Penal Mediation dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian VII)

Thursday, May 5, 2011

undefined
 Ilustrasi: google.com


Adapun ratio decidendi Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 menyatakan bahwa perbuatan hubungan kelawin di luar perkawinan oleh seorang laki-laki (penduduk Banggai) dengan seorang perempuan dewasa yang mengakibatkan hamilnya siperempuan dapat dianggap melanggar hukum yang hidup dan melanggar kaidah-kaidah kepatutan serta suatu perbuatan yang melanggar moral karena perbuatan tersebut tidak dikualifikasikan sebagai delik oleh KUH Pidana (tidak ada bandingannya). Oleh karena itu, hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melakukan kejahatan melakukan suatu perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap perbuatan pidana, tetapi tiada bandingannya dalam Kitab Hukum Pidana Sipil.

Kemudian Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tinggi Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984 dengan dilakukan perbaikan dan penambahan berupa pertimbangan dimana untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat yang mengganggap perbuatan tersebut adalah tindak pidana maka hakim memutuskan terdakwa telah melakukan kejahatan bersetubuh dengan seorang wanita di luar nikah. Akan tetapi oleh Mahkamah Agung melalui Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 maka putusan Pengadilan Tinggi tersebut diperbaiki sekedar kualifikasi dimana perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa merupakan suatu perbuatan yang dikategorisasikan sebagai perbuatan zinah menurut hukum adat.

Pada dasarnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 tidak menetapkan sanksi adat atas pelanggaran yang dilakukan oleh terdakwa. Hakim yudex facti (Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi) dan hakim yudex yuris (Mahkamah Agung RI) langsung menetapkan hukuman bagi terdakwa melalui sanksi pidana. Tegasnya, dengan kata lain sanksi pidana yang dijatuhkan oleh hakim bukan merupakan hukuman pengganti.

Terhadap putusan konteks di atas maka H.R. Otje Salman Soemadiningrat menyebutkan sampai sekarang pun masih banyak hakim yang mendasarkan putusannya pada hukum pidana adat atau menganggap hukum pidana adat masih berlaku. Pertama bahwa hukum adat tidak mengenal pemisahan secara tegas antara hukum pidana dengan hukum perdata (privat). Dan diantara keduanya saling berkaitan satu sama lain. Sehubungan dengan hal tersebut, tidak ada perbedaan prinsip prosedur penyelesaian perkara-perkara pelanggaran adat. Jika terjadi pelanggaran para fungsionaris hukum (penguasa/kepala adat) berwenang mengambil tindakan konkret, baik atas inisiatif sendiri atau berdasarkan pengaduan pihak yang dirugikan.

Hal ini semata-mata dilakukan untuk menetapkan hukum (verklaring van recht) berupa sanksi adat (adatreactie) yang dianggap dapat membetulkan hukum adat yang dilanggar tersebut. Sanksi adat ini dapat dilakukan oleh si pelanggar dengan cara membayar ganti rugi, kepada pihak yang terkena akibat pelanggaran tersebut (rechtsherstel), atau membayar uang adat kepada pihak yang terkena dan/atau masyarakat.

Terakhir, bahwa setiap hukum adat selalu berkaitan atau mengandung unsur budaya dan keyakinan (magis religius) yang hidup dalam masyakarat. Begitu pula dalam hal berhubungan kelamin, sesuatu yang karena sifatnya dianggap sakral dan tabu (Pemali: Jawa) dilakukan oleh orang kecuali bagi mereka yang sudah resmi menjadi suami istri atau dalam sebuah ikatan rumah tangga. Dalam perspektif yang demikian, berarti setiap hukum yang hidup dengan tidak mengandung unsur magis religius atau tidak berhubungan dengan unsur budaya dan keyakinan yang tumbuh dalam masyarakat, bukanlah hukum adat.

Kemudian dalam Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 merupakan perkara yang berasal dari Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 jo Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra tanggal 11 Nopember 1987.

Kasus posisi Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 bahwa seorang terdakwa telah melakukan perbuatan susila di desa Parauna, Kecamatan Unaaha, Kodya Kendari. Akibat perbuatan tersebut maka Kepala Adat Tolake menangani peristiwa secara adat. Kemudian kepala adat menyatakan pelaku telah melanggar norma adat kesusilaan sehingga Kepala Adat Tolake menetapkan suatu reaksi adat berupa sanksi adat "Prohala" yaitu pelaku harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci. Perbuatan tersebut telah dilaksanakan oleh pelaku.

Akan tetapi masalah tersebut diusut lagi oleh Kepolisian dan selajutnya diserahkan kepada pihak Kejaksaan. Kemudian oleh pihak kejaksaan perkara tersebut dilimpahkan ke pengadilan negeri Kendari dimana terdakwa didakwa dengan dakwaan telah melanggar tindak pidana berupa dakwaan primair melanggar Pasal 53 jo Pasal 285 KUH Pidana, dakwaan subsidair melanggar Pasal 281 ayat (1) ke-1e KUH Pidana dan dakwaan lebih subsidair lagi melanggar Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951.

Kemudian Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 pada dasarnya menyatakan bahwa terdakwa terbukti sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana adat "memperkosa" sebagaimana dalam dakwaan subsidair lagi dengan ratio decidendi putusan sebagai berikut:

 Bahwa hakim Pengadilan Negeri Kendari menolak pledooi terdakwa yang mengemukakan bahwa terdakwa telah dijatuhi sanksi adat "Prohala" oleh kepala adat dan pemuka adat sehingga dengan diadilinya lagi terdakwa berdasarkan KUH Pidana di Pengadilan Negeri berarti terdakwa telah diadili dua kali dalam masalah yang sama (ne bis in idem).

 Bahwa penolakan tersebut didasarkan bahwa menurut ketentuan Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman ditetapkan badan peradilan negara sebagai satu-satunya badan yustisi yang berwenang mengadili perkara tindak pidana adalah Pengadilan Negeri.

 Bahwa hakim menilai unsur dakwaan dakwaan primair melanggar Pasal 53 jo Pasal 285 KUH Pidana, dakwaan subsidair melanggar Pasal 281 ayat (1) ke-1e KUH Pidana tidak terbukti dan yang terbukti adalah dakwaan lebih subsidair lagi melanggar Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951 yang pada pokoknya menyatakan bahwa perbuatan yang menurut hukum yang hidup harus dianggap sebagai perbuatan pidana dan yang ada bandingannya dalam KUH Pidana maka perbuatan itu dianggap diancam dengan hukuman yang sama dengan hukuman bandingannya yang paling mirip perbuatan pidana itu.

Kemudian atas Putusan Pengadilan Negeri Kendari Nomor 17/Pid/B/1987/PN.Kdl tanggal 15 Juni 1987 itu terdakwa mengajukan pemeriksaan banding ke Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara. Atas permohonan banding tersebut maka Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra tanggal 11 Nopember 1987 pada dasarnya menguatkan putusan Pengadilan Negeri dengan sekedar memperbaiki kualifikasi dimana terdakwa dijatuhkan hukuman karena bersalah melakukan "perbuatan pidana adat Siri" dengan ratio decidendi putusan sebagai berikut:

 Perbuatan terdakwa menurut hukum adat yang masih hidup di dalam masyarakat Tolaki adalah merupakan perbuatan yang sangat tercela yang menimbulkan "Siri" dan harus dikenakan sanksi adat yakni keluarga yang dipermalukan (Tomasiri) dapat mengakibatkan korban jiwa (Siri Ripoamateng/Siri dipomate).

 Delik adat yang dilanggar oleh terdakwa adalah delik adat Siri Ripoamateng/Siri dipomate adalah suatu perbuatan yang melanggar kesusilaan dan merendahkan martabat keluarga perempuan.

 Bahwa perbuatan pidana adat yang dilakukan oleh terdakwa tersebut tidak ada bandingannya di dalam KUH Pidana dan oleh karena itu menurut hakim banding terdakwa harus dipersalahkan melanggar hukum adat berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Dart Nomor 1 Tahun 1951.

(Bersambung) (Bagian VI)

_______
Penulis:
Dr Lilik Mulyadi SH MH
Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis Buku Ilmu Hukum dan Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Email: lilikmulyadi@yahoo.com
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!