Ilustrasi: google.com
Atas Putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara Nomor 32/Pid/B/1987/PT Sultra tanggal 11 Nopember 1987 tersebut maka terdakwa menyatakan kasasi ke Mahkamah Agung RI. Kemudian Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 1644 K/Pid/1988 tanggal 15 Mei 1991 pada pokoknya menyebutkan bahwa Mahkamah Agung setelah memeriksa perkara ini berpendirian yudex factie dinilai telah salah menerapkan hukum sehingga putusannya harus dibatalkan dan selanjutnya Mahkamah Agung RI mengadili sendiri perkara tersebut. Pada hakikatnya pendirian Mahkamah Agung berdasarkan pertimbangan hukum sebagai berikut:
- Bahwa terdakwa yang oleh Kepala Adat harus membayar seekor kerbau dan satu piece kain kaci karena telah melakukan pelanggaran adat itu adalah merupakan suatu hukuman adat (sanksi adat). Hukuman mana telah dijalani terdakwa.
- Bahwa hukuman adat tersebut adalah sepadan dengan kesalahan terhukum sehingga menurut ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU Drt Nomor 1 Tahun 1951 sehingga terdakwa tidak dapat dijatuhi hukuman pidana lagi oleh pengadilan.
- Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas maka Mahkamah Agung kemudian membatalkan putusan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara dan mengadili sendiri perkara tersebut dengan menyatakan tuntutan penuntut umum pada kejaksaan negeri Kendari tidak dapat diterima dan membebankan biaya perkara kepada negara.
Konklusi dasar dari yurisprudensi Mahkamah Agung tersebut menentukan bahwa Mahkamah Agung RI sebagai Badan Peradilan Tertinggi di Indonesia tetap menghormati putusan Kepala Adat (Pemuka Adat) yang memberikan “sanksi adat” terhadap para pelanggar norma hukum adat. Badan Peradilan Umum tidak dapat dibenarkan mengadili untuk kedua kalinya pelanggar hukum adat tersebut dengan cara memberikan pidana penjara (ex Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana). Oleh karena itu, konsekuensi logisnya dapat dikatakan bahwa bila Kepala Adat tidak pernah memberikan “sanksi adat” terhadap pelanggar hukum adat, maka hakim badan peradilan negara berwenang penuh mengadilinya berdasarkan ketentuan Pasal 5 ayat (3) sub b UU dart Nomor 1 tahun 1951 jo pasal-pasal KUH Pidana.
Berikutnya penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal dalam bentuk lain pada praktik peradilan tingkat pertama terdapat dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Utara-Timur Nomor: 46/Pid/78/UT/WAN tanggal 17 Juni 1978 dimana dalam perkara Ny. Ellya Dado, lazim disingkat sebagai “Kasus Ny. Elda”, adanya penyelesaian secara “perdamaian” maka perbuatan diantara para pihak tidak merupakan suatu kejahatan atau pelanggaran yang dapat dihukum lagi, dan oleh karenanya melepaskan tertuduh dari segala tuntutan hukum. Dalam dimensi lain, ternyata pada saat kini ratio decidendi putusan tersebut juga dipergunakan oleh Mahkamah Agung RI dalam mengadili perkara pada tingkat Peninjauan Kembali Nomor: 107 PK/Pid/2006 tanggal 21 November 2007.
D. KONKLUSI DAN REKAPITULASI
Penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia dari perspektif pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik eksistensinya antara “ada” dan “tiada”. Dikatakan demikian, di satu sisi oleh karena mediasi penal dalam ketentuan undang-undang tidak dikenal dalam Sistem Peradilan Pidana akan tetapi dalam tataran di bawah undang-undang dikenal secara terbatas melalui diskresi penegak hukum, terbatas dan sifatnya parsial. Kemudian, di sisi lainnya ternyata praktik mediasi penal telah dilakukan oleh masyarakat Indonesia dan penyelesaian tersebut dilakukan di luar pengadilan seperti melalui mekanisme lembaga adat.
Pada tataran di bawah undang-undang penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal diatur dalam Surat Kapolri No Pol: B/3022/XII/2009/SDEOPS tanggal 14 Desember 2009 tentang Penanganan Kasus Melalui Alternatif Dispute Resolution (ADR) serta Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2008 Tentang Pedoman Dasar Strategi dan Implementasi Pemolisian Masyarakat Dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Kemudian dalam Inpres No. 8 Tahun 2002 tentang pemberian Jaminan Kepastian Hukum kepada Debitur yang Telah Menyelesaikan Kewajibannya atau Tindakan Hukum kepada Debitur yang Tidak Menyelesaikan Kewajibannya Berdasarkan Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham.
Kemudian dalam praktek ternyata penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal pernah dilakukan. Hal ini misalnya, dilakukan oleh Majelis Adat Dayak Nasional (MADN) melalui Persidangan Dayak Maniring Tuntang Menetes Hinting Buceh Banu terhadap Tamrin Amal Tamagola, budaya “bakar batu” di Papua, Peradilan Gampong atau Peradilan Damai di Aceh Nanggroe Darussalam, dan melalui putusan badan peradilan (Mahkamah Agung/Pengadilan Negeri).
Melalui dimensi perspektif pengkajian Asas, Norma, Teori dan Praktik maka dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia sudah waktunya apabila penyelesaian perkara di luar pengadilan melalui mediasi penal diatur secara tegas dalam produk undang-undang khususnya terhadap perkara yang sifatnya ringan, kecil, bersifat pribadi dan dilakukan oleh pelaku dalam masa psikologis relatif baru berkembang sehingga kedepan diharapkan dapat menekan penumpukan perkara kebadan peradilan.(*)
______
Penulis:
Dr Lilik Mulyadi SH MH
Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis Buku Ilmu Hukum dan Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Email: lilikmulyadi@yahoo.com
Dr Lilik Mulyadi SH MH
Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Merdeka Malang dan Universitas Muhammadiyah Malang. Penulis Buku Ilmu Hukum dan Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.
Email: lilikmulyadi@yahoo.com