KPK dan PPATK: Serupa Tapi Tak Sama

Monday, April 2, 2012

Oleh: M Lazuardi Hasibuan,

Lemahnya Lembaga penegakan hukum (law enforcement) di Indonesia saat ini berimplikasi perlunya dibentuk suatu lembaga baru yang bertugas untuk memberantas kejahatan dinegri ini. Kejahatan yang dimaksud ialah dalam bidang ekonomi dan keuangan, Kondisi ini tentunya dikarenakan faktor perkembangan teknologi dan globalisasi disektor ekonomi dan keuangan melalui media perbankan.

Hal ini merupakan hal baru karena mempunyai modus operansi yang khusus, maka dari itu perlu adanya cara khusus (ekstraordinary), aturan khusus (tindak pidana khusus) dan lembaga khusus yang bertugas untuk menangani kejahatan tersebut. Kejahatan ekonomi dan keuangan yang terbesar terjadi di Indonesia adalah tindak pidana korupsi dan tindak pidana pencucian uang (money loundring).

Kehadiran KPK (komisi pemberantasan Korupsi) pada tahun 2002 yang diamanatkan melalui UU nomor 30 tahun 2002 tentang komisi tindak pidana korupsi telah menunjukan jalan baru dalam penumpasan tindak pidana korupsi. Sejalan dengan itu pula pada tahun yang sama PPATK (pusat pelaporan dan analisis transaksi keuangan) dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantasan tindak pidana pencucian uang yang diamanatkan melalui UU nomor 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang sebagaimana telah diubah menjadi UU 25 tahun 2003 tentang perubahan UU nomor 15 tahun 2002 tentang tindak pidana pencucian uang dan disempurnakan menjadi UU nomor 8 tahun 2010 tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Kedua lembaga tersebut secari garis besar merupakan lembaga yang secara fungsional dapat dikatakan sama yaitu sama-sama bertugas untuk memberantas dan mencegah tindak pidana dalam bidang ekonomi dan keuangan. Tetapi, mempunyai fungsi individual dan kelembagaan yang berbeda, jika KPK sebagai lembaga yang menangani tindak pidana korupsi dan PPATK sebagai lembaga yang menangani tindak pidana pencucian uang.

Sebagai fakta bahwa tindak pidana korupsi merupakan salah satu dari tindak pindak pidana asal (predicate crime) yang paling terbesar dalam menunjang keberadaan tindak pidana pencucian uang (double crime), Fakta lain juga menunjukan bahwa , sering kali penegak hukum (baca: KPK) gagal dalam menyelamatkan aset negara (asset recovery) yang diakibatkan dari tindak pidana korupsi, karena aset terlanjur dicuci oleh para koruptor dengan usaha lain yang menyebabkan negara akan tetap dirugikan.

Kewenangan dan Independensi

Kondisi itu menunjukan bahwa lemahnya kordinasi antara KPK dengan PPATK, bagaimana tidak PPATK tidak punya daya untuk ikut andil ketika kasus tersebut telah sampai pada tahap penyelidikan, walaupun UU 8/2010 telah menaikkan porsi PPATK yang dulunya hanya mempunyai fungsi administratur dan kini telah menjadi fungsi penegakan hukum (Romli Atmasismita dalam okezone.com). Tetapi, tetap saja tidak mempunyai kewenangan penyidikan apalagi penuntutan seperti yang dimiliki oleh KPK.

Walaupun, KPK dan PPATK dalam konsep teoritis dan praktiknya berbeda, tetapi perbedaan tersebut tidak berimplikasi untuk mengurangi kewenangan PPATK, melainkan perbedaan tersebut berada pada kewenagan substantif yang dimiliki dari kedua lembaga negara tersebut.

Hal tersebut menunjukan keberadaan PPATK hanya sebagai penonton budiman, punya pengetahuan dan kekuatan, tetapi tidak punya kewenangan. PPATK yang seharusnya sebagai focal point bagi pemberantasan dan pencegahan tindak pidana pencucian uang harus kandas karena tidak diberi kewenangan lebih.

Walaupun, negara Indonesia sudah terlepas sebagai predikat NCCTs (Non-Cooperative Countries and Territories) negara atau teritori yang dianggap tidak mau bekerja sama dalam upaya global memerangi kejahatan money laundering dari review yang dilakukan oleh negara-negara yang tergabung dalam Financial Action Task Force on Money Laundering (FATF) pada bulan juni 2001. Tetapi secara substantif dan implementation plan Indonesia belum serius mengakomodir keputusan tersebut.

Disamping itu, independensi dari PPATK juga dipertanyakan, walaupaun UU 8/2010 pasal 37 angka (1) menyatakan “PPATK dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya bersifat independen dan bebas dari campur tangan dan pengaruh kekuasaan mana pun”. Tetapi dalam praktiknya pengangkatan ketua PPATK diangkat dan berhentikan langsung oleh Presiden, hal ini tentunya masih bisa diperdebatan. Berbeda dengan KPK, ketua beserta pimpinan KPK dipilih melalui sekangkaian proses melalui tes admistrarif oleh pansel, uji kepatutan dan kelayakan (fit and proper test) oleh DPR dan dipilih oleh DPR berdasarkan voting.

Sebagai suatu lembaga negara yang diangkat dengan titel UU yang sama, sejatinya mempunyai porsi kewenangan yang sama pula dan tetap independen/ bebas dari pengaruh pihak manapun. Sehingga, akan mengurangi distorsi yang berkepanjangan dan akan menunjukkan keseriusan pemerintah Indonesia dalam memberangus tindak pencucian uang Indonesia dan dimata dunia.[]