Masa Depan Pelembagaan Fungsi Judicial Review Di Indonesia (Bagian I)

Monday, August 15, 2011

Ilustrasi: CSATL/TIM JLC

Oleh:
CSA Teddy Lesmana  [*)]


Abstrak

Desain konstitusional pelembagaan fungsi judicial review di Indonesia saat ini, menempatkan dua lembaga kekuasaan kehakiman yaitu MK dan MA sebagai pemilik kewenangan untuk melakukan judicial review sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945. Konsep ini ternyata masih menimbulkan masalah dan perdebatan dalam tataran teoritik maupun praktik. Dalam perspektif pembagian kekuasaan, hal tersebut menimbulkan dualisme kewenangan lembaga kekuasaan kehakiman di Indonesia yang mangakibatkan tidak adanya kepastian hukum yang seharusnya menjadi prinsip dari sebuah negara hukum. Dimasa yang akan datang, fungsi judicial review ini perlu ditempatkan di bawah satu kewenangan lembaga negara yang dibentuk untuk itu.

Kata Kunci: Pelembagaan Fungsi, Judicial Review.


A. Pendahuluan

Pemikiran mengenai konsep pengujian peraturan perundang-undangan (judicial review) di Indonesia sebetulnya bukan merupakan sesuatu hal yang baru. Namun, konsep ini mulai berkembang dan menemukan bentuknya dalam tataran hukum serta praktik ketatanegaraan di Indonesia sejak terjadinya Perubahan atas UUD 1945. Sayangnya, konsep pengujian peraturan perundang-undangan dalam desain UUD 1945 setelah Perubahan tersebut, tidaklah kemudian dapat mengakhiri persoalan dan perdebatan yang ada selama ini. Bahkan, justru bertendensi menimbulkan persoalan-persoalan baru baik dalam tataran teoritis maupun dalam artikulasi empirisnya yang sudah barang tentu memicu perdebatan-perdebatan berikutnya.

Masalah yang selalu mengundang perdebatan tersebut mulai dari penggunaan istilah seperti judicial review, constitutional review, constitutional adjudication, dan toetsingrecht, yang seringkali menjadi tumpang-tindih antara satu dengan lainnya. Sampai kepada perdebatan yang berkisar pada tataran normatif dan tataran politis.

Paling tidak, ada 4 (empat) kali momentum perdebatan normatif dan politis sepanjang sejarah ketatanegaraan Indonesia yang sangat menentukan konsep judicial review yang akan diterapkan di Indonesia. Momentum tersebut diawali sejak tahun 1945, yakni pada saat perumusan dan penyusunan naskah UUD 1945 terutama pada Pasal 24 tentang Kekuasaan Kehakiman. Pada masa itu, Soepomo menolak usulan Moh. Yamin tentang pemberian kewenangan kepada Mahkamah Agung (MA) untuk melakukan pembandingan, apakah undang-undang yang di buat oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak melanggar ketentuan UUD, atau bertentangan dengan hukum adat dan syariat islam[1]

Momentum berikutnya terjadi pada saat merumuskan UU No. 14 Tahun 1970 yang mencabut UU No. 19 Tahun 1964 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Perdebatan yang timbul pada saat itu menyangkut hubungan antara alat-alat dan perlengkapan negara satu sama lain, terutama menyangkut kewenangannya untuk melakukan judicial review. Pada saat itu, MA diberikan kewenangan sebatas untuk melakukan pengujian atas peraturan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.[2] Sementara kewenangan pengujian atas undang-undang terhadap UUD 1945 menjadi kewenangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).[3]

Pada era reformasi terjadi 2 (dua) kali perdebatan yang serupa. Pertama, terjadi pada saat Sidang Tahunan MPR RI Tahun 2000 denngan merumuskan Sumber Hukum Tata Negara dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan. Dari perdebatan itu maka disepakati bahwa kewenangan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945 dan TAP MPR menjadi kewenangan MPR;[4] dan kedua, terjadi saat merumuskan perubahan UUD 1945 antara tahun 1999 sampai dengan 2002, dimana kewenangan mengujian peraturan perundang-undangan diberikan kepada 2 (dua) lembaga kekuasaan kehakiman yaitu MA dan Mahkamah Konstitusi (MK). Hal tersebut secara limitatif diatur dalam Pasal 24A ayat (1) tentang kewenangan MA untuk menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang, serta Pasal 24C ayat (1) tentang pemberian kewenangan kepada MK untuk menguji undang-undang terhadap udang-undang dasar.

Adanya masalah dan perdebatan yang akhirnya memicu pengkajian-pengkajian ilmiah tentang judicial review, termasuk juga pelembagaannya pada saat perumusan suatu produk hukum di bidang kekuasaan kehakiman sebagaimana diuraikan di atas, menujukkan bahwa persoalan judicial review memiliki posisi penting dalam mewujudkan tatanan dan prinsip negara hukum yang demokratis di Indonesia.[5] Pada perkembangan selanjutnya, prinsip negara hukum dan demokrasi ini saling mempengaruhi satu sama lain. Dalam prinsip kehidupan demokrasi, kebebasan dan kemerdekaan untuk mengaktualisasikan segala potensi individu dan kelompok dapat dengan bebas dilakukan. Namun kemerdekaan dan kebebasan tersebut tetap tunduk pada prinsip-prinsip negara hukum,[6] yang pada intinya meletakan rambu-rambu norma hukum sebagai pengatur lalu lintas kebutuhan dan kepentingan semua pihak. Disinilah letak pentinganya sebuah peraturan perundang-undangan sebagai perwujudan dari norma-norma tersebut.

Oleh karena itu, pembentukan norma hukum harus mampu mengadopsi nilai-nilai yang dianut dan berkembang dalam masyarakat, serta proses yang dilaksanakan dalam rangka pembentukan norma tersebut harus dilakukan secara demokratis dengan prosedur yang telah ditetapkan. Pada perspektif ini dapatlah dimaklumi bahwa judicial review dimaksudkan sebagai upaya untuk menghindari pembentukan peraturan perundang-undangan yang berorientasi hanya untuk penguatan kepentingan pengusa atau pihak dan kelompok tertentu saja. Selain itu, judicial review juga diperuntukan sebagai suatu lembaga yang berfungsi memperkecil bahkan menghilangkan adanya konflik normatif secara vertikal.

Prinsip dan pelaksanaan judicial review juga sangat erat kaitannya dengan kekuasaan dalam negara, baik hubungannya dengan kekuasaan negara dalam konsep pembagian kekuasaan (distribution of power),[7] maupun kekuasaan negara dalam konsep pemisahan kekuasaan negara (separation of power).[8] Adanya pembagian atau pemisahan kekuasaan ini bertujuan agar mencegah terjadinya konsentrasi kekuasaan di bawah satu tangan atau organ lembaga serta mencegah adanya campur tangan diantara organ atau lembaga negara. Dalam perspektif inilah desain judicial review di Indonesia dapat dikatakan belum menemukan bentuk yang ideal. Meski desain konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 24A ayat (1) dan Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, dianggap sebagai terobosan baru yang memberikan kejelasan bentuk dan pelembagaan pengujian peraturan perundang-undangan di Indonesia. Kenyataannya tetap saja menyisakan persoalan-persoalan lama dan menimbulkan persoalan baru yang mengundang perdebatan berikutnya.

Adanya dua lembaga kekuasaan kehakiman yakni MK dan MA yang diberi kewenangan untuk melakukan judicial review, sekalipun objek pengujian tersebut dibedakan, jelas menimbulkan dualisme kelembagaan fungsi judicial review. Masalah dualisme ini pada akhirnya memunculkan pertanyaan apakah kedudukan MK lebih tinggi daripada MA mengingat MK memiliki kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, sementara MA hanya menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang? Bagaimana jika undang-undang yang menjadi tolok ukur pengujian suatu peraturan di bawah undang-undang yang diajukan permohonannya ke MA, juga sedang dimintakan pengujiannya ke MK? Bagaimana jika MA memutuskan bahwa suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang bertentangan dengan undang-undang, pada saat bersamaan MK memutus bahwa undang-undang yang menjadi tolok ukur tersebut bertentangan dengan UUD 1945? Apakah dengan desain seperti ini akan tercipta kepastian hukum?

Belum lagi jika melihat beban MA yang sampai saat ini sudah sangat berat untuk memeriksa dan memutus perkara-perkara banding, kasasi dan peninjauan kembali. Tentu saja semakin diperberat dengan kewenangan untuk menguji peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang yang telah ternyata sangat banyak jumlahnya. Dari sejumlah pertanyaan tersebut akhirnya bermuara pada satu pertanyaan mendasar yaitu tentang lembaga negara mana yang sebetulnya ideal untuk diberikan kewenangan melakukan judicial review di Indonesia? (*)

(Bersambung Ke Bagian II : Kontrol Normatif Dalam Negara Hukum)

*) Penulis adalah Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Pasca Sarjana Universitas Jambi

____________
Catatan:

[1] Moh. Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang dasar 1945, (Jakarta: Yayasan Propanca, 1959), hlm. 332-344.

[2] Ketentuan tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 26 UU No. 14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman.

[3] Sri Soemantri, Hak Menguji Materil di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1982), hlm. 66.

[4] Berdasarkan Pasal 5 ayat (1) TAP MPR No. III tahun 2000, kewenangan pengujian UU terhadap UUD 1945 dan TAP diberikan kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat. Sementara pengujian peraturan di bawah undang-undang terhadap undang-undang tetap diberikan kepada Mahkamah Agung yang diatur dalam pasal 5 ayat (2), (3), dan (4) TAP MPR tersebut.

[5] Jimly Ashiddiqie, “Struktur Ketatanegaraan Indonesia Setelah Perubahan Ke-Empat UUD Tahun 1945”, makalah disampaikan dalam Simposium Nasional yang diselenggarakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dan HAM RI di Denpasar Bali, 14 – 18 Juli 2003, hlm. 1-2.

[6] Konsep negara hukum secara garis besar dapat diklasifikasikan ke dalam 3 (tiga) konsep besar, yaitu konsep rechtstaat yang berkembang di negara-negara Eropa Kontinental, konsep rule of law yang berkembang di negara Anglo Saxion, serta socialist legality yang berkembang dan diterapkan di negara-negara komunis. Kesamaan dari ketiga konsep tersebut yakni menjadikan hukum sebagai muara dari segala tindakan dalam kehidupan bernegara. Vide, Jimly Ashiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Jakarta: Mahkamah Konstitusi RI dan Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hlm. 124.

[7] Jhon locke membagi kekuasaan negara ke dalam 3 (tiga) jenis kekuasaan, yaitu eksekutif, legislatif dan federatif. Sebetulnya kekuasaan federatif yang dimaksud Jhon Locke telah masuk dalam kekuasaan erksekutif, karena kekuasaan federatif ini lebih pada kekuasaan untuk menyatakan perang dan damai, serta membuat hubungan dengan badan-badan luar negeri. Vide, Sunny, Pembagian Kekuasaan Negara, (Jakarta: Aksara Baru, 1982), hlm. 1-3.

[8] Montesquieu memisahkan kekuasaan negara menjadi tiga, yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif dan judikatif. Dalam konsep yang dikembangkan Montesquieu, pemisahan kekuasaan ini dimaksudkan agar tidak terjadi penumpukan kekuasaan dalam negara. Dengan demikian maka kekuasaan tersebut harus dipisah dengan konsekuensi bahwa kekuasaan yang satu dengan yang lainnya memiliki keseimbangan serta dapat saling mengontrol. Dalam perkembangannya, gagasan ini kemudian dikenal dengan istilah “separation of power” dan “check and balances”. Bandingkan dengan, Moh. Kusnardi dan Bintang Saragih, Susunan Pembagian Kekuasaan Menurut Sistem UUD 1945, Cet. Ketujuh, (Jakarta: Gramedia, 1994), hlm. 33-34.