Mengintip Istana Enam Presiden (2)

Saturday, August 20, 2011

Photo Google.com
Oleh:
Agus Dermawan T


Gus Dur Biru, Mega Merah-Putih, SBY 'Ijo Royo-royo'

Kiai Haji Abdurrahman Wahid alias Gus Dur berada di Istana Presiden selama 1999-2001. Pada masa pemerintahan Gus Dur, Istana Presiden dikembalikan menjadi rumah rakyat. Semua hal yang sifatnya protokoler dibikin kendur. Hampir setiap orang yang berkepentingan dipersilakan masuk ke Istana. Pada masa kekuasaannya, Gus Dur relatif hanya menggunakan istana yang di Jakarta saja.

Gus Dur pada prinsipnya membiarkan keadaan Istana Presiden seperti sediakala. Aneka keramik yang berbentuk vas besar, piring, guci dibiarkan tertata di sejumlah almari dan sudut-sudut ruang. Ada, memang, yang menawarkan perubahan materi interior. Namun Gus Dur menolaknya. "La, diubah bagaimanapun saya juga gak liat. Jadi, buat apa," katanya serius.

Gus Dur memiliki dua kantor kepresidenan di kompleks Istana Negara. Kantor itu, gedung Bina Graha, bekas kantor Presiden Soeharto, dan gedung sayap kiri Istana Negara. Interior kantor Presiden di Bina Graha tidak diubah sedikit pun. Bahkan pemisah ruangan berupa kulit bertatah wayang warisan Pak Harto, yang memisahkan ruang makan, tidak banyak bergeser. Begitu pula hiasan dinding di lorong kantor sayap kiri Istana. Lukisan Gajah Mada karya Henk Ngantung, serta lukisan pemandangan karya Basoeki Abdullah, terpajang tenang.

Sementara Gus Dur dan keluarganya tinggal di sayap kanan Istana Negara, di sini sentuhan seni istrinya, Siti Nuriyah Abdurrahman Wahid, tampak. Sebagian besar elemen rumah, dari gorden sampai permadani, didominasi warna biru. Alasannya, seperti diungkapkan First Lady: istana-istana negara yang pernah ia kunjungi di dunia tidak ada yang berwarna biru. Karena itu, keluarga Gus Dur memulainya. Sementara itu, di dinding tergantung khat atau gambar kaligrafi Arab.

Meski demikian, ada satu hal yang oleh Gus Dur diubah. Di dalam ruang Istana Presiden, apalagi di ruang kerja Presiden dan stafnya, harus bersih dari patung-patung tiga dimensi. Patung-patung tersebut, yang meliputi karya-karya seniman Indonesia dan seniman berbagai negara, lantas "dibuang" ke luar ruangan, seperti taman atau sehamparan lapangan luas. Patung-patung yang relatif kecil, oleh pihak pengelola benda seni Istana, dimasukkan ke gudang Sanggar Seni Rupa Istana Presiden.

Ada yang mengatakan bahwa ide "pembuangan" patung itu bukan murni dari Gus Dur, melainkan dari beberapa penasihatnya yang menganggap patung sebagai embrio berhala. Namun Gus Dur bertanggung jawab atas semua itu. Ia meyakini para penasihatnya paham bahwa pasal keberhalaan dalam Islam adalah "tafsir masa silam" yang sudah dikaji berdasarkan asbabul wurud (musabab, setting, latar belakang turunnya hadis). Sehingga patung-patung figuratif itu untuk masa sekarang sudah mubah, atau boleh. Jadi, "pembuangan" itu hanya soal estetika dekorasi Istana saja.


Mega yang artistik

Megawati Soekarnoputri sesungguhnya telah "menguasai" Istana sejak 1999, kala ia menjadi wakil presiden. Namun pada periode itu ia menahan diri karena, biar bagaimanapun, Gus Dur adalah bosnya. Pada 2001, ia mulai merasa bahwa Istana, yang sudah mewariskan sekitar 15 ribu benda seni, adalah rumah sejatinya.

Ketika Mega berada di Istana selama 2001-2004, Istana Presiden banyak mengalami perubahan. Ia membuat kantor kepresidenan dan ruang sidang kabinet di bagian tengah kompleks Istana Negara. Kantor ini mengambil gedung yang tadinya dipakai untuk Sanggar Seni Rupa Istana Presiden dan Puri Bhakti Renatama, museum craft dan art craft cendera mata dari seluruh dunia.

Mega lalu memindahkan koleksi dua "rumah seni" itu ke gedung Bina Graha, yang dulu dipakai sebagai kantor Presiden Soeharto. Dengan pemindahan itu, berarti lembaga Sanggar Seni Rupa Istana Presiden serta Puri Bhakti Renatama dibubarkan, dan diganti dengan lembaga yang lebih besar dengan tugas yang lebih kompleks: Museum Istana Kepresidenan.

Ihwal ruang kantor utama, Mega berupaya memberikan sentuhan pribadinya. Sejumlah lukisan dan elemen interior yang dipasang menyiratkan makna khusus dan fungsi yang jelas. Di sini ada karya Walter Spies, Roland Strasser, dan Trubus Sudarsono. Di sepojok lantai secara dekorasional ter-display kerajinan gading gajah, yang melambangkan power. Untuk menyempurnakan jagat tata ruang ini, Mega mengangkat Kris Danubrata, kerabatnya, sebagai staf khusus presiden non-struktural bidang seni-budaya.

Semasa era Megawati, Istana Presiden di seluruh Indonesia layak diapresiasi interior dan eksteriornya, juga mutu elemen-elemennya. Gampang dikenang keteduhan kantor presiden serta ruang tamu di Istana Merdeka. Kegairahan Ruang Film di Istana Bogor, yang diaksentuasi lukisan filosofis Basoeki Abdullah, Bila Tuhan Murka. Seremonialnya Ruang Tamu Negara Istana Tampaksiring, yang dihiasi lukisan Gusti Ketut Kobot sampai Wayan Gedot.

Yang unik, di Ruang Tunggu Tamu Istana Negara terpancang bendera kuning bergambar bintang, padi, dan kapas. Bendera ini pada masa pemerintahan Bung Karno dipakai untuk menandai keberadaan Presiden di Istana Negara. Apabila berkibar di puncak Istana Negara, berarti Presiden ada. Apabila tidak dikibarkan, berarti Presiden berada di luar Istana. Bendera penanda ini tak dipakai lagi pada masa pemerintahan Pak Harto, bahkan pada pemerintahan Megawati. Maka, apabila direnungkan, bendera ini bisa menjelma menjadi benda dokumentasi yang banyak bercerita tentang 21 tahun keberadaan Bung Karno di Istana. Pada era Mega, Istana banyak diaksentuasi warna merah dan putih!


Pemandangan SBY

Susilo Bambang Yudhoyono atau SBY resmi masuk Istana pada akhir 2004. Ia termasuk Presiden yang paling beruntung karena mendapat warisan Istana artistik dari pendahulunya, Megawati. Bahkan SBY tampak berbahagia ketika melihat Bina Graha telah menjadi Museum Istana Presiden. Pada Juli 2005, ia meninjau museum itu, dan berjanji akan mengajak para tamu negara seusai upacara 17 Agustus di Istana. Mengenai situasi interior dan eksterior Istana, SBY juga happy. Ia merasa tinggal bekerja saja, karena semuanya sudah jadi.

Tapi, lain SBY, lain pula para pembantunya. Penasihat Presiden tiba-tiba membongkar habis Museum Istana Presiden yang sudah apik dikemas. Ratusan lukisan, patung, keramik, dan perangkat wayang diringkus, dimasukkan ke gudang. Karena gudang tidak siap, koleksi yang berharga puluhan miliar rupiah itu diboyong memakai truk ke Istana Yogyakarta. Segenap pengelola Museum Istana Presiden kalang kabut.

Semasa pemerintahan SBY, keadaan Istana Presiden, terutama yang di Jakarta, Bogor, dan Cipanas, pelan-pelan berubah. SBY menginginkan suasana di Istana ijo royo-royo (hijau segar), menyenangkan, dan rekreatif. Itu sebabnya, taman bagian dalam Istana Merdeka dijadikan lapangan golf mini. Di Istana Negara, ada sport center yang bisa untuk main pingpong dan sebagainya.

Untuk ruangan, ia sangat suka memajang lukisan pemandangan yang berwarna cerah. Dari situ, ia lalu memerintahkan staf artistik Istana memburu lukisan yang realis fotografis, selaras dengan seleranya. Kini di ruang resepsi Istana Merdeka terpajang lukisan besar S. Baharrizki, pemandangan Gunung Sumbing. Di sisi-sisi lain bertebaran lukisan Yap Hian Tjay yang ringan dan manis. Di serambi Istana Cipanas dipasang lukisan-lukisan bertema bunga mekar. Di serambi itulah SBY kadang menyanyi dengan diiringi band. Ruang kerja SBY dipajangi foto-foto pribadinya yang aksi dalam bingkai yang rapi.

Bertolak dari itu, elemen-elemen interior yang bercorak ekspresif dan mengusung spirit vibrasi vitae terpinggirkan. Bahkan lukisan potret para Presiden RI yang sudah ada di Ruang Pelantikan Istana Negara juga akan diperbarui dengan yang lebih "sempurna". Atas lukisan potret ini, SBY telah memilih karya Ronald Manulang, pelukis super-realis Indonesia ternama.

SBY, dan tentu Ibu Ani Yudhoyono, memang lebih dekat dengan suasana hunian yang perfek, bercitra intelek dan halus, meski kadang terasa steril. Mirip penampilan dirinya di depan publik. *


*) Agus Dermawan T adalah Kritikus seni, penulis buku Istana-istana Presiden RI



Powered by:
Epaper Koran Tempo,
Sabtu, 20 Agustus 2011