Mewujudkan Birokrasi Ramping dan Kaya Fungsi

Thursday, May 19, 2011

Pada awal 2004, masyarakat Indiana, AS, pernah dikagetkan dengan penampilan seorang gadis bernama Jessica pada satu talk show. Pasalnya, Jessica memiliki postur yang amat gemuk yang membuatnya hanya mampu berjalan beberapa meter sehari. Keadaannya amat memprihatinkan.

Analogi ini memberi ilustrasi postur struktur birokrasi yang ada saat ini. Akibat jumlah dan jenis jabatan yang begitu besar, birokrasi tersebut di sana sini terlihat tumpang tindih baik di lingkungan masing-masing kementerian ataupun antarkementerian. Wilayah tumpang tindih itu diperbesar dengan kehadiran yang kelihatannya sudah mendekati seratus satgas, komnas, dewan, badan, dan lembaga negara yang bersifat ad hoc. Demikian juga kehadiran wakil menteri di beberapa kementerian terkesan masih mencari bentuk karena terlihat tumpang tindih dengan peran sekjen di kementerian tersebut. Suasana ini semakin tidak efisien dengan kehadiran staf khusus menteri yang terkesan hanya menyuburkan praktek politisasi birokrasi. Akibatnya struktur birokrasi yang ada sangat gemuk sehingga seringkali tidak mampu bergerak cepat mengatasi masalah-masalah nyata yang dihadapi oleh masyarakat.


Reformasi Birokrasi

Pada priode kedua Kabinet Indonesia Bersatu, salah satu prioritasnya adalah mereformasi birokrasi. Diawali di Kementerian Keuangan, beberapa kementerian, termasuk TNI dan Polri sudah melakukan reformasi dan sudah mulai mendapatkan renumerasi yang lebih layak dibanding kementerian lain yang belum bereformasi.

Kelihatannya prioritas peningkatan kesejahteraan bagi jajaran Kementerian Keuangan adalah untuk membebaskan mereka dari godaan KKN, namun maksud tersebut berbeda dengan kenyataan. Terungkapnya berbagai kasus kejahatan perbankan dan kasus “mafia pajak” Gayus Tambunan telah merubuhkan mitos bahwa dengan gaji yang lebih besar, akan terwujud ketatapemerintahan yang terbebas dari segala bentuk penyimpangan.

Inti masalahnya, hemat saya bukan pada renumerasi melainkan pada ketidakjelasan konsep dan arah yang tegas untuk membenahi birokrasi tersebut. Jika yang dibenahi adalah ekor masalahnya, sama halnya membuang garam ke laut. Lalu lintas macet buat lagi satgas antimacet, ada banjir lahar dingin bentuk lagi satgas lahar dingin. Pendekatan simptomatis seperti itu membuat birokrasi semakin bertambah gemuk, mudah berbenturan di sana-sini dan pada akhirnya tidak bisa bergerak lebih fleksibel menjawab tantangan yang ada.

Meminjam pandangan Ghandi, pemerintahan sesungguhnya adalah alat untuk melayani rakyat, memajukan individu dan masyarakat yang tertinggal (swaraj). Mereka dilayani dan diperjuangkan kepentingannya karena mereka lemah. Semakin maju taraf kehidupan mereka, birokrasi yang mewakili dan memperjuangkan kepentingannya semakin berkurang perannya. Meski tidak mungkin dicapai suatu kondisi di mana tidak diperlukan sama sekali birokrasi, otoritasnya harus semakin berkurang bila masyarakat sudah semakin maju. Mungkin itulah alasannya mengapa Presiden Gus Dur pernah membubarkan Kementerian Penerangan dan Kementerian Sosial, karena peran itu dinilai sudah dapat ditangani sendiri oleh masyarakat tanpa dominasi peran pemerintah. Jika masyarakat sudah tertib berlalu lintas, aman, mematuhi semua aturan yang ada, mungkin juga Gus Dur akan membubarkan kepolisian. Sekiranya Gus Dur memimpin bangsa ini lebih lama mungkin semakin banyak kementerian yang dibubarkan.

Di negara-negara maju, memang struktur birokrasinya lebih ramping, jumlah kementeriannya lebih sedikit (bervariasi 12-20), tapi kaya fungsi. Yang berkembang adalah jabatan fungsional atau keahlian. Akibatnya, orang berlomba-lomba belajar untuk memperoleh keahlian dan mengusai ilmu pengetahuan, bukan berlomba-lomba menjadi pejabat.

Rasionalisasi Unit-Unit Birokrasi

Jika konsepnya adalah merampingkan struktur birokrasi, namun memperkaya fungsinya, pengalaman Sumatera Utara dapat dijadikan contoh. Pada 2008, pemerintah provinsi ini telah menghapus 237 jabatan strukturalnya karena dinilai tidak fungsional dan amat membebani keuangan daerah (Kompas, 14-10-2008). Jika semua provinsi melakukan hal yang sama, dapat dihilangkan 7.821 jabatan yang tidak perlu. Dapat dibayangkan betapa besar anggaran negara yang dapat dihemat untuk kepentingan lain, misalnya, untuk pemajuan daerah tertinggal.

Belajar dari terobosan tersebut, setiap kementerian dan lembaga pemerintahan nonkementerian di pusat dan daerah dapat melakukan rasionalisasi internal dan eksternal untuk menata kembali unit-unit birokrasinya. Kementerian Hukum dan HAM, misalnya, yang memiliki 11 unit utama, salah satu di antaranya yakni Ditjen Pemasyarakatan memiliki 4.784 jabatan struktural. Dapat dibayakan betapa banyak jabatan yang tersedia di kementerian ini. Kementerian ini memiliki tiga badan, yakni Balitbang HAM, Badan Pengembangan SDM, dan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) yang kelihatannya bisa dijadikan satu atau paling banyak dua. Demikian juga enam ditjen lainnya, di sana-sini terlihat begitu banyak tugas pokoknya yang dapat digabungkan. Dalam hal penyusunan dan perancangan undang-undang, BPHN dan Ditjen Peraturan Perundang-undangan dapat disinergikan. Demikian pula Ditjen HAM memiliki tugas pokok yang hampir sama dengan Balitbang HAM dalam hal kajian kebijakan dan standardisasi teknis di bidang HAM sehingga cukup rasional bila disatukan. Ditjen Imigrasi dan Ditjen Pemasyarakatan juga dapat bekerja sama dalam pengelolaan Rumah Detensi (Tahanan) Imigrasi sehingga efisiensi internal dapat dilakukan dan interaksi profesional sesama warga pengayoman terwujud.

Yang juga perlu ditata ulang adalah unit-unit birokrasi yang tumpang tindih lintas kementerian. Dalam urusan HAM misalnya, terlihat begitu banyak institusi dan kementerian terkait. Meskipun hampir semua negara di dunia urusan HAM berada di bawah koordinasi Kementerian Luar Negeri, Indonesia memilih lain. Begitu juga urusan Hak Kekayaan Intelektual (HKI), di negara-negara maju urusan ini berada di Kementerian Perdagangan, Perindustrian, Ristek atau Pendidikan. Juga, urusan imigrasi, di berbagai negara disatukan dengan kepolisian di bawah koordinasi Kementerian Dalam Negeri. Karena itu, melalui rasionalisasi birokrasi, isu HAM, HKI dan Imigrasi, misalnya, dapat dikaji kemungkinannya diintegradikan ke lingkup kementerian yang lebih relevan.

Iklim birokrasi seperti itu juga terjadi di lingkungan BUMN. Besarnya arus kepentingan politik di tubuh BUMN mengakibatkan inefisiensi, pengabaian asas-asas kompetensi dan profesionalitas dalam pengelolaannya. Akibatnya, tidak mengherankan bila pada 2009 laba 158 BUMN termasuk Pertamina hanya berkisar 7 miliar dolar AS. Bandingkan dengan hanya satu perusahaan kecil di Malaysia yakni Petronas bisa mendapatkan laba 20 miliar dolar AS (vivanews.com, 25-3-2010).

Semua realitas pahit ini seharusnya menyadarkan kita bahwa birokrasi kita sungguh-sungguh perlu dibenahi.

Karena itu, untuk sementara moratorium renumerasi perlu dilakukan sambil menunggu hasil rasionalisasi jenis jabatan di semua lini birokrasi di pusat dan di daerah, termasuk BUMN dan semua institusi negara yang bersifat ad hoc. Apabila reformasi birokrasi dilakukan hanya sepotong-sepotong, tanpa keberanian melakukan penataan secara menyeluruh, kelihatannya akan melahirkan masalah baru yang lebih rumit. Jika renumerasi dilakukan hanya untuk instansi-instansi tertentu, dapat menimbulkan kecemburuan dan instabilitas birokrasi yang dapat mengganggu prestasi kolektif Kabinet Indonesia Bersatu Kedua ini.

Memang, kendala yang mungkin muncul bila reformasi total dilakukan adalah adanya resistensi atau penolakan dari mereka yang selama ini diuntungkan oleh struktur birokrasi yang gemuk. Para menteri atau pejabat yang berlatar belakang partai politik, kelihatannya dinilai sebagai sumber pencemaran birokrasi. Sebab, mereka sulit menghindar dari kepentingan partainya untuk memperoleh beragam kepentingan termasuk permainan jabatan-jabatan internal kementerian dan penerimaan CPNS sebagai salah satu bentuk kado balas jasa kepada partainya, meski mungkin kado seperti itu belum begitu istimewa. Semoga pencemaran birokrasi seperti itu dapat diatasi sehingga akan segera terwujud birokrasi yang ramping tapi kaya fungsi demi hari depan dan keselamatan kita bersama sebagai bangsa yang tidak ingin tertinggal dari bangsa lain.


Penulis: Hafid Abbas.
Guru Besar FIP UNJ, mantan Dirjen Perlindungan HAM dan Konsultan UNESCO

( Sumber : Lampung Post , Selasa 10 Mei 2011)