POLEMIK INDONESIA NEGARA BERKEMBANG DITENGAH LIBERALISASI PASAR DALAM KERANGKA GATT/WTO

Saturday, March 31, 2012

Oleh:

Dony Yusra Pebrianto, SH[1]

ABSTRAK

Perkembangan pasar internasional memicu lahirnya liberalisasi pasar dalam kerangkan yang cukup luas yakni pasar dunia. Liberalisasi pasar bertujuan untuk menghapuskan segala jenis hambatan perdagangan dalam konsep perdagangan internasional. Sehingga, melalui liberalisasi pasar ini arus barang dan jasa dari satu Negara ke Negara lainnya berjalan tanpa ada satu hambatanpun. Namun hal ini menjadi polemik bagi Negara berkembang seperti Indonesia yang memang mengharuskan untuk memproteksi liberalisasi perdagangan dunia tersebut untuk menjaga kelangsungan produksi lokal sebagai Implikasi keikutsertaan Indonesia dalam organisasi GATT/ WTO. Sedangkan pada sisi lain, dalam tahapan implementatif realisasi ketentuan GATT/ WTO yang menjanjikan keuntungan bagi Negara berkembang justru tidak kunjung terwujud. Oleh karena itu perlu suatu penegasan kembali terhadap cita-cita lahirnya GATT/ WTO.

Keyword: Liberalisasi, GATT/ WTO, Negara Berkembang

A. Latar Belakang Masalah

Dalam konsep perdagangan internasional, salah satu sumber hukum yang sangat penting adalah ketentuan-ketentuan GATT/General Agreement on Tarriff and Trade (Persetujuan Umum Tentang Tarif Dan Perdagangan) yang dalam perjalannya melahirkan WTO/World Trade Organization (Organisasi Perdagangan Dunia).

1

GATT dibentuk melalui kesepakatan 23 Negara pada Oktober 1947. Lahirnya WTO pada Tahun 1994 menjadikan GATT sebagai salah satu lampiran WTO sehingga secara otomatis Negara-negara anggota WTO juga terikat dengan ketantuan-ketentuan WTO sehingga disebut sebagai anggota GATT/WTO. Selain mengenai tarif dan perdagangan GATT juga menjadi aturan umum bagi ketentuan yang berkaitan dengan Perjanjian mengenai Jasa (GATS), Penanaman Modal (TRIMs) dan perjanjian mengenai Hak Atas Kekayaan Intelekual (TRIPS).[2]

Indonesia sebagai salah satu Negara berkembang[3] di dunia juga terikat dengan ketentuan GATT/ WTO dengan meratifikasinya[4] melalui Undnag-Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Agreement Establishing The World Trade Organization (Persetujuan Pembentukan Organisasi Perdagangan Dunia).

Isu penting yang diamanatkan oleh GATT WTO adalah liberalisasi pasar, hal ini tentunya terlihat “kontras” dengan ketentuan Pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyiratkan bahwa pada dasarnya sistem perekonomian Indonesia adalah sistem ekonomi kerakyatan dengan menitikberatkan kepada pemberdayaan masyarakat dalam pembangunan ekonomi Indonesia.

Tan Malaka yang dikenal sebagai tokoh kiri pada masa kemerdekaan Republik Indonesia menyatakan di dalam bukunya “Madilog” bahwa penyokong perekonomian suatu bangsa adalah para pekerja pribumi, seharusnya Negara dapat mendekatkan diri dengan para pekerja tersebut. Dengan bahasa kefilsafatan Tan Malaka menyebut mereka sebagai kelompok yang dikelilingi oleh kulit dan kayu, dengan memberdayakan kelompok ini maka akan tercipta suatu Negara yang makmur dan merata.[5]

Jika dirasiokan dengan suatu pemikiran yang kekinian, pendapat Tan Malaka tersebut dapat dimaknakan sebagai suatu pemikiran dimana Negara hendaknya memberdayakan ekonomi dengan meningkatkan sektor produksi lokal, dimana masyarakat bebas bekerja dan berkarya karena ditopang oleh Negara dengan pemerintahan yang pro rakyat.

Namun dengan keikutsertaan Indonesia dalam GATT/ WTO justru mematikan sektor kerakyatan dengan timbulnya permasalahan-permasalahan pasca ratifikasi GATT/ WTO. Oleh karena itu melalui tulisan singkat ini Penulis menguraikan persoalan-persoalan tersebut dan memberikan solusi penyelesaian permasalahan yang diuraikan.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas maka Penulis merumuskan perumusan masalah makalah ini yakni Bagaimanakah Persoalan yang dihadapi Indonesia sebagai Negara berkembang dan upaya penanggulangan permasalahan tersebut?.

C. Pembahasan

a. Permasalahan Yang Dihadapi Indonesia Ditengah Liberalisasi Konsep GATT/ WTO.

Setelah bergulirnya GATT/ WTO ternyata dalam tahapan implementasinya terjadi berbagai persoalan khususnya bagi Negara berkembang. Hal ini memicu terjadinya perundingan setingkat Menteri dalam forum WTO pada periode November dan Desember 1999 di Seattle. Perundingan ini diharapkan mampu mewadahi Negara berkembang dalam hal ini tentunya Negara berkembang hendaknya dapat memanfaatkan kesempatan ini. Namun pada kenyataannya ternyata perundingan ini mengalami kegagalan. Hal ini dikarenakan:

1. Sistem pembuatan keputusan dan substansi dari berbagai negosiasi mengalami kegagalan. Negara berkembang cenderung lebih memperhatikan dampak buruk Negara mereka dalam keanggotaan GATT/ WTO dan urgensi untuk mengkoreksi (meninjau kembali) berbagai persoalan terkai implementasi perjanjian GATT/ WTO.

2. Sebaliknya, Negara-negara maju yang dikomandoi oleh Amerika Serikat mendesak lahirnya regulasi baruseperti investasi, kebijakan tentang persaingan, transparansi dalam pembelanjaan pemerintah, pemotongan tarif industri, dan berbagai standar mengenai tenaga kerja dan lingkungan. Bahkan pada saat itu Negara berkembang yang dikomandoi oleh Presiden Bill Clinton yang dalam hal ini mengaitkannya dengan pemberlakuan sejumlahy sanksi perdagangan menegaskan berbagai kekhawatiran Negara berkembang bahwa GATT/ WTO mencoba untuk bersikap kaku terhadap Negara berkembang dengan dukungan Negara-negara maju.

3. Perang kepentingan tersebut semakin diperburuk oleh kurang transparansinya perundingan tersebut. Kebanyakan delegasi dari Negara berkembang merasa tidak dilibatkan dalam pengambilan keputusan karena dalam prosesnya sering dibentuk organisasi delegasi perundingan tertentu dan tidak semua delegasi Negara anggota yang dilibatkan.[6]

Kemudian usaha-usaha Negara berkembang untuk mendapatkan keadilan tidak berhenti sampai disitu, hingga akhirnya pada Tahun 2004 yakni tepatnya pada Tanggal 5 Oktober 2004 melalui Kebijakan: WT/COMTD/W/135 melalui committee on trade and development, WTO mengeluarkan kebijakan Special And Differential Treatment Policy (SnD).

Jika dikaitkan dengan tujuan pembentukan GATT/ WTO yang bertujuan untuk memberikan kesempatan kepada semua anggota yang memiliki perbedaan yang cukup jauh dalam tingkat perekonomian serta tingkat pembangunan untuk meningkatkan dan membangun perekonomian tanpa ada hambatan antara satu dan yang lainnya, maka SnD lahir untuk memberikan prioritas utama bagi Negara berkembang dalam wadah GATT/ WTO, disamping untuk mengedepankan kepentingan dan kebutuhan Negara-negara berkembang tersebut.[7]

Namun dalam tahapan implementasinya SnD juga mengalami hambatan karena SnD tidak memberikan kejelasan mengenai criteria Negara berkembang. Sehingga batasannya hanyalah berdasarkan kepada spekulasi-spekulasi dan akhirnya kembali diserahkan kepada Negara masing-masing untuk mengkategorikan Negara mereka sebagai Negara maju ataupun Negara berkembang.[8]

Kegagalan-kegagalan implementasi cita-cita GATT/ WTO tersebut menimbulkan persoalan-persoalan mendasar bagi Negar berkembang, khususnya bagi Indonesia yang menurut Penulis masih berada dalam lingkup Negara berkembang yang komoditi utama bersumber dari lahan agraris dan perikanan darat dan laut.

Kecenderungan tarif yang masih tinggi khususnya di Negara-negara maju tentunya menjadi persoalan besar bagi Indonesia. Padahal, penurunan tarif di Negara-negara maju tentunya merupakan suatu harapan cerah bagi perekonomian Indonesia. Namun pada kenyataanya Negara maju masih menerapkan bea impor yang tinggi terhadap produk-produk tertentu terutama terhadap berbagai produk industri yang diimpor oleh Negara berkembang yang salah satunya adalah Indonesia. Sehingga dalam hal ini Indonesia masih mengalami hambatan bagi sejumlah komoditi-komoditi ekspor yang potensial. Hal ini berdampak kepada tinggginya harga barang ekspor Indonesia di Negara maju sehingga sulit untuk berkompetisi dengan hasil industri yang dinegaranya berharga relatif murah.[9]

Selain persoalan tersebut, meningkatnya hambatan-hambatan non-tarif seperti Undang-Undang anti Dumping[10] juga turut “menyiksa” Negara-negara berkembang. Lahirnya GATT/ WTO yang diharapkan mampu memperbaiki akses pasar melalui penurunan tarif justru malah menimbulkan peningkatan hambatan-hambatan non-tarif di Negara-negara maju. Hal ini dikarenakan pada Negara-negara maju terjadi “penyalahgunaan” undang-undang anti-dumping terutama Amerika Serikat dan Unieropa terhadap produk-produk Negara berkembang. Dengan hal ini tentunya mengakibatkan produk-produk dari Negara berkembang salah satunya Indonesia berharga tinggi di Negara maju. Sehingga produk Indonesia kalah berkompetisi di Negara maju.[11]

Persoalan terbesar bagi Indonesia adalah masih tinginya proteksi terhadap komoditi pertanian di Negara maju khususnya Amerika Serikat dan Unieropa. Padahal, dengan lahirnya GATT/ WTO terselip harapan besar Indonesia untuk dapat meliberalisasi produk pertanian sebagai komoditi ekspor andalan Indonesia. Namun, hal ini semakin “mengecewakan” karena harapan penghapusan tarif impor terhadap komoditi pertanian tidak kunjung terwujud. Amerika Serikat sendiri bahkan menetapkan tarif lebih dari 100% misalnya terhadap komoditi kacang tanah dengan tarif impor 174%, bahkan Uni Eropa menetapkan tarif sebesar 360% untuk tarif impor gandum.[12]

b. Upaya Yang Dapat Dilakukan Indonesia Dalam Polemik Keanggotaan Indonesia dalam GATT/ WTO.

Suatu persoalan tentunya perlu suatu solusi inisiatif yang perlu dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam menghadapi liberalisasi yang sudah “terlanjur” bergulir dan Indonesia juga sudah “terlanjur” terikat dengan perjanjian GATT/ WTO.

Sebagai suatu Negara yang berdaulat tentunya Indonesia sudah selayaknya untuk segera bertindak agar tidak selalu “tertindas” dalam konteks perekonomian internasional. Bapak bangsa Indonesia Soekarno pernah mengajarkan hal penting sebagai Negara yang berdaulat. Pada era kepemimpinan bung karno Indonesia melalui pemerintah berdaulat pernah menyatakan keluar dari keanggotaan PBB, hal ini dikarenakan pengangkatan Malaysia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB (UN Security Council). Hal ini didasari bahwa menurut Soekarno pengangkatan tersebut berlandaskan unsur politis (karena Malaysia Negara persemakmuran inggris salah satu the big five power dalam PBB), sehingga sebagai Negara Boneka Malaysia tidak layak menduduki kedudukan tersebut, dan Indonesia lebih pantas.[13]

Pelajaran tersebut bukan berarti merujuk kepada wacana untuk mencabut keanggotaan Indonesia dalam GATT/ WTO. Namun mengambil hikmah dari suatu ketegasan dan wibawa suatu Negara yang berdaulat. Apalagi sampai saat ini Indonesia hampir 67 Tahun merdeka namun tetap saja terjajah oleh mekanisme penjajahan gaya baru yakni melalui ekonomi.

Rekonsolidasi perjanjian GATT/ WTO sudah selayaknya diperjuangkan oleh pemerintah Indonesia yang berdaulat. Dengan kata lain sudah saatnya Indonesia mempelopori Negara-negara berkembang untuk meninjau ulang perjanjian GATT/ WTO dan mendesak perubahan ketentuan-ketentuan GATT/ WTO yang merugikan Negara-negara berkembang.

Keberanian inilah diharapkan khususnya para pimpinan Negara berkembang untuk memperjelas kedudukan Negara berkembang dalam percaturan perekonomian. Soliditas Negara berkembang meyakinkan Penulis akan mampu untuk membuat suatu perubahan besar dalam GATT/ WTO. Karena bisa diprediksi bagaimana kacaunya perekonomian dunia jika Negara-negara berkembang serentak menarik keanggotaan dari GATT/ WTO dan berkonsolidasi membentuk perekonomian baru.

Menurut Penulis, Negara berkembang yang mengandalkan produksi kebutuhan Primer tentunya akan menyulitkan Negara maju dalam pemenuhan kebutuhan primer yang bersumber dari produksi agraris dan maritim. Dengan kata lain suatu hal yang sangat mengancam jika Negara-negara “mengembargo” komoditi agraris dan maritim ke Negara maju. Apalagi selama ini Indonesia selalu terpaku ke persoalan ekspor tetapi tidak memperhatikan kesulitan intern. Bayangkan Negara yang berlimpah dengan komoditi pertanian justru masyarakat harus membeli komoditi pertanian dengan mahal, Negara yang dikelilingi oleh laut justru harus mengalami mahalnya harga ikan, ironis.

Namun, yang lebih penting selain rekonsolidasai adalah pemberdayaan masyarakat. Sektor-sektor perekonomian harus ditekankan kepada masyarakat untuk berkreatifitas dalam berproduksi. Dimana masyarakat diberi lahan berproduksi melalui kebijakan-kebijakan bantuan produksi untuk Usaha Kecil Masyarakat. Dengan itu masyarakat menjadi sektor-sektor produksi sebagai penyelamat perekonomian rakyat dan Negara.

Selain itu tindakan yang penting untuk mengiringi pengembangan produksi masyarakt tentunya adalah meningkakan kesadaran pemakaian produk dalam negeri, sehingga ketergantungan atas produk impor menjadi terkurangi, sehingga produksi dalam negeri setidaknya menjadi primadona di negeri sendiri. Dengan kata lain, Indonesia berdikari menjadi suatu harapan perekonomian menuju langkah pasti untuk negeri ini.

D. Kesimpulan

Sepanjang keikutsertaan Indonesia dalam keanggotaan GATT/ WTO memang menimbulkan berbagai kerugian dari berbagai sisi dalam kapasitas Indonesia sebagai Negara berkembang. Lahirnya SnD pun belum mampu untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapi Indonesia terutama terhadap ancaman bagi produksi lokal. Sehingga, sudah saatnya dilakukan konsolidasi dan pengambilan langkah strategis dalam menghadapi liberalisasi, diantaranya adalah memberdayakan usaha kecil masyarakat dan mencukupi kebutuhan dalam negeri dengan menggunakan produksi dalam negeri.

DAFTAR PUSTAKA

Adolf, Huala. 2005. Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada.

Barutu, Christophorus, 2008. Ketentuan Anti Dumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO, Citra Aditya Bakti, Bandung

Khor, Martin. 2003. Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan, Yogyakarta.

Malaka, Tan. 1951. Madilog, Widjaya, Jakarta.

Page, Sheila, et.al,. 2005, Special and Differential of Developing Countries in the World Trade Organization, Ministry of Foreign Affairs, Sweden

Soekarno, “Ganyang Malaysia”.



[1]Penulis adalah Mahasiswa Semester IV Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas Jambi.

[2]Bandingkan Huala Adolf, Hukum Perdagangan Internasional, Raja Grafindo Persada, 2005, hlm. 97.

[3]Penetapan Indonesia sebagai Negara berkembang ini berdasarkan pertimbangan Penulis dengan melihat kepada keadaan perekonomian bangsa Indonesia pada saat sekarang ini yang jauh tertinggal dari Negara-negara besar di Dunia.

[4]Menurut Undang-Undang No. 24 Tahun 2000 Tentang Perjanjian Internasional Yakni pada Pasal 1 Ayat (2), Ratifikasi merupakan “salah satu” perbuatan hukum yang mengesahkan suatu perjanjian internasional menjadi sistem hukum nasional. Disamping Ratifikasi, pengesahan dapat juga dilakukan melalui Suksesi, Penerimaan, dan Penyetujuan.

[5]Periksa Tan Malaka, Madilog, Widjaya, Jakarta, 1951, hlm. 18.

[6]Periksa Martin Khor, Globalisasi Perangkap Negara-Negara Selatan, Yogyakarta, 2003, hlm. 39.

[7]Periksa Sheila Page, et.al, Special and Differential of Developing Countries in the World Trade Organization, Ministry of Foreign Affairs, Sweden, 2005, hlm. vii.

[8]Ibid., hlm. 14.

[9]Periksa Martin Khor, Op. Cit., hlm. 40.

[10]Dumping adalah suatu keadaan dimana barang-barang yang diekspor oleh suatu Negara ke Negara lain dengan harga yang lebih rendah daripada harga jual dalam negeri. Periksa Christophorus Barutu, Ketentuan Anti Dumping, Subsidi, dan Tindakan Pengamanan (Safeguard) dalam GATT dan WTO, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2008, hlm. 38.

[11]Periksa Martin Khor, Loc.Cit.

[12]Ibid.,

[13]Soekarno memperistilahkan Negara boneka dengan istilah Sovereign dalam Pidatonya berjudul “Ganyang Malaysia”.