Sistem Pemerintahan

Tuesday, May 3, 2011

Oleh: Dony Yusra Pebrianto, SH__Tim JLC

Di dalam studi ilmu Negara dan ilmu politik dikenal adanya tiga sistem pemerintahan Negara, yaitu Presidensil, parlementer, referendum.[1]

a. System pemerintahan Presidensil

Suatu pemerintahan dimana pertanggung jawaban atas kebijaksanaan pemerintah dipegang oleh Presiden. Jabatan Presiden disini sebagai kepala pemerintahan merangkap sebagai kepala negara. Menurut Bagir Manan, sistem pemerintahan Presidensil dapat dikatakan sebagai subsistem pemerintahan republik, karena hanya dijalankan dalam Negara yang berbentuk republik (sesuai kepresidenan).[2] Adapun ciri-ciri sistem pemerintahan Presidensil menurut Abdul Hadi Anshary adalah sebagai berikut :

1. Presiden adalah kepala eksekutif yang memimpin cabinet. Semua kabinet diangkat dan diberhentikan serta bertanggung jawab kepada presiden. Presiden juga sekaligus kepala Negara yang masa jabatannya telah ditentukan dengan pasti oleh Undang-Undang Dasar.

2. Presiden tidak dipilih oleh badan legislatif, tetapi dipilih oleh sejumlah pemilih. Oleh karena itu, ia bukan bagian dari badan legislatif seperti dalam sistem parlementer.

3. Presiden tidak bertanggung jawab pada badan legislatif, dan dalam hubungan ini ia tidak dapat dijatuhkan oleh badan legislatif. (di Amerika Serikat, presiden dapat dijatuhkan melalui impeachment).

4. Sebagai imbangannya presiden tidak dapat atau tidak mempunyai wewenang untuk membubarkan badan legislatif.[3]

Kelebihan sistem pemerintahan Presidensil menurut Arend Lijphart adalah sebagai berikut :

1. Akan terjadi stabilitas eksekutif yang didasarkan pada masa jabatan presiden. Stabilitas eksekutif ini berlawanan dengan instabilitas yang biasanya melahirkan suatu sistem parlementer dari penggunaan kekuasaan legislative untuk membentuk cabinet melalui mosi tidak percaya atau sebagau akibat dari hilangnya dukungan mayoritas terhadap cabinet di parlemen.

2. Pemilihan kepala pemerintahan oleh rakyat dapat dipandang lebih demokratis dari pemilihan tidak langsung (formal) atau (informal) dalam sistem parlementer. Memang dalam demokrasi tidak menuntut pilihan semua pejabat pemerintah oleh rakyat secara langsung. Tetapi argument bahwa pemerintahan, yang merupakan pemegang jabatan paling penting dan berkuasa di dalam pemerintahan yang demokratis, harus dipillih secara langsung oleh rakyat mengandung validitas yang tinggi.

3. Dalam sistem Presidensil telah terjadi pemisahan kekuasaan yang berarti pemerintahan yang dibatasi sehingga jaminan atas perlindungan kebebasan individu atas tirani pemerintah akan terminimalisasi[4].

Sementara itu kelemahan dari sistem Presidensil adalah :

1. Sistem pemerintahan Presidensil dipandang mempunyai cacat bawaan karena sistem ini berjalan atas dasar aturan “pemenang menguasai semuanya”. Sehingga politik demokrasi akan menjadi sebuah permainan dengan semua potensi konfliknya. Dalam pemilihan presiden, hanya seorang calon dan satu partai yang bakal menang. Selain itu, konsentrasi kekuasaan di tangan presiden memberinya sangat sedikit insentif untuk membentuk koalisi atau sistem pembagian kekuasaan lainnya atau untuk mengambil bagian dalam negosiasi dengan pihak oposisi yang mungkin diperlukan untuk menghadapi berbagai masalah yang dapat memecah belah. Terutama di Negara telah terbagi dan terpolarisasi, aturan “ pemenang menguasai semuanya “ sangat mungkin menimbulkan pembagian dan polarisasi lebih lanjut. Politik menjadi eksekutif, bukan inklusif[5].

2. Kekuasaan eksekutif diluar pengawasan langsung legislatif, sehingga dapat menciptakan kekuasaan yang mutlak.

3. System pertanggung jawaban kurang jelas.

4. Pembuatan keputusan atau kebijakan public umumnya hasil tawar menawar antara eksekutif dengan legislative sehingga dapat terjadi keputusan yang tidak tegas dan memakan waktu yang lama.

b. Sistem Pemerintahan Parlementer

Sistem pemerintahan parlementer adalah sebuah sistem pemerintahan dimana parlemen memiliki peranan penting dalam pemerintahan. Dalam sistem ini, parlemen memiliki wewenang dalam mengangkat perdana menteri, dan parlemen pun dapat menjatuhkan pemerintahan, yaitu dengan cara mengeluarkan mosi tidak percaya[6]. Sistem ini muncul dari ketatanegaraan inggris sejak 250-300 tahun yang lalu. Sistem ini muncul di Inggris karena adanya keperluan politis sangat mendesak, sehingga perkembangannya tidaklah didasarkan atas tuntunan konstitusi, hukum, atau teori politik. Praktek mengenai ini berkembang mendahului teori yang ada.

Pada mulanya, kabinet dibentuk sebagai dewan pelayanan rahasia ataupun dewan pelaksana perintah dari raja dalam menjalankan pemerintahan Negara. Secara umum menurut Mahfud MD, ada beberapa ciri-ciri dalam sistem parlementer yaitu[7]:

1. Kepala Negara tidak berkedudukan sebagai kepala pemerintahan karena lebih bersifat simbol nasional (pemersatu bangsa)

2. Pemerintah dilakukan oleh sebuah kabinet yang dipimpin oleh seorang perdana menteri.

3. kabinet bertanggung jawab terhadap cabinet dan dapat dijatuhkan oleh parlemen melalui mosi.

4. Kedudukan eksekutif (kabinet) lebih rendah dari parlemen karena itu dia bergantung pada parlemen.

Sampai saat ini, diantara negara-negara yang menerapkan sistem parlementer, masih terdapat perbedaan-perbedaan yang mendasar. Ketidaksamaan tersebut menurut Denny Indrayana, dipengaruhi oleh beberapa factor :

1. Perbedaan jenis parlemen, apakah unicameral atau bicameral, termasuk sistem pemilihan anggota kamar kedua.

2. Perbedaan kekuatan eksekutif untuk membubarkan parlemen dan mempercepat pemilu, serta sebaliknya perbedaan kekuatan parlemen untuk memberhentikan perdana menteri.

3. Perbedaan adanya kewenangan yudisial review. Di Inggris kewenangan demikian tidak ada karena kedaulatan parlemen yang supremasi.

4. Perbedaan jumlah dan partai politik[8].

Sistem parlementer dapat dijalankan baik pada Negara republic maupun kerajaan. Singapura, India, Pakistan, Bangladesh, dan Israel adalah bebrapa Negara republic yang menjalankan sistem parlementer. Sedangkan Malaysia, Jepang, Belanda, Inggris, Belgia dan Swedia adalah contoh kerajaan yang menjalankan sistem pemerintahan parlementer. Selain itu, ada pula pemerintahan parlementer yang tidak secara resmi berbentuk republic atau kerajaan, seperti Australia, Kanada, dan New Zealand. Ketiga Negara ini merupakan bagian dari sistem commonwealth dengan Inggris sebagai Negara induk[9].

c. Sistem Pemerintahan Referendum

Didalam sistem peerintahan ini, badan eksekutif merupakan bagian dari badan legislatif, misalnya di Swiss disebut Bundesrat adalah badan pekerja legislatif. Dalam sistem ini, badan legislatif membentuk sub badan didalamnya sebagai pelaksana tugas pemerintah. Mekanisme kontrol terhadap badan legislatif didalam sistem ini dilakukan dilakukan oleh rakyat melalui lembaga referendum[10].

Pembuatan Undang-Undang dalam sistem ini langsung diputuskan langsung oleh seluruh rakyat melalui dua mekanisme, yaitu:

1. Referendum obligator, yakni referendum untuk menentukan disetujui atau tidaknya suatu peraturan atau Undang-Undang baru oleh rakyat. Referendum ini disebut referendum wajib.

2. Referendum fakultatif, yakni referendum untuk menentukan apakah suatu peraturan atau Undang-Undang yang sudah ada dapat terus diberlakukan ataukah harus dicabut. Referendum ini merupakan referendum tidak wajib[11].



[1] Moh. Mahfud MD, Demokrasi dan konstitusi di Indonesia. Cet. I . (Yogyakarta: Liberty,1993).

[2] Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat Studi Hukum UII dengan Gama Media, Yogyakarta, 1999. hlm. 15-16

[3] Abdul Hadi Anshary, Menuju Trias Politika dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia (Studi Konstitusional tentang Pemisahan Kekuasaan Negara), (Tesis, Program Magister Ilmu Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta, 2003), hlm.125.

[4] Ibid., hlm. 122-123.

[5] Ibid., hlm. 18

[6] Http://id.wikipedia.org/wiki/sistem_parlementer.htm”sistem parlementer“ diakses pada tanggal 30 Desember 2009.

[7] Moh. Mahfud MD. Op.cit.,hlm.74

[8] Denny Indrayana, “Mendesain Presidensial yang Efektif; Bukan ‘Presidensial’ Atawa ‘Presiden sialan.” (Makalah disampaikan dalam seminar sehari memperkuat sistem pemerintahan presidensial, Jakarta, 13 Desember 2006). Hlm 4.

[9] Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, Pusat Studi Hukum UII dngan Gama Media, Yogyakarta, 1999. hlm. 5

[10] Moh. Mahfud MD. Op.Cit. hlm. 75

[11] Ibid.