Legal Opinion: Ancaman Bagi Lingkungan Hidup di Pulau Terkecil (Bagian I)

Thursday, May 19, 2011

Sebuah Legal Opini tentang Rencara Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT) di Kabupaten Kutim, Ancaman bagi Lingkungan Hidup di Pulau Terkecil.


Kasus Posisi

PT Emas Jaya Rahayu dan East Kutai Regeny berencana untuk melakukan mengembangkan pulau terpencil di Kutai Timur , yakni area miang besar sebagai terminar batubara yang terbuka untuk umum dengan membangun fasilitas-fasiltas penunjang . Pada dasarnya proyek itu dibangun untuk dapat bisa melayani perusahaan-perusahaan batubara yang ada di Kutai Timur dan daerah lainnya dikalimantan.

Proyek ini dinamakan dengan Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT), ini dirancang untuk melayani perusahaan batubara untuk kapasitas 270.000 ton sampai 1 juta ton. Untuk Pelabuhan akan mempunyai kapasitas pengiriman 40-60 ton pertahun.

Pulau miang besar, dari analisa yang ada mempunyai kedalaman mencapai 30 meter dengan jarak 250 meter dari garis pantai, merupakan lokasi yang strategis dalam pengembangan terminal bongkar muat batubara dikawasan itu. pulau ini mempunyai kedalaman alur rata-rata kurang lebih 35 menit untuk mencapai lokasi pelabuhan, sehingga kapal-kapal pengirim batubara diperkirakan tidak akan kandas dan jaraknya tidak terlalu jauh.

Rencana terminal bongkar muat batubara dipulau miang besar sudah dilakukan design awal, tinggal suryei lebih lanjut untuk penyempurnaan design akhir, jika ini sudah mendapat persetujuan dari pemerintah.

Dari suryai hidrografi dan lokasi perencanaan dan areal bongkar muat tongkang batubara dengan menitikberatkan diupayakan tidak berakhibat terumbu karang, hal ini untuk menghindari kerusakan pada lokasi tersebut .

Topofragi dan Perencanaan awal diperoleh dari data bakosurtanal, untuk ini akan dimastikannya. Jika sudah ada persetujaun dari pemerintah, maka akan dilakukan pengoboran pada daratan dan lepas pantai untuk meletakan pondasi daratan.


Isu Hukum

Apakah Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT) di Kutim sesuai dengan pengelolaan pulau kecil pada UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau –Pulau Kecil?


Fakta Hukum

1. PT emas jaya rahayu dan East kutai regeny berencana untuk melakukan mengembangkan pulau terpencil di Kutai Timur , yakni Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT) di Kutim, sebagai area miang besar sebagai terminar batubara;

2. Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT), ini dirancang untuk melayani perusahaan batubara untuk kapasitas 270.000 ton sampai 1 juta ton. Untuk Pelabuhan akan mempunyai kapasitas pengiriman 40-60 ton pertahun;

3. Sudah dilakukan design awal, tingal survey menunggu ijin dari pemerintah, kemudian akan dilakukan pengoboran pada daratan dan lepas pantai untuk meletakan pondasi daratan;


Konsep Hukum.

Menurut filosofi UU No. 43 Tahun 2008 tentang Wialyah Negara, Indonesia sebagai negara kepulauan yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayahnya serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya dan kewenangan tertentu lainnya untuk dikelola dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A mengamanatkan bahwa, Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-haknya ditetapkan dengan undang-undang. Bahwa wilayah negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menganut sistem:

a. pengaturan suatu Pemerintahan negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia;

b. pemanfaatan bumi, air, dan udara serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk sebesar – besarnya kemakmuran rakyat;

c. desentralisasi pemerintahan kepada daerah-daerah besar dan kecil yang bersifat otonom dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia; dan

d. kesejahteraan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia..

Berdasarkan Konvensi hokum laut PBB, 1982 (United Nations Convention on the Law of the Sea) sebut UNCLOS 1982, dan ratifikasi dengan UU No,17 Tahun 1985. Indonesia merupakan Negara kepuluan dengan kedaulatan dan laut perairan yang terdiri atas perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut territorial , bersifat dinamis dan memiliki kekayaan SDA yang akan penting bagi perekonomian dan pembangunan.

UU No.27 tahun 2007 tentang pengelolaaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, bahwa secara filosofi merupakan bagian dari SDA yang diberikan Tuhan Yang maha Esa dan dikuasai oleh negqra, perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat, baik generasi sekarang maupun bagi generasi yang akan datang.

Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecial, memiliki keragaman potensi SDA yang tingggi= dan sangat penting dlam pengembangan social ekonomi, budyaa dan lingkungan , penyangga kedaulatan rakyat, sehingga perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasan nusantara . Menurut pasal 1 UU No.27 Tahun 2007, antara lain:

1. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat;

2. Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km² (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.

3. Ekosistem adalah kesatuan komunitas tumbuh-tumbuhan, hewan, organisme dan non organisme lain serta proses yang menghubungkannya dalam membentuk keseimbangan, stabilitas, dan produktivitas.

4. Rencana Aksi adalah tindak lanjut rencana pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memuat tujuan, sasaran, anggaran, dan jadwal untuk satu atau beberapa tahun ke depan secara terkoordinasi untuk melaksanakan berbagai kegiatan yang diperlukan oleh instansi Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pemangku kepentingan lainnya guna mencapai hasil pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-pulau kecil di setiap Kawasan perencanaan.

5. Hak Pengusahaan Perairan Pesisir, selanjutnya disebut HP-3, adalah hak atas bagian-bagian tertentu dari perairan pesisir untuk usaha kelautan dan perikanan, serta usaha lain yang terkait dengan pemanfaatan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang mencakup atas permukaan laut dan kolom air sampai dengan permukaan dasar laut pada batas keluasan tertentu;

6. Konservasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah upaya perlindungan, pelestarian, dan pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta ekosistemnya untuk menjamin keberadaan, ketersediaan, dan kesinambungan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan tetap memelihara dan meningkatkan kualitas nilai dan keanekaragamannya;

7. Dampak Besar adalah terjadinya perubahan negatif fungsi lingkungan dalam skala yang luas dan intensitas lama yang diakibatkan oleh suatu usaha dan/atau kegiatan di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

8. Masyarakat Adat adalah kelompok Masyarakat Pesisir yang secara turun-temurun bermukim di wilayah geografis tertentu karena adanya ikatan pada asal-usul leluhur, adanya hubungan yang kuat dengan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta adanya sistem nilai yang menentukan pranata ekonomi, politik, sosial, dan hukum.

9. Masyarakat Lokal adalah kelompok Masyarakat yang menjalankan tata kehidupan sehari-hari berdasarkan kebiasaan yang sudah diterima sebagai nilai-nilai yang berlaku umum tetapi tidak sepenuhnya bergantung pada Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tertentu.

10. Masyarakat tradisional adalah masyarakat perikanan tradisional yang masih diakui hak tradisionalnya dalam melakukan kegiatan penangkapan ikan atau kegiatan lainnya yang sah di daerah tertentu yang berada dalam perairan kepulauan sesuai dengan kaidah hukum laut internasional.

11. Kearifan Lokal adalah nilai-nilai luhur yang masih berlaku dalam tata kehidupan masyarakat.

Konsep interrated coastal management merupakan pedoman dalam pengaturan pemanfaaatn dan pengelolaan SDA diwilayah pesisir dengan memperhatikan lingkungan, implemntasi dilakukan sebagai upaya mengatasi konflik dalam pemanfaatan sumber daya diwilayah pesisir.


Analisis Hukum

1. Proyek Miang Besar Coal Terminal (MBCT) di Kutim, Menurut UU 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau –Pulau Kecil

UU N0.27 Tahun 2007 tentang Pengelolaaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau kecil disebut kemudian dengan PWP-PK, merupakan dasar bagi pengaturan pengelolaan wilayah pesisir. Peraturan perundang-undangan yang mempunyai keterkaitan pengelolaan sumberdaya di wilayah pesisir sebagain besar bersifat sektor yang mengatur sector-sektor pembangunan tertentu, yang secara langsung maupun tidak langsung dapat dikaitkan dengan pengelolaan pesisir. UU PWP-PK terdiri atas norma-norma pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil yang disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan , pengelolaan, pengendalian, dan pengawasan dengan memperhatikan norma-norma yang diatur dalam perundang-undangan lainnya. Pasal 6 UU PWP-PK, disebutkan bahwa,

Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 wajib dilakukan dengan cara engintegrasikan kegiatan:

a.antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah;

b.antar-Pemerintah Daerah;

c.antarsektor;

d.antara Pemerintah, dunia usaha, dan Masyarakat;

e.antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan

f. antara ilmu pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen

(Bersambung)

______
Penulis: 
Siti Kotijah SH MH, 
Dosen Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda. 
Kontak person: 081 347 216635. Email: fafa_law@yahoo.com