Ilustrasi: csatl
Oleh Nadia Raissofi H
International Herald Tribune terbitan 8 Maret 2011 mengungkap bahwa perempuan di Asia umumnya bekerja di luar untuk menghidupi anak-anak mereka dengan orientasi yang berbeda dengan laki laki. Dengan mengutip data World Bank, IHT mencatat setidaknya dalam setahun perempuan di Asia mengirim 21 miliar dolar, bila perempuan mengirim uang untuk kesehatan, makanan, laki-laki bekerja lebih banyak membelanjakan uangnya untuk membeli mobil, rumah, dan berfoya-foya.
Keteraturan perempuan sebagaimana diungkap di atas, justru cenderung membuat mereka disubornasi oleh laki-laki. Bahkan Annual Report yang dikeluarkan Womens Institute yang berpusat di Frankurt, Jerman, menunjukkan perempuan yang bekerja di Asia, Afrika, dan Amerika Latin, lebih banyak membangun spritualitas dan atau motivasi pedagogis terhadap keluarganya. Ditinjau dari aspek tersebut dalam memperingati Hari Kartini yang ke-132, kita melihat peran ibu masih dalam konteks budaya patriarkis, budaya mana laki-laki yang selalu mengsubordinasi perempuan secara sadar maupun tidak sadar. Prospek tersebutlah yang kemudian membawa arah baru bagi perkembangan dewasa ini. Era reformasi yang membangun tekad perempuan untuk bermain secara strategis ternyata dapat dilihat dalam sektor-sektor, utamanya sektor politik. Kendati masih belum terlegitimasi oleh afirmatif action.
Dalam pergumulannya yang lebih panjang, di era transisi demokrasi dewasa ini, sudah selayaknya agar eksistensi perempuan lebih dapat “dihargai”. Dalam konteks itulah ranah politik merupakan ajang strategis bagi perempuan untuk memainkan perannya secara lebih universal.
Terus bertambahnya perempuan di parlemen hasil dua pemilu terakhir menumbuhkan optimisme bagi kesetaraannya gender di bidang politik. Tapi jumlah saja tidak cukup, kemampuan anggota legislatif perempuan juga harus meningkat.
Hasil Pemilu 2009 yang menghantarkan 103 di DPR, menumbuhkan harapan akan terciptanya kesetaraan gender di parlemen. Masih jauh dari angka critical mass 30%, tapi bukan sesuatu yang tidak mungkin dicapai pada tahun-tahun mendatang. Apalagi ratusan kursi di DPRD provinsi dan seribuan di DPRD kabupaten/kota, juga terisi oleh perempuan.
Bahkan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), jumlah anggota perempuan hampir mencapai 30%. Jumlah legislator perempuan secara perlahan menunjukkan grafik yang meningkat dibanding dua pemilu lalu di era reformasi.
Hal itu merupakan sinyal bahwa aturan afirmasi dalam undang-undang pemilu berada pada trek yang tepat. Tindakan afirmasi mengalami perubahan penting dalam dua undang-undang pemilu. Lahirnya Pasal 65 UU No. 12/2003 menandai terbukanya pintu lebar bagi perempuan untuk dicalonkan karena adanya ketentuan sedikitnya 30% perempuan dalam daftar calon anggota legislatif.
Bukan hal mudah meyakinkan elite politik, baik dari DPR maupun di pemerintah yang mayoritas adalah laki-laki, untuk menerima afirmasi dalam pencalonan perempuan. Maka Pasal 65, sekalipun dianggap tidak mengikat dan hanya “pasal karet”, tetapi cukup menjadi acuan untuk mendorong partai politik agar mencalonkan perempuan lebih banyak. Dampaknya, Pemilu 2004 menghasilkan permpuan di DPR mencapai 12%, meningkat dari hasil Pemilu 1999 yang hanya 9%.
Selanjutnya disadari bahwa pencalonan 30% saja dalam daftar calon pada Pemilu 2004, ternyata tidak cukup efektif mendorong jumlah tanpa disertai penempatan calon perempuan pada urutan yang berpeluang terpilih. Partai memang mencalonkan 30% perempuan, tetapi yang diurutan 1 dan 2 pada daftar calon sangatlah minim.
Untuk itulah, afirmasi dalam penempatan calon perempuan di daftar calon sangat strategis meningkatkan jumlah perempuan terpilih. Hasil kajian Puskapol FISIP UI juga menegaskan bahwa nomor urut atas membuka peluang keterpilihan yang besar.
Maka afirmasi ke depan memerlukan komitmen partai dalam rangka meningkatkan kompetensi kader perempuan. Pertama, melibatkan 30% perempuan dalam kepengurusan partai di berbagai tingkatan. Ini penting agar kader perempuan memiliki keterampilan politik dan kemampuan kepemimpinan.
Kedua, peningkatan kapasitas kader perempuan. Bidang perempuan di partai politik harus segera mempersiapkan kapasitas kader perempuan agar mampu menguasai kepengurusan partai sebagai sarana memuluskan jalan perempuan menempati urutan dalam pencalonan.
Singkat kata, yang tak kalah penting adalah membangun jaringan konstruktif dengan organisasi masyarakat setempat. Tetapi di tengah rekrutmen partai yang lebih melayani tujuan akumulasi kuasa, meningkatkan jumlah plus kompetensi perempuan pasti tidak mudah.
________________
Penulis: Mahasiswa FH Unila dan aktivis HMI Komisariat Hukum Unila
(Sumber: Lampung Post, 23 April 2011)