Ilustrasi: goggle.com
C. PENGKAJIAN TERHADAP DIMENSI PRAKTIK PENYELESAIAN PERKARA DI LUAR PENGADILAN MELALUI MEDIASI PENAL DARI PERSPEKTIF SISTEM PERADILAN PIDANA INDONESIA
Telah dijelaskan sebagaimana konteks di atas bahwasanya dikaji dari perspektif yuridis, mediasi penal dalam dimensi hukum negara (ius constitutum) sejatinya memang belum banyak dikenal dan masih menyisakan kontroversi, diantara pihak-pihak yang sepakat dan tidak sepakat untuk diterapkan. Persoalan esensialnya mengarah pada pilihan pola penyelesaian sengketa pidana, terkait dengan domain superioritas negara dengan superioritas masyarakat kearifan lokal. Selain dimensi di atas, implikasi lain sebenarnya eksistensi mediasi penal dapat dikatakan antara "ada" dan "tiada". Dikatakan demikian, di satu sisi karena mediasi penal dalam ketentuan undang-undang tidak dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana akan tetapi dalam tataran di bawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui diskresi penegak hukum serta sifatnya parsial. Kemudian, di sisi lainnya ternyata praktik mediasi penal telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan penyelesaian tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti melalui mekanisme lembaga adat.
Di Indonesia, dalam praktik penyelesaian sengketa di luar pengadilan melalui mediasi penal telah lama dikenal. Belum lama berselang praktik ini telah dilakukan di Palangkaraya. Adalah Tamrin Amal Tomagola, seorang sosiolog ketika menjadi saksi ahli dalam suatu persidangan di Pengadilan Negeri Bandung dengan merujuk pada hasil penelitiannya menyatakan bahwa hubungan seksual sebelum menikah biasa dikalangan masyarakat Dayak. Pernyataan tersebut membuat masyarakat Dayak tersinggung. Di Palangkaraya lebih dari 1000 warga Dayak menggelar aksi damai memprotes keras pernyataan Tamrin Amal Tomagola. Aksi warga Dayak di Bundaran Kota Palangkaraya diwarnai pembacaan pernyataan sikap Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) yang ditandatangani Presiden MADN. Kemudian MADN mengganggap penyataan Tamrin melukai perasaan, harkat, dan martabat masyarakat Dayak. Pernyataan itu juga melecehkan adat istiadat suku Dayak yang mengkedepankan prinsip belom bahadat (hidup bertata krama dan beradat dalam berbagai segi kehidupan). MADN meminta Tamrin mempertanggungjawabkan apa yang telah dilontarkan di depan hukum positif, dan tuntutan hukum adat Dayak untuk menghindari terjadinya disharmoni dan konflik harizontal yang dapat merusak kehidupan masyarakat MADN juga minta Tamrin meminta maaf kepada seluruh masyarakat Dayak secara terbuka melalui media cetak dan elektronik.
Terhadap pernyataan tersebut, maka Tamrin kemudian disidang adat di Palangkaraya. Persidangan adat tersebut dilakukan oleh MADN yang diberi nama Persidangan Dayak Maniring Tuntang Menetes Hinting Bunu yang berlangsung di Ruang Betang Tingang Ngaderang (Betang Mandala Wisata) Palangkaraya, Kalimantan Tengah antara masyarakat Dayak dengan Tamrin sebagai bentuk melindungi harkat dan martabat penegakan hukum adat Dayak terhadap delegitimasi, demoralisasi, penistaan maupun penghinaan terhadap masyarakat Dayak. Selain itu pula, asasnya pernyataan Tamrin tersebut tidak sesuai dengan pandangan masyarakat Dayak yang mengganggap hubungan seksual tanpa ikatan perkawinan sebagai hal biasa, dianggap melukai perasaan, merendahkan harkat dan martabat serta pelecehan terhadap adat istiadat suku Dayak.
Dalam sidang tersebut Tamrin Amal Tamagola dinyatakan bersalah dalam sidang adat suku Dayak. Sidang yang dipimpin oleh tujuh tokoh adat Dayak itu memerintahkan Tamrin untuk mencabut pernyataannya yang menyebutkan bahwa warga Dayak biasa melakukan hubungan suami istri di luar ikatan perkawinan. Terhadap hal ini Tamrin yang hadir disidang tersebut bersedia menerima dan menyanggupi semua putusan majelis sidang adat dan mencabut pernyataannya dan meminta maaf kepada seluruh masyarakat Dayak di depan sidang. Kemudian, dalam sidang adat tersebut Tamrin juga haus membayar denda acara adat senilai Rp. 77.777.777 yang akan digunakan untuk acara adat dan juga harus mencabut hasil penelitian yang menyangkut hal tersebut.
Lewat sidang adat yang disaksikan langsung oleh Presiden Majelis Adat Dayak Nasional (MADN), para tokoh adat se-Kalimantan, unsur Muspida Kalteng dan ratusan masyarakat yang menjadi saksi sidang diberi nama Persidangan Adat Dayak Maniring Tuntang Manetes Hinting Bunu antara masyarakat Dayak dan Tamrin Amal Tamagola itu secara harfiah berarti memutus dendam yang berkepanjangan dalam menuju perdamaian kearah yang lebih baik antara kedua belah pihak. Sidang itu pertama kali dilakukan dan bersifat final serta mengikat. Persidangan adat tersebut bertujuan mencapai kedamaian, rekonsiliasi, kekeluargaan, serta tetap mempertahankan harkat serta martabat suku Dayak secara keseluruhan. Tuntutan terhadap Tamrin itu berdasarkan kesepakatan Tumbang Anoi 1894.
Pada masyarakat Papua misalnya dikenal "budaya bakar batu", sebagai simbol budaya lokal, yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa atau perkara, termasuk perkara pidana, melalui upaya damai demi terpeliharanya harmoni sosial. Dengan demikian proses pidana terhadap pelaku tindak pidana oleh aparatur negara dipandang tidak diperlukan lagi, karena justru dinilai akan merusak kembali harmoni sosial yang sudah tercapai. Selain itu, pada masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh diterapkan dan dikenal untuk penyelesaian perkara dilakukan terlebih dahulu melalui Peradilan Gampong atau Peradilan Damai. Selain itu, dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tanggal 30 Desember 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat khususnya Pasal 13 menentukan, "penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat diselesaikan secara bertahap", kemudian disebutkan pula, bahwa "aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat atau nama lain". Begitu pula di Bali, melalui desa adat pakraman diterapkan adanya awig-awig yang merupakan dimensi lain identik dengan penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal. Misalnya, dalam Pasal (Pawos) 66 awig-awig desa pakraman tanah aron kabupaten Karangasem disebutkan bahwa, "yang berwenang menyelesaikan perkara di desa adalah prajuru desa sebagai hakim peradilan desa adalah kelihan banyar, kalau yang berperkara berasal dari satu banjar dan bendesa kalau yang berperkara semuanya berasal dari satu desa" (Sane wenang mawosin mekadi mutusang wicara ring desa inggih punika prajuru desa sinaggeh kerta desa; ha. Kelihan banjar, pradene sang mewicara sane patunggalan banjar; na. Bendesa, sang mewicara sami-sami ring petunggalan desa adat).
Kemudian dalam bentuk yang hampir identik penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal juga dikenal dan diakui oleh Mahkamah Agung RI melalui Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 dan Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991.
Pada dasarnya Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 666 K/Pid/1984 tanggal 23 Februari 1985 merupakan perkara yang berasal dari Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 jo Putusan Pengadilan Tinggi Palu Nomor 6/Pid/1984 tanggal 9 April 1984. Pada Putusan Pengadilan Negeri Luwuk Nomor 27/Pid/1983 mengadili perkara hubungan kelamin di luar perkawinan. Pada tingkat pengadilan negeri hakim memutuskan bahwa terdakwa telah melanggar hukum yang hidup di wilayah Kabupaten Banggai, Sulawesi Tengah berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat 3 sub b UU Dart Nomor 1 tahun 1951 yang unsur-unsurnya:
- Unsur pertama suatu perbuatan yang melanggar hukum yang hidup.
- Unsur Kedua perbuatan pelanggaran tersebut tidak ada bandingannya dalam KUH Pidana.
- Unsur Ketiga perbuatan pelanggaran tersebut masih tetap berlaku untuk kaula-kaula dan orang-orang yang bersangkutan.
(Bersambung) (Bagian V)
_________
Penulis:
Dr Lilik Mulyadi SH MH,
Penulis:
Dr Lilik Mulyadi SH MH,
Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis Buku Ilmu Hukum dan Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur. Email: lilikmulyadi@yahoo.com
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!