Wacana Pembubaran Front Pembela Islam

Monday, April 2, 2012

Oleh: Eko Suprianto, 
 

Wacana pembubaran Front Pembela Islam (FPI) oleh massa yang mengatasnamakan Gerakan Indonesia Tanpa FPI yang “menggelar aksi damai” di Bundaran HI, Jakarta Pusat, Selasa (14/2). Dalam aksinya mereka menentang aksi-aksi kekerasan yang kerap dilakukan ormas Islam tersebut.

Begitupun juga, Sabtu lalu, sekitar 5.000 masyarakat dayak di Kalimantan tengah berunjuk rasa menolak kehadiran FPI. Massa menegaskan penolakan bukan karena sentimen agama, melainkan selama ini FPI dinilai identik dengan kekerasan dan anarkisme. Massa juga mendatangi Bandar Udara Cilik Riwut, Palangkaraya. Akibatnya empat pengurus FPI dari Jakarta yang tiba dengan pesawat Sriwijaya Air tidak jadi turun dan kembali diterbangkan ke Jakarta.

Sebelumnya, massa juga sempat membakar tenda dan merusak sebuah rumah di Jalan Karet, Palangkaraya, yang diduga akan dijadikan tempat menginap empat pengurus FPI tersebut.

Gubernur Kalimantan Tengah, Agustin Teras Narang, menggelar pertemuan tertutup membahas penolakan kehadiran Front Pembela Islam (FPI) oleh masyarakat dayak. Pertemuan yang berlangsung di Palangkaraya, Senin (13/2), dihadiri seluruh pimpinan agama, organisasi masyarakat, forum koordinasi pimpinan daerah, serta tokoh masyarakat. Pertemuan ini menghasilkan pernyataan sikap bersama, yakni semua pihak wajib menjaga kebersamaan serta kerukunan antarumat beragama dengan menghindari upaya adu domba.Sebab, penolakan terhadap FPI tidak ada kaitannya dengan agama dan suku.

Menurut penulis, terdapat 4 langkah strategis yang bisa dilakukan pemerintah dalam mereformasi dan merevitalisasi konsep ‘Ormas” ini yaitu pertama, Pemerintah tidak dapat menjadikan UU No 8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan sebagai acuan untuk membubarkan Front Pembela Islam (FPI), mengingat UU itu tak lagi sejalan lagi dengan semangat reformasi dan perwujudan masyarakat madani. Toh pada kenyataannya, wacana pembubaran Front Pembela Islam yang diinisasi Kementerian Dalam Negeri dinilai tepat. Sebab, pembubaran itu sesuai Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang organisasi kemasyarakatan.

Kedua, Jika pemerintah ingin membubarkan sebuah ormas, termasuk FPI, harus ada acuan baru, yakni dengan melakukan perubahan terhadap UU Tentang Ormas yang lebih demokratis dan mendukung perwujudan masyarakat madani. Ketiga,UU tentang organisasi kemasyarakatan itu dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No.18 tahun 1986. “Istilahnya bukan dibubarkan, tapi dibekukan”, berdasarkan UU pihak yang berwenang menangani pembekuan ormas ialah Menteri Dalam Negeri dan institusi lain yang membidangi soal itu. Tentang waktu pembubaran terhadap FPI, namun yang jelas pemerintah “seyogyanya” memberi dua kali peringatan sebelum meminta fatwa Mahkamah Agung untuk membekukan kegiatannya.Dan Keempat, Menurut Penulis, Pelaksana UU No 8/1985 tentang Ormas adalah Kemendagri. Termasuk kemungkinan pemberian sanksi terhadap ormas. Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Gamawan Fauzi seyogyanya melakukan evaluasi, bahkan membubarkan keberadaan organisasi masyarakat (ormas) yang melakukan tindakan anarkistis.

Efek dan Aroma Kekerasan

Rangkaian kekerasan di bumi tercinta ini sungguh mengkhawatirkan, apalagi jika terjadi di lingkungan “negeri yang terkenal santun di dunia” yang notabebe sarat dengan nilai-nilai etika dan moral.

Besarnya efek dan aroma kekerasan ini telah menguatkan stigma “buruk” atas ormas ini, dan bahkan membuat sebagian kalangan berusaha memberikan plesetan arti dari FPI sebagai suatu bentuk kekecewaan yang mendalam. Diantaranya FPI diartikan sebagai Front Pembunuh Islam, Front Penganiayaan Indonesia, dan banyak lagi arti dan kepanjangan lainya.

Dalam Undang-undang Nomor No 8/1985 tentang Ormas “negeri yang terkenal santun di dunia”, Bab I, Pasal 1, “Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan Organisasi Kemasyarakatan adalah organisasi yang dibentuk oleh anggota masyarakat Warganegara Republik Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama, dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, untuk berperanserta dalam pembangunan dalam rangka mencapai tujuan nasional dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila”.

Belum lagi makna-makna “negeri yang terkenal santun di dunia” yang kemukakan oleh para ahli dan filsuf “negeri yang terkenal santun di dunia” seperti Aristoteles, Socrates, John Dewey, Ki Hajar Dewantoro dan lain sebagainya. Semua tokoh diatas memaknai “negeri yang terkenal santun di dunia” dengan suasana kasih sayang, penuh keteladanan, dan melalui komunikasi pedagogis yang harmonis untuk melahirkan pribadi-pribadi yang berbudi luhur serta bermanfaat bagi masyarakat.

Merujuk kepada makna di atas maka sangat tidak masuk akal jika proses “negeri yang terkenal santun di dunia” ada seperti ormas FPI mengakomodir pola-pola “anarkisme” yang identik dengan kekerasan. Sejauh pengamatan penulis, program penggemblengan mental dan fisik di institusi militer pun tidak sebrutal konsep ala FPI. Sebagai sebuah ormas islam di “negeri yang terkenal santun di dunia” yang bertujuan untuk mencetak “mujahid” negara yang berkualitas dan pelayan masyarakat yang baik, seharusnya FPI menjauhi konsep ala militer yang penuh dengan aroma kekerasan yang tidak manusiawi.

Ketika sebuah lembaga atau ormas yang ada di “negeri yang terkenal santun di dunia” telah dianggap gagal menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan dipraktekkannya budaya kekerasan yang berujung kepada “kekerasan-kerusakan” maka adakah solusi lain yang lebih tepat daripada opsi pembubaran. Opsi pembubaran dilakukan bukan untuk aksi “lepas tangan” pemerintah dan pihak terkait atas kasus ini tapi sebagai bentuk pertanggungjawaban pemerintah untuk secara serius menghentikan budaya kekerasan yang sudah turun-temurun dilakukan, bahkan sudah menjadi tradisi seremonial yang legal.

Akankah kita masih menyiapkan dan merelakan anak-anak muda penerus estafet perjuangan bangsa ini untuk menjadi korban kekerasan untuk yang kesekian kalinya? Siapa yang bisa menjamin jika FPI hanya dirombak sistemnya, kekerasan yang berujung “kekerasan-kerusakan” tidak akan terulang kembali, sementara kultur dan pengasuh-pengasuhnya masih berjiwa “Lama”? Rasanya masyarakat akan sulit lagi mempercayainya karena faktanya selalu terulang dan terulang kembali.

FPI: Representasi Budaya kita?

Begitu kasus ini mencuat, seluruh elemen bangsa pun bersimpati dan mengutuk segala praktek kekerasan yang terjadi. Bangsa ini seakan terbangun kembali dari tidur panjangnya dan tiba-tiba terhenyak, mengapa peristiwa kekerasan ini terulang kembali? Bukankah telah dibentuk tim untuk mengevaluasi dan menginvestigasi dan merekomendasikan langkah-langkah strategis terkait sistem, kurikulum dan manajemen ormas berwibawa ini? Lalu apa bedanya dengan tim yang saat ini dibentuk oleh presiden atau belum?

Harus diamini bersama bahwa bangsa ini memang layak disebut bangsa yang pelupa, betapa tidak? Sudah seringkali kita dikejutkan dengan peristiwa atau kasus yang selalu menghebohkan baik berupa bencana, korupsi, dagelan politik, praktek amoral dari pejabat negara dan lain sebagainya.Tapi berkali-kali pula kita lupa seakan peristiwa itu hilang di memory otak kita sehingga lagi-lagi kita belajar dari nol, kembali dengan sebutan pengusutan, evaluasi, rekomendasi dan terakhir perombakan sistem, culture, dan manajemen. Toh..semua itu telah dilakukan, lalu mengapa peristiwa kekerasan itu terjadi lagi dan terulang kembali? Sungguh aneh tapi nyata.

Rasanya memang tidak cukup bijak jika kita hanya menujukan kesalahan ini kepada satu pihak atau satu masalah saja. Karena setidaknya FPI hadir bukan tanpa konsep dan tujuan, dia tidak lahir dari hubungan tidak syah, namun dia hadir dengan konsep-konsep dasar yang telah digodok oleh tim yang bagus pula. Tanggungjawab pidana harus dikenakan kepada pihak-pihak yang melakukan penganiayaan dan pihak-pihak yang mengetahui, membiarkan, dan merestui pola-pola kekerasan FPI. Sementara tanggungjawab moral harus kita pikul bersama. Jika konsepnya menyalahi Undang-undang “negeri yang terkenal santun di dunia” maka harus kita sesuaikan dengan undang-undang.Jika sistemnya salah, maka ganti sistem dan prosedurnya.Jika budayanya yang tidak manusiawi maka ganti dengan budaya dan miliu yang humanis. Reformasi menyeluruh ini dapat diwujudkan melalui kerjasama sinergis antara semua stakeholder FPI atas seluruh aspek yang ada FPI. Namun melihat fakta yang terjadi FPI sepertinya opsi pembubaran akan lebih tepat dilakukan, hal ini mengingat tingkat kerusakan sistem, manajemen, metodologi dan kurikulum serta mileu sudah sedemikian parahnya. Pada moment krusial ini dibutuh ketegasan dalam mengambil keputusan agar kita tidak terperosok ke jurang yang sama untuk yang kesekian kalinya.

Namun jika kita meluaskan sudut pandang berfikir dalam kontek keindonesiaan, kasus kekerasan FPI ini merupakan bagian terkecil dari pola-pola kekerasan yang terjadi di seluruh aspek kehidupan bangsa ini.Masih banyak praktek-praktek atau tindakan-tindakan kekerasan lainnya yang diwujudkan melalui pemaksaan kehendak, kesewenang-wenangan dan ketidak-adilan yang dilakukan oleh pemerintah, masyarakat dan pihak-pihak lainnya. Terkait dengan budaya kekerasan, budayawan kondang Emha Ainun Najib berkeyakinan bahwa kekerasan FPI ini hanya kekerasan di tingkat rendah di tengah kekerasan pemerintah dan kekerasan pihak-pihak di Indonesia terhadap rakyat kecil.

Kiranya seluruh masyarakat dan elemen ini bisa merenung kembali atas segala praktek dan budaya kita yang memang penuh dengan kemunafikan dan keegoisan semata. Budaya berfikir pragmatis sesaat tanpa mempertimbangkan prospek jangka panjang yang berkesinambungan, budaya berfikir materialistis yang hanya mengejar kekayaan dan kesuksesan parsial, budaya tidak tahu malu yang berlatar individulistis dan banyak lagi budaya “bodoh” yang tetap kita praktekkan dalam kehidupan sehari-hari kita dalam kontek bermasyarakat dan bernegara. Budaya kekerasan di segala aspek kehidupan termasuk budaya, politik, sosial, dan agama telah menjadi nafas berfikir kita.

Dan ironisnya lagi, kadangkala kita menyadari hal tersebut sebagai sebuah kesalahan namun pada saat lain dengan kontek yang berbeda kita mempraktekkannya pula. Akibatnya muncullah pribadi-pribadi luhur nan agung di suatu saat namun di saat yang berbeda, pribadi-pribadi tersebut bisa menjadi pribadi-pribadi yang “lacur”. Suka atau tidak suka inilah potret budaya kita. Semoga kita benar-benar dapat mengambil hikmah terbaik dari “kisah” FPI ini menuju indonesia yang lebih beradab dan berbudaya humanis. Amien.[]

Source: here