Penal Mediation dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian IV)

Thursday, April 14, 2011

 Ilustrasi: google.com

Kamis, 14 April 2011

Penal Mediation dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian IV)


Kemudian terhadap mediasi penal ini dalam “Explanatory memorandum” dari rekomendasi Dewan Eropa No. R. (99) 19 tentang “Mediation in Penal Matters”, dikemukakan model mediasi penal sebagai berikut:

a. Model “informal mediation”
Model ini dilaksanakan oleh personil peradilan pidana (criminal justice personnel) dalam tugas normalnya, yaitu dapat dilakukan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan mengundang para pihak untuk melakukan penyelesaian informal dengan tujuan tidak melanjutkan penuntutan apabila tercapai kesepakatan. Pada model ini dapat dilakukan oleh pekerja sosial atau pejabat pengawas (probation officer), oleh pejabat polisi atau Hakim.

b. Model “Traditional village or tribal moots”
Menurut model ini, seluruh masyarakat bertemu untuk memecahkan konflik kejahatan diantara warganya dan terdapat pada beberapa negara yang kurang maju dan berada di wilayah pedesaan/pedalaman. Asasnya, model ini mendahulukan hukum barat dan telah memberi inspirasi bagi kebanyakan program-program mediasi modern. Program mediasi modern sering mencoba memperkenalkan berbagai keuntungan dari pertemuan suku (tribal moots) dalam bentuk yang disesuaikan dengan struktur masyarakat modern dan hak-hak individu yang diakuinya menurut hukum.

c. Model “Victim-offender mediation”
Menurut model ini maka mediasi antara korban dan pelaku merupakan model yang paling sering ada dalam pikiran orang. Model ini melibatkan bebagai pihak yang bertemu dengan dihadiri oleh mediator yang ditunjuk. Banyak variasi dari model ini. Mediatornya dapat berasal dari pejabat formal, mediator independen, atau kombinasi. Mediasi ini dapat diadakan pada setiap tahapan proses, baik pada tahap kebijaksaan polisi, tahap penuntutan, tahap pemidanaan atau setelah pemidanaan. Model ini ada yang diterapkan untuk semua tipe pelaku tindak pidana, ada yang untuk tipe tindak pidana tertentu (misalnya pengutilan, perampokan dan tindak kekerasan). Ada yang terutama ditujukan pada pelaku anak, pelaku pemula, namun ada juga untuk delik-delik berat dan bahkan untuk recidivist.

d. Model “Reparation negotiation programmes”
Model ini semata-mata untuk menaksir atau menilai kompensasi atau perbaikan yang harus dibayar oleh pelaku tindak pidana kepada korban, biasanya pada saat pemeriksaan di pengadilan. Program ini berhubungan dengan rekonsiliasi antara para pihak, tetapi hanya berkaitan dengan perencanaan perbaikan materiel. Dalam model ini, pelaku tidak pidana dapat dikenakan program kerja agar dapat menyimpan uang untuk membayar ganti rugi/kompensasi.

e. Model “Community panels of Courts”
Model ini merupakan program untuk membelokan kasus pidana dari penuntutan atau peradilan pada prosedur masyarakat yang lebih fleksibel dan informal dan sering melibatkan unsur mediasi atau negosiasi.

f. Model “Family and community group conferences”
Model ini telah dikembangkan di Australia dan New Zealand, yang melibatkan partisipasi masyarakat dalam SPP (sistem peradilan pidana). Tidak hanya melibatkan korban dan pelaku tindak pidana, tetapi juga keluarga pelaku dan warga masyarakat lainnya, pejabat tertentu (seperti polisi dan hakim anak) dan para pendukung korban. Pelaku dan keluarganya diharapkan menghasilkan kesepakatan yang komprehensif dan memuaskan korban serta dapat membantu untuk menjaga si pelaku keluar dari kesusahan/persoalan berikutnya.

Dalam perkembangannya, penyelesaian perkara di luar pengadilan maka tidak semua perkara pidana dapat dilakukan melalui dimensi mediasi penal. T. Gayus Lumbuun menyebutkan bahwa kasus hukum yang memiliki preferensi untuk diselesaikan melalui ADR adalah sebagai berikut:

Pertama, kasus-kasus yang pelaku (atau tersangka pelaku) tidak melibatkan negara. Atau, dapat pula diprioritaskan untuk tindak pidana yang termasuk kategori delik aduan. Di samping itu ADR juga dapat diperluas mencakup tindak pidana yang korbannya adalah masyarakat atau warga negara sehingga mereka sendiri yang mengungkapkan tingkat kerugian yang dialaminya.

Kedua, tindakan pidana yang walaupun melibatkan negara (sebagai tersangka pelaku), tetapi memerlukan penyelesaian mengingat berdampak langsung kepada masyarakat. Misalnya, untuk tindak pidana di bidang ekonomi dimana negara mengharapkan adanya pengembalian dana negara dalam kasus-kasus korupsi.

Secara parsial dan terbatas sifatnya, mediasi penal diatur dalam Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Pada Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 ditentukan beberapa langkah-langkah penanganan kasus melalui ADR yaitu:

  1. Mengupayakan penanganan kasus pidana yang mempunyai kerugian materi kecil, penyelesaiannya dapat diarahkan melalui konsep ADR. 
  2. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus disepakati oleh pihak-pihak yang berperkara namun apabila tidak terdapat kesepakatan baru diselesaikan sesuai dengan prosedur hukum yang berlaku secara profesional dan proporsional. 
  3. Penyelesaian kasus pidana yang menggunakan ADR harus berprinsip pada musyawarah mufakat dan harus diketahui oleh masyarakat sekitar dengan menyertakan RT/RW setempat. 
  4. Penyelesaian kasus pidana dengan menggunakan ADR harus menghormati norma sosial/adat serta memenuhi azas keadilan. 
  5. Memberdayakan anggota Polmas dan memerankan FKPM yang ada di wilayah masing-masing untuk mampu mengindentifikasi kasus-kasus pidana yang mempunyai kerugian materiil kecil dan memungkinkan untuk diselesaikan melalui konsep ADR. 
  6. Untuk kasus yang telah dapat diselesaikan melalui konsep ADR agar tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain yang kontra produktif dengan tujuan Polmas
Kemudian dalam Pasal 14 huruf f Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri ditentukan bahwa penerapan Konsep Alternative Dispute Resolution (pola penyelesaian masalah sosial melalui jalur alternatif yang lebih efektif berupa upaya menetralisir masalah selain melalui proses hukum atau litigasi), misalnya melalui upaya perdamaian.


______________________________________
undefinedPenulis: Dr Lilik Mulyadi SH MH,
Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis Buku Ilmu Hukum dan Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Email: lilikmulyadi@yahoo.com