Penal Mediation dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian II)

Thursday, March 31, 2011

 Ilustrasi: google.com
 
Penal Mediation dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia (Bagian II)


PENYELESAIAN PERKARA DI LUAR PENGADILAN DALAM KONTEKS MEDIASI PENAL

Dimensi kearifan lokal hukum adat yang berlandaskan alam pikiran kosmis, magis dan religius ini berkorelasi dengan aspek sosiologis dari cara pandang dan budaya masyarakat Indonesia. Dalam praktek sosial pada masyarakat Indonesia, lembaga mediasi penal sudah lama dikenal dan telah menjadi tradisi antara lain pada Masyarakat Papua, Aceh, Bali, Sumatera Barat dan hukum adat Lampung. Pada masyarakat Papua misalnya dikenal “budaya bakar batu”, sebagai simbol budaya lokal, yang digunakan untuk menyelesaikan sengketa atau perkara, termasuk perkara pidana, melalui upaya damai demi terpeliharanya harmoni sosial. Dengan demikian proses pidana terhadap pelaku tindak pidana oleh aparatur negara dipandang tidak diperlukan lagi, karena justru dinilai akan merusak kembali harmoni sosial yang sudah tercapai. Selain itu, pada masyarakat Nanggroe Aceh Darussalam sebagaimana UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh diterapkan dan dikenal untuk penyelesaian perkara dilakukan terlebih dahulu melalui Peradilan Gampong atau Peradilan Damai. Selain itu, dalam Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2008 tanggal 30 Desember 2008 tentang Pembinaan Kehidupan Adat dan Adat Istiadat khususnya Pasal 13 menentukan, “penyelesaian sengketa/perselisihan adat dan adat istiadat diselesaikan secara bertahap”, kemudian disebutkan pula, bahwa “aparat penegak hukum memberikan kesempatan agar sengketa/perselisihan diselesaikan terlebih dahulu secara adat atau nama lain”. Begitu pula di Bali, melalui desa adat pakraman diterapkan adanya awig-awig yang merupakan dimensi lain identik dengan penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal. Misalnya, dalam Pasal (Pawos) 66 awig-awig desa pakraman tanah Aron Kabupaten Karangasem disebutkan bahwa, “yang berwenang menyelesaikan perkara di desa adalah prajuru desa sebagai hakim peradilan desa adalah kelihan banjar, kalau yang berperkara berasal dari satu banjar dan bendesa kalau yang berperkara semuanya berasal dari satu desa” (Sane wenang mawosin mekadi mutusang wicara ring desa inggih punika prajuru desa sinaggeh kerta desa; ha. Kelihan banjar, pradene sang mewicara sane patunggalan banjar; na. Bendesa, sang mewicara sami-sami ring petunggalan desa adat).

Kemudian dikaji dari perspektif yuridis, mediasi penal dalam dimensi hukum negara (ius constitutum) sejatinya memang belum banyak dikenal dan masih menyisakan kontroversi, diantara pihak-pihak yang sepakat dan tidak sepakat untuk diterapkan. Persoalan esensialnya mengarah pada pilihan pola penyelesaian sengketa pidana, terkait dengan domain superioritas negara dengan superioritas masyarakat kearifan lokal. Selain dimensi di atas, implikasi lain sebenarnya eksistensi mediasi penal dapat dikatakan antara “ada” dan “tiada”. Dikatakan demikian, di satu sisi oleh karena mediasi penal dalam ketentuan undang-undang tidak dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana akan tetapi dalam tataran di bawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui diskresi penegak hukum dan sifatnya parsial. Kemudian, di sisi lainnya ternyata praktik mediasi penal telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan penyelesaian tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti melalui mekanisme lembaga adat. Ada beberapa fakta dan argumentasi yang patut dikemukakan dalam konteks ini mengapa kajian terhadap konsepsi mediasi penal tersebut diasumsikan eksistensinya antara “ada” dan “tiada”.

Pertama, dikaji ditataran regulasi di bawah undang-undang yang bersifat parsial dan terbatas sifatnya maka mediasi penal diatur dalam Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Pada dasarnya, peraturan tersebut mengatur tentang penanganan kasus pidana melalui ADR dengan sifat kerugian materi kecil, disepakati para pihak, dilakukan melalui prinsip musyawarah mufakat, dilakukan harus menghormati norma sosial/adat serta memenuhi asas keadilan dan apabila dicapai melalui ADR pelakunya tidak lagi disentuh oleh tindakan hukum lain.

Kedua, dalam Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham. Inpres ini ditujukan kepada beberapa Menteri/Kepala Lembaga Pemerintahan, antara lain Menteri Kehakiman dan HAM, Jaksa Agung RI, Kepala Kepolisian RI dan Ketua Badan Penyehatan Perbankan Nasional. Pada diktum pertama angka 4 Inpres No. 8 Tahun 2002 disebutkan bahwa, “dalam hal pemberian kepastian hukum sebagaimana dimaksud dalam angka 1 menyangkut pembebasan debitur dari aspek pidana yang terkait langsung dengan program Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham, yang masih dalam tahap penyelidikan, penyidikan dan/atau penuntutan oleh instansi penegak hukum, maka sekaligus juga dilakukan dengan proses penghentian penanganan aspek pidananya, yang pelaksanaannya tetap dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan peundang-undangan yang berlaku”.

Ketiga, praktik mediasi penal walaupun normatif tidak diatur oleh undang-undang (hukum positif) akan tetapi praktiknya terjadi pada masyarakat Indonesia. Praktik mediasi penal misalnya telah dilakukan melalui Sidang Adat terhadap Prof. Dr. Tamrin Amal Tamagola yang dilakukan oleh Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) yang diberi nama Persidangan Dayak Maniring Tuntang Manetes Hinting Bunu antara masyarakat Dayak dengan Tamrin di Betang Nagnderang, Palangkaraya, Kalimantan Tengah pada hari Sabtu, tanggal 22 Januari 2011.

Keempat, dikaji dari perspektif yurisprudensi Mahkamah Agung RI mediasi penal melalui eksistensi peradilan adat tetap mengakuinya. Misalnya, sebagai salah satu contohnya pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 dimana dalam ratio decidendi putusan disebutkan bahwa apabila seseorang melanggar hukum adat kemudian Kepala dan Para Pemuka Adat memberikan reaksi adat (sanksi adat) maka yang bersangkutan tidak dapat diajukan lagi (untuk kedua kalinya) sebagai terdakwa dalam persidangan Badan Peradilan Negara (Pengadilan Negeri) dengan dakwaan yang sama melanggar hukum ada dan dijatuhkan pidana penjara menurut ketentuan KUH Pidana (Pasal 5 ayat (3) sub b UU drt Nomor 1 Tahun 1951) sehingga dalam keadaan demikian pelimpahan berkas perkara serta tuntutan Kejaksaan di Pengadilan Negeri harus dinyatakan tidak dapat diterima (niet ontvankelijk Verklaard). Konklusi dasar dari yurisprudensi tersebut mengakui eksistensi peradilan adat dimana adanya mediasi penal antara pelaku dengan korban, kemudian penjatuhan “sanksi adat” tersebut dilakukan sebagai suatu pemulihan keseimbangan antara pelaku dengan masyarakat adatnya sehingga adanya keseimbangan antara alam kosmis dan non kosmis menjadi kembali seperti sedia kala.

Kelima, praktik peradilan tingkat pertama terhadap mediasi penal dalam bentuk lain sebagaimana terlihat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur Nomor: 46/Pid/78/UT/WAN tanggal 17 Juni 1978 dimana dalam perkara Ny. Ellya Dado, lazim disingkat sebagai “Kasus Ny. Elda”, adanya penyelesaian secara “perdamaian” maka perbuatan diantara para pihak tidak merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran yang dapat dihukum lagi, dan oleh karenanya melepaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum. Dalam dimensi lain, ternyata pada saat kini ratio decidendi putusan tersebut juga dipergunakan oleh Mahkamah Agung RI dalam mengadili perkara pada tingkat Peninjauan Kembali Nomor: 107 PK/Pid/2006 tanggal 21 November 2007.
 
______________________________________
undefinedPenulis: Dr Lilik Mulyadi SH MH,
Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis Buku Ilmu Hukum dan Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Email: lilikmulyadi@yahoo.com