Penal Mediation dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian III)

Friday, April 8, 2011

 Ilustrasi: google.com

Penal Mediation dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian III)


Selain itu, sebagai perbandingan maka mediasi penal ditingkat internasional telah lama dikenal. Dalam beberapa konferensi misalnya Konggres PBB ke-9 tahun 1995 khususnya yang berkorelasi dengan manajemen peradilan pidana (dokumen A/CONF 169/6) disebutkan perlunya semua negara mempertimbangkan ”privatizing some law enforcement and justice functions” dan ”alternative dispute resolution/ADR) berupa mediasi, konsiliasi, restitusi dan kompensasi dalam sistem peradilan pidana. Kemudian dalam Konferensi Internasional Pembaharuan Hukum Pidana (International Penal Reform Conference) tahun 1999 dikemukakan bahwa salah satu unsur kunci dari agenda baru pembaharuan hukum pidana (the key elements of a new agenda for penal reform) adalah perlunya memperkaya sistem peradilan formal dengan sistem atau mekanisme informal dengan standar-standar hak asasi manusia (the need to enrich the formal judicial system with informal, locally based, dispute resolution mechanisms which meet human rights standards) yang mengindentifikasikan sembilan strategi pengembangan dalam melakukan pembaharuan hukum pidana melalui pengembangan restorative justice, alternative dispute resolution, informal justice, alternatives to custody, alternative ways of dealing with juveniles, dealing with violent crime, reducing the prison population, the proper management of prisons dan the role of civil in penal reform).

Begitu pula dalam Konggres PBB ke-10 tahun 2000 (dokumen A/CONF. 187/4/Rev.3), antara lain dikemukakan bahwa untuk memberikan perlindungan kepada korban kejahatan, hendaknya diintrodusir mekanisme mediasi dan peradilan restorative (restorative justice). Kemudian, sebagai tindak lanjut pertemuan internasional tersebut mendorong munculnya dokumen internasional yang berkorelasi dengan peradilan restoratif dan mediasi dalam perkara pidana berupa the Recommendation of the Council of Eure 1999 No. R (99) 19 tentang ”Mediation in Penal Mattres”, berikutnya the EU Framework Decision 2001 tentang ”the Stannding of Victim in Criminal Proceedings” dan The UN Principles 2002 (Resolusi Ecosoc 2002/12) tentang “Basic Principles on the Use Restorative Justice Programmes in Criminal Matters”. Kemudian, mediasi penal ini juga dikenal dalam beberapa Undang-Undang pada Negara Austria, Jerman, Belgia, Perancis dan Polandia.

Dari pelbagai ketentuan diberbagai negara dapat disebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui dimensi mediasi penal dimungkinkan dalam perkara pidana dan diberikan kerangka hukum (mediation within the framework of criminal law). Tony Peters mengemukakan gambaran pengaturan atau “legal framework” di beberapa negara Eropa sebagai berikut:
  1. Ditempatkan sebagai bagian dari UU Peradilan Anak (the Juvenile Justice Act), yaitu di Austria, Jerman, Finlandia, dan Polandia.
  2. Ditempatkan dalam KUHAP (the Code of Criminal Procedure), yaitu di Austria, Belgia, Finlandia, Perancis, dan Polandia.
  3. Ditempatkan dalam KUHP (the Criminal Code), yaiu di Finlandia, Jerman, dan Polandia.
  4. Diatur tersendiri secara otonom dalam UU Mediasi (the Mediation Act), seperti di Norwegia, yang diberlakukan untuk anak-anak maupun orang dewasa.

B. PENGKAJIAN TERHADAP ASAS, NORMA DAN TEORI PENYELESAIAN PERKARA DI LUAR PENGADILAN MELALUI DIMENSI MEDIASI PENAL

Penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal merupakan perkembangan baru dalam ranah hukum pidana yang membawa implikasi mulai diterapkan dimensi bersifat privat ke dalam ranah hukum publik. Pada dimensi mediasi penal ini yang dicapai bukan keadilan formal (formal justice) melalui sub sistem Peradilan Pidana yang diatur dalam peraturan bersifat legal formal. Pada perspektif filosofis, maka eksistensi mediasi penal mengandung asas diterapkannya solusi “menang-menang” (win-win) dan bukan berakhir dengan situasi “kalah-kalah” (lost-lost) atau “menang-kalah” (win-lost) sebagaimana ingin dicapai oleh peradilan dengan pencapaian keadilan formal melalui proses hukum litigatif (law enforcement process). Melalui proses mediasi penal diperoleh puncak keadilan tertinggi karena terjadinya kesepakatan para pihak yang terlibat dalam perkara pidana tersebut yaitu antara pihak pelaku dan korban. Pihak korban maupun pelaku diharapkan dapat mencari dan mencapai solusi serta alternatif terbaik untuk menyelesaikan perkara tersebut. Implikasi dari pencapaian ini maka pihak pelaku dan korban dapat mengajukan kompensasi yang ditawarkan, disepakati dan dirundingkan antar mereka bersama sehingga solusi yang dicapai bersifat “menang-menang” (win-win).

Apabila diuraikan lebih detail, hakikat mediasi penal dikembangkan dengan bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut:
  1. Penanganan konflik (Conflict Handling/Konflikbearbeitung): Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi.
  2. Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientierung): Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses dari pada hasil, yaitu: menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut, dan sebagainya.
  3. Proses informal (Informal Proceeding-Informalitat): Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat.
  4. Ada patisipasi aktif dan otonom pada pihak (Active and Autonmous Participation-Parteiautonomie/Subjektivierung): Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggung jawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri.
 (Bersambung) (Bagian II)


______________________________________
undefinedPenulis: Dr Lilik Mulyadi SH MH,
Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis Buku Ilmu Hukum dan Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Email: lilikmulyadi@yahoo.com