi prosedur keperawatan, observasi keperawatan, pendidikan dan konseling kesehatan. Dalam Permenkes No. 148 Tahun 2010 tersebut terdapat kejelasan wewenang dalam memberikan obat kepada pasien. Bahwa dalam perawat menjalankan asuhan keperawatan dapat memberikan obat bebas dan/atau obat bebas terbatas.


C. Pertanggungjawaban Perawat
Pertanggungjawaban perawat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan dapat dilihat berdasarkan tiga (3) bentuk pembidangan hukum yakni pertanggungjawaban secara hukum keperdataan, hukum pidana dan hukum administrasi.
1. Pertanggungjawaban Hukum Perdata
Gugatan keperdataan terhadap perawat bersumber pada dua bentuk yakni perbuatan melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata dan perbuatan wanprestasi (contractual liability) sesuai dengan ketentuan Pasal 1239 KUHPerdata. Dan Pertanggungjawaban perawat bila dilihat dari ketentuan dalam KUHPerdata maka dapat dikatagorikan ke dalam 4 (empat) prinsip sebagai berkut:
a. Pertanggungjawaban langsung dan mandiri (personal liability) berdasarkan Pasal 1365 BW dan Pasal 1366 BW “Setiap tindakan yang menimbulkan kerugian atas diri orang lain berarti orang yang melakukannya harus membayar kompensasi sebagai pertanggungjawaban kerugian dan seseorang harus bertanggungjawab tidak hanya karena kerugian yang dilakukannya dengan sengaja, tetapi juga karena kelalaian atau kurang berhati-hati”
Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka seorang perawat yang melakukan kesalahan dalam menjalankan fungsi independennya yang mengakibatkan kerugian pada pasien maka ia wajib memikul tanggungjawabnya secara mandiri.
Dilihat dari ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata di atas maka pertanggungjawaban perawat tersebut lahir apabila memenuhi empat unsur yakni:
1) Perbuatan itu melanggar hukum
2) Ada kesalahan
3) Pasien harus mengalami suatu kerugian
4) Ada hubungan kausal antara kesalahan dengan kerugian
Mengenai apa yang dimaksud dengan perbuatan melanggar hukum, undang-undang tidak memberikan perumusannya. Namun sesuai dengan yurisprudensi Arrest Hoge Raad 31 Januari 1919[4] ditetapakn adanya empat kriteria perbuatan melanggar hukum yaitu:
1) perbuatan itu bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku
2) perbuatan itu melanggar hak orang lain
3) perbuatan itu melanggar kaedah tata susia
4) perbuatan itu bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian serta sikap hati-hati yang seharusnya dimiliki seseorang dalam pergaulan dengan sesama warga masyarakat atau terhadap harta benda orang lain.
Dengan demikian bila dilihat dari konsep hukum keperawatan maka pelanggaran terhadap penghormatan hak-hak pasien yang menjadi salah satu kewajiban hukum perawat dapat dimasukkan ke dalam perbuatan melanggar hukum. Pelanggaran tersebut misalnya tidak memberikan menjaga kerahasiaan medik pasien. Dan apabila pasien atau kelaurganya menganggap perawat telah dirugikan oleh perbuatan perawat yang melanggar hukum tersbut maka pasien/keluarganya dapat mengajukan gugatan tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan Pasal 58 UU No. 36 Tahun 2009.
b. Pertanggungjawaban dengan asas respondeat superior atau vicarious liability atau let's the master answer maupun khusus di ruang bedah dengan asas the captain of ship melalui Pasal 1367 BW yang menyebutkan bahwa “Seseorang harus memberikan pertanggungjaaban tidak hanya atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakannya sendiri, tetapi juga atas kerugian yang ditimbulkan dari tindakan orang lain yang berada dibawah pengawasannya”
Bila dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi perawat maka kesalahan yang terjadi dalam menjalankan fungsi interdependen perawat akan melahirkan bentuk pertanggungjawaban di atas. Sebagai bagian dari tim maupun orang yang bekerja di bawah perintah dokter/rumah sakit, maka perawat akan bersama-sama bertanggung gugat kepada kerugian yang menimpa pasien.
c. Pertanggungjawaban dengan asas zaakwarneming berdasarkan Pasal 1354 BW
“Jika seorang dengan sukarela, dengan tidak mendapat perintah untuk itu, mewakili urusan orang lain dengan atau tanpa pengetahuan orang ini, maka ia secara diam-diam mengikat dirinya untuk meneruskan serta menyelesaikan urusan tersebut, hingga orang yang diwakili kepentingannya dapat mengerjakan sendiri urusan itu. la memikul segala kewajiban yang harus dipikulnya, seandainya ia kuasakan dengan suatu pemberian kuasa yang dinyatakan dengan tegas”
d. Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban terjadi seketika bagi seorang perawat yang berada dalam kondisi tertentu harus melakukan pertolongan darurat dimana tidak ada orang lain yang berkompeten untuk itu. Perlindungan hukum dalam tindakan zaarwarneming perawat tersebut tertuang dalam Pasal 10 Permenkes No. 148 Tahun 2010. Perawat justru akan dimintai pertanggungjawaban hukum apabila tidak mengerjakan apa yang seharusnya dikerjakan dalam Pasal 10 tersebut.
Gugatan berdasarkan wanprestasi seorang peraawat akan dimintai pertanggungjawaban apabila terpenuhi unsur-unsur wanprestasi yaitu:
a. Tidak mengerjakan kewajibannya sama sekali; dalam konteks ini apabila seorang perawat tidak mengerjakan semua tugas dan kewenangan sesuai dengan fungsinya, peran maupun tindakan keperawatan
b. Mengerjakan kewajiban tetapi terlambat; dalam hal ini apabila kewajiban sesuai fungsi tersebut dilakukan terlambat yang mengakibatkan kerugian pada pasien. Contoh kasus seorang perawat yang tidak membuang kantong urine pasien dengan kateter secara rutin setiap hari. Melainkan 2 hari sekali dengan ditunggu sampai penuh. Tindakan tersebut megakibatkan pasien mengalami infeksi saluran urine dari kuman yang berasal dari urine yang tidak dibuang.
c. Mengerjakan kewajiban tetapi tidak sesuai dengan yang seharusnya; suatu tugas yang dikerjakan asal-asalan. Sebagai contoh seorang perawat yang mengecilkan aliran air infus pasien di malam hari hanya karena tidak mau terganggu istirahatnya.
d. Mengerjakan yang seharusnya tidak boleh dilakukan; dalam hal ini apabila seorang perawat melakukan tindakan medis yang tidak mendapat delegasi dari dokter, seperti menyuntik pasien tanpa perintah, melakukan infus padahal dirinya belum terlatih.
Apabila seorang perawat terbukti memenuhi unsur wanprestasi, maka pertanggungjawaban itu akan dipikul langsung oleh perawat yang bersangkutan sesuai personal liability.
2. Pertanggungjawaban Hukum Pidana
Sementara dari aspek pertanggungjawaban secara hukum pidana seorang perawat baru dapat dimintai pertanggungjawaban apabila terdapat unsur-unsur sebagai berikut:
a. suatu perbuatan yang bersifat melawan hukum ; dalam hal ini apabila perawat melakukan pelayanan kesehatan di luar kewenangan yang tertuang dalam Pasal 8 Permenkes No. 148/2010.
a. Mampu bertanggung jawab, dalam hal ini seorang perawat yang memahami konsekuensi dan resiko dari setiap tindakannya dan secara kemampuan, telah mendapat pelatihan dan pendidikan untuk itu. Artinya seorang perawat yang menyadari bahwa tindakannya dapat merugikan pasien.
b. Adanya kesalahan (schuld) berupa kesengajaan (dolus) atau karena kealpaan (culpa). Kesalahan disini bergantung pada niat (sengaja) atau hanya karena lalai. Apabila tindakan tersebut dilakukan karena niat dan ada unsur kesengajaan, maka perawat yang bersangkutan dapat dijerat sebagai pelaku tindak pidana. Sebagai contoh seorang perawat yang dengan sadar dan sengaja memberikan suntikan mematikan kepada pasien yang sudah terminal. (disebut dengan tindakan euthanasia aktif)
c. Tidak adanya alasan pembenar atau alasan pemaaf; dalam hal ini tidak ada alasan pemaaf seperti tidak adanya aturan yang mengijinkannya melakukan suatu tindakan, ataupun tidak ada alasan pembenar. Sebagai contoh perawat yang menjalankan peran terapeutik atau yang melaksanakan delegated medical activities dengan beranggapan perintah itu adalah sebuah tindakan yang benar. Tindakan tersebut tidak menjadi benar namun alasan perawat melakukan hal tersebut dapat dimaafkan.
Bentuk pertanggungjawaban dalam hukum pidana secara prinsip adalah personal liability dan bila dilakukan dalam dalam lingkup technical activities maupun dalam menjalankan peran koordinatif dimana perawat memahami bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan hukum , maka dokter yang memberi perintah dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
Apabila pelayanan kesehatan tersebut dilakukan perawat di sebuah RS dimana perawat berstatus sebagai karyawan, maka berdasarkan Pasal 46 UU Rumah Sakit, maka RS dapat dimintai pertanggungjawaban pidana dengan ancaman sanksi berupa denda.
3. Pertanggungjawaban Hukum Administrasi.
Secara prinsip, pertanggungjawaban hukum administrasi lahir karena adanya pelanggaran terhadap ketentuan hukum administrasi terhadap penyelenggaraan praktik perawat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Permenkes No. 148/2010 telah memberikan ketentuan administrasi yang wajib ditaati perawat yakni:
a. Surat Izin Praktik Perawat bagi perawat yang melakukan praktik mandiri.
b. Penyelengaraan pelayanan kesehatan berdasarkan kewenangan yang telah diatur dalam Pasal 8 dan Pasal 9 dengan pengecualian Pasal 10
c. Kewajiban untuk bekerja sesuai standar profesi
Ketiadaan persyaratan administrasi di atas akan membuat perawat rentan terhadap gugatan malpraktik. Ketiadaan SIPP dalam menjalankan penyelenggaraan pelayanan kesehatan merupakan sebuah administrative malpractice yang dapat dikenai sanksi hukum. Namun penulis melihat ada 2 (dua) ketentuan tentang kewajiban izin tersebut untuk perawat yang bekerja di sebuah RS. Pada UU Kesehatan dan UU RS disebutkan bahwa RS dilarang mempekerjakan karyawan/tenaga profesi yang tidak mempunyai surat izin praktik. Sementara dalam Permenkes No, 148/2010 SIPP bagi perawat yang bekerja di RS (disebutkan dengan istilah fasilitas yankes di luar praktik mandiri) tidak diperlukan. Kerancuan norma ini akan membingungkan penyelenggara yan bersangkutan dala menjalankan profesinya. Namun apabila dilihat dari pembentukan perundang-undangan maka kekuatan mengikat undang-undang akan lebih kuat dibandingkan senuah peraturan menteri yang di dalam UU NO, 10 Tahun 2004 tidak termasuk sebagai bagian dari perundang-undangan.
Bentuk Sanksi administrasi yang diancamkan pada pelanggaran hukum adminitarsi ini adalah:
a. teguran lisa;
b. teguran tertulis;
c. pencabutan izin
Dalam praktek pelaksanaannya, banyak perawat yang melakukan praktik pelayanan kesehatan yang meliputi pengobatan dan penegakan diagnosa tanpa SIPP dan pengawasan dokter. Khusus untuk Kota Jambi, pelanggaran ini masih banyak terjadi namun tidak pernah dilakukan pengawasan dan penerapan sanksi represif sebagai upaya pemerintah memberikan perlindungan pada masyarakt.


[1] Dosen Hukum Kesehatan Fakultas Hukum UNJA.
[2] Sri Praptianingsih; Kedudukan Hukum Perawat dalam Upaya Pelayanan Kesehatan di Rumah Sakit; PT Raja Grafindo Persada; Jakarta; 2006; hlm.31-33
[3] Jurnal Hukum Kesehatan, Unika Soegiyopranoto Semarang
[4] Cecep Triwibowo; Hukum Keperawatan, Panduan Hukum dan Etika Bagi Perawat; Pustaka Book Publisher; Yogyakarta; 2010; Hlm. 49