Sertifikat Halal Bukan Kewajiban Pedagang

Thursday, March 31, 2011

 Ilustrasi: google.com

Berlakunya Pasal 58 ayat (4) itu tidak mengganggu usaha para pemohon.

Para pemohon tidak mempunyai kapasitas kedudukan hukum karena tidak menimbulkan kerugian konstitusional,” kata Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan Kementerian Pertanian Prabowo Respatiyo S mewakili pemerintah dalam pengujian Pasal 58 ayat (4) UU Peternakan dan Kesehatan Hewan di Gedung MK Jakarta, Selasa (29/3).  

Permohonan ini diajukan Deni Junaedi (pedagang telur), I Griawan (pedagang daging babi), Netty Retta Herawaty Hutabarat (pedagang daging anjing), dan Bagus Putu Mantra (peternak babi). Para pemohon merasa dirugikan dengan berlakunya Pasal 58 ayat (4) undang-undang itu yang harus menyertakan sertifikat veriner dan halal.

Sebab, produk daging babi dan anjing menurut ketentuan yang berlaku umum termasuk kategori tidak halal. Padahal, beberapa daerah di Indonesia seperti Manado, Minahasa, dan Bali, masyarakatnya terbiasa mengkomsumsi daging babi atau anjing.

Menurut pemerintah lantaran sertifikat veriner ditujukan bagi produsen dan importir hewan, maka pemohon I sebagai pedagang telur eceran tidak diwajibkan membuat sertifikat veteriner. “Berlakunya Pasal 58 ayat (4) itu tidak menimbulkan hambatan teknis ekonomis dalam menjalankan usahanya sebagai pedagang eceran telur ayam,” kata Prabowo.  

Ia menilai pemohon II, III, IV yang masing-masing sebagai pedagang babi, pedagang daging anjing, dan peternak babi tidak memahami Pasal 58 ayat (4) yang dikhususkan untuk produk hewan termasuk daging babi/anjing yang diproduksi di atau dimasukkan ke wilayah Indonesia. Sebab, pedagang/peternak babi tidak mungkin terkena kewajiban sertifikat halal.

Lengkapnya, Pasal 58 ayat (4) berbunyi, “Produk hewan yang diproduksi di dan/atau dimasukkan ke wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia untuk diedarkan wajib disertai sertifikat veteriner dan sertifikat halal.”

Pasal 58 ayat (4) ini untuk memberikan jaminan kesehatan, ketentraman batin, kepastian terhadap setiap orang yang mengkomsumsi produk hewan dan dalam rangka ikut mendorong implementasi perjanjian Sanitary and Phytosaniatry yang telah diratifikasi dengan UU No 7 Tahun 1994. Ketentraman batin masyarakat Indonesia yang mayoritas muslim ini dinyatakan dalam sertifikat halal yang diwajibkan bagi semua produk hewan (impor) yang masuk ke Indonesia.  

“Ketentuan Pasal 58 ayat (4) ini telah sejalan dengan amanat alinea IV Pembukaan UUD 1945,” tutur Prabowo.

Prabowo menambahkan para pemohon sebagai pedagang eceran tidak terganggu usahanya dengan berlakunya Pasal 58 ayat (4) itu. “Sehingga hak-hak pemohon sebagaimana dijamin Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 masih terlindungi dengan berlakunya Pasal 58 ayat (4) itu.”

Selain itu, pemerintah menegaskan bahwa produk hewan yang diusahakan pemohon II, III, IV secara notoir feit (jelas/nyata) memang tidak halal, sehingga tidak perlu disertai sertifikat halal. Dengan demikian Pasal 58 ayat (4) itu tidak bersifat diskriminatif. “Karenanya, Pasal 58 ayat (4) tidak bertentangan dengan Pasal 27 ayat (2), Pasal 28A, Pasal 28D ayat (1), dan Pasal 28I UUD 1945,” simpulnya.        

Sementara, ahli yang diajukan pemohon, Frans Asisi Datang berpendapat frasa sertifikat halal bermakna sertifikat yang diizinkan atau tidak dilarang oleh hukum Islam. Dengan demikian Pasal 58 ayat (4) tidak mengizinkan beredarnya produk hewan yang dilarang hukum Islam.

“Pasal itu berarti tidak semua produk hewan dapat diedarkan di Indonesia. Pasal itu berhenti disitu, tidak ada penjelasannya sama sekali,” ujar Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia itu di hadapan majelis pleno yang diketuai Maria Farida Indrati.
(Penulis : ASh)


Sumber: Hukum Online, Rabu, 30 Maret 2011