Ilustrasi: google.com
Selanjutnya, pengaturan penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal juga diatur dalam Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Inpres ini ditujukan kepada beberapa Menteri/Kepala Lembaga Pemerintahan, antara lain Menteri Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI dan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Pada diktum pertama angka 4 Inpres No. 8 Tahun 2002 disebutkan bahwa, “dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan peundang-undangan yang berlaku”.
Pengaturan penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal sebagaimana konteks di atas diatur secara parsial, terbatas dan gradasi pengaturannya diatur pada level di bawah undang-undang. Akan tetapi, dalam batas pengaturan ditingkat undang-undang, untuk perkara pidana pada asasnya tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan ada penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan akan tetapi tidak termasuk ruang lingkup mediasi penal. Ketentuan-ketentuan tersebut dapat disebutkan sebagai berikut:
- Dalam hal tindak pidana dilakukan berupa “pelanggaran yang hanya diancam dengan pidana denda”. Ketentuan Pasal 82 KUHP menentukan kewenangan/hak menuntut tindak pidana pelanggaran itu hapus, apabila terdakwa telah membayar denda maksimum untuk pelanggaran tersebut dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan kalau penuntutan telah dilakukan. Pada asasnya, norma ketentuan Pasal 82 KUHP ini dikenal dengan istilah “afkoop” atau “pembayaran denda damai” yang merupakan salah satu alasan penghapus penuntutan.
- Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak dibawah usia 8 (delapan) tahun. Menurut ketentuan Pasal 5 UU 3/1997 tentang Pengadilan Anak maka ditentukan batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 (delapan) tahun dan belum mencapai 18 (delapan belas) tahun. Khusus, terhadap anak di bawah usia 8 (delapan) tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak tersebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya apabila dipandang masih dapat dibina atau diserahkan kepada Departemen Sosial apabila diandang tidak dapat lagi dibina oleh orang tua/wali/orang tua asuh.
- Dalam hal terjadi kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana ketentuan Pasal 1 ayat 7, Pasal 76 ayat 1, Pasal 89 ayat 4 dan Pasal 96 UU 39/1999 tentang Hak Asasi Manusia yang memberi kewenangan kepada Komnas HAM untuk melakukan mediasi dalam kasus pelanggaran HAM. Aspek ini sifatnya hanya bersifat parsial, oleh karena tidak ada ketentuan secara tegas menyatakan bahwa semua kasus pelanggaran HAM dapat dilakukan mediasi oleh Komnas HAM, karena ketentuan pasal 89 ayat (4) menentukan bahwa Komnas HAM dapat juga hanya memberi saran kepada para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui pengadilan, atau hanya memberi rekomendasi kepada pemerintah atau DPR untuk ditindaklanjuti penyelesaiannya. Selain itu pula, ketentuan UU 39/1999 tidak mengatur secara tegas yang menyatakan bahwa akibat adanya mediasi oleh Komnas HAM itu dapat menghapuskan penuntutan atau pemidanaan, tetapi berdasarkan Pasal 96 ayat (3) hanya ditentukan bahwa, “keputusan mediasi mengikat secara hukum dan berlaku sebagai alat bukti yang sah”.
Kemudian dalam RUU KUHP sebagai ius constituendum aspek penyelesaian perkara di luar pengadilan telah diatur dalam ketentuan Pasal 145 RUU KUHP dimana gugurnya kewenangan penuntutan karena telah dilakukan penyelesaian di luar proses. Ketentuan pasal tersebut selengkapnya menyebutkan kewenangan penuntutan gugur, jika:
a. telah ada putusan yang memperoleh kekuatan hukum tetap;
b. terdakwa meninggal dunia;
c. daluwarsa;
d. penyelesaian di luar proses;
e. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang dilakukan hanya diancam dengan pidana denda paling banyak kategori II;
f. maksimum pidana denda dibayar dengan sukarela bagi tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori III;
g. Presiden memberi amnesti atau abolisi;
h. Penuntutan dihentikan karena penuntutan diserahkan kepada negara lain berdasarkan perjanjian;
i. Tindak pidana aduan yang tidak ada pengaduan atau pengaduannya ditarik kembali; atau
j. Pengenaan asas oportunitas oleh Jaksa Agung.
Selanjutnya, dalam konteks Sistem Peradilan Pidana (SPP) khususnya dalam sub sistemnya maka pemanfaatan ADR lebih efektif dikembangkan oleh Kepolisian ketimbang Kejaksaan ataupun Pengadilan. Aspek dan dimensi ini ditegaskan oleh Adrianus Meliala sebagai berikut:
“Dalam kaitan itu, maka tak terhindarkan apabila pemanfaatan ADR dalam perspektif ini lebih dirasakan pentingnya untuk dikembangkan oleh kepolisian ketimbang kejaksaan ataupun pengadilan, mengingat peran kepolisian sebagai gerbang awal dari sistem peradilan pidana. Dapat diperkirakan bahwa suatu kasus yang telah dimulai secara ADR, katakanlah demikian, akan lebih mungkin untuk diteruskan dan berakhir dengan cara ADR pula ketimbang ADR dimunculkan ditengah (ketika perkara ditangani kejaksaan) atau diakhir proses peradilan (maksudnya diputus oleh pengadilan).
Pada dasarnya, konteks penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal puncaknya diharapkan dapat menekan penumpukan perkara (congestion) di pengadilan khususnya pada tingkat Mahkamah Agung. Tegasnya, walaupun adanya pembatasan permintaan kasasi melalui regulasi berdasarkan ketentuan Pasal 45A UU 5/2004 jo UU 3/2009 akan tetapi setiap tahun terjadi penumpukan perkara. Oleh karena itu, penyelesaian perkara melalui mediasi penal dapat pula menekan penumpukan perkara pada tingkat yudex facti (Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi).
Dalam konteks demikian, maka penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal hendaknya lebih ditujukan (apabila nantinya akan dibuat dalam sebuah regulasi) terhadap perkara kecil atau ringan yang dapat berupa:
- Pelanggaran sebagaimana diatur dalam buku ketiga KUHP
- Tindak pidana ringan (Tipiring) yang diancam dengan pidana penjara atau kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda sebanyak-banyaknya Rp. 7.500,00 (tujuh ribu lima ratus rupiah)
- Kejahatan ringan (lichte misdrijven) sebagaimana ketentuan yang diatur dalam KUHP berupa:
- Pasal 302 tentang penganiayaan ringan terhadap hewan
- Pasal 315 tentang penghinaan ringan
- Pasal 352 tentang penganiayaan ringan terhadap manusia
- Pasal 364 tentang pencurian ringan
- Pasal 373 tentang penggelapan ringan
- Pasal 379 tentang penipuan ringan
- Pasal 482 tentang penadahan ringan
- Kejahatan sebagaimana diatur dalam Pasal 362
- Kejahatan sebagaimana ketentuan Pasal 359 dan Pasal 360 KUHP
- Kejahatan yang dilakukan oleh anak sebagaimana diatur dalam UU 3/1997
- Kejahatan sebagaimana diatur dalam UU 23/2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT)
- Penyelesaian sengketa medis
Dimensi sebagaimana konteks di atas memungkinkan penyelesaian kasus di luar pengadilan dengan melalui mediasi penal karena sifat perkaranya kecil atau ringan, bersifat pribadi dan dilakukan oleh pelaku dalam masa psikologis relatif baru berkembang. Apabila perkara tersebut di atas dilakukan melalui proses dalam sub sistem peradilan pidana maka relatif akan menimbulkan gejolak karena rasa keadilan masyarakat akan terusik. Misalnya, dapat disebutkan contoh kasus Ny Minah (55) warga Desa Darma Kradenan Kecamatan Ajibarang Banyumas, Jawa tengah seorang nenek pencuri tiga biji bibit kakao diperkebunan PT Rumpun Sari Antan. Selanjutnya, kasus pencurian satu buah semangka oleh Basar dan Kholil warga Kelurahan Bujel, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri yang divonis oleh pengadilan dan malah menimbulkan pro dan kontra dengan dibawanya kasus pencurian tersebut ke pengadilan dan dijatuhkan pidana.
Akan tetapi, dalam konteks perbandingan penyelesaian perkara melalui mediasi penal ini di beberapa negara, dimungkinkan pula mediasi dalam kasus-kasus perbankan (dikenal dengan istilah “banking mediation”) yang terkait dengan masalah ATM (Automatic Teller Mechine) dan Kartu Kredit (Credit Cards). Misalnya pada Negara Malaysia dimana ruang lingkup kewenangan Banking Mediation Bureau (BMB) di Malaysia, antara lain dapat menangani sengketa bernilai RM 25,000 akibat penarikan ATM yang tidak sah (Unauthorised Automatic Teller Machine withdrawals) atau akibat penggunaan kartu kredit yang tidak sah (Unauthorised use of credit cards).
______________________________________
Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis Buku Ilmu Hukum dan Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Email: lilikmulyadi@yahoo.com