Budaya Kekuasaan

Friday, August 19, 2011

Photo: Media Indonesia Cetak 19/08/2011

Oleh:
Toeti Adhitama


Masyarakat di banyak tempat pada waktu ini mengalami disorganisasi dan konflik yang timbul karena ketidakpuasan. Gejala itu bukan monopoli Indonesia. Kerusuhan terjadi bahkan di negara-negara maju yang memperhatikan asas sosialisme seperti Inggris dan Norwegia. Perubahan dengan tempo cepat, khususnya di bidang ekonomi, membuat masyarakat gagap untuk menanggapi dan menyesuaikan diri. Sebagai akibatnya, interaksi berbagai perkembangan, baik sosial politik maupun ekonomi itu sendiri, menimbulkan krisis.
Kita mewacanakannya sebagai ‘krisis kebangsaan’.

Dari waktu ke waktu, krisis tidak terelakkan. Situasi berubah sesuai dengan perkembangan. Dalam jangka panjang, ada nilai-nilai lama yang masih mengikat, ada yang dilupakan; ada nilai-nilai baru yang langsung diterima, ada yang ditolak. Semua itu tergantung setiap anggota masyarakat. Yang kita alami dan rasakan, perubahan-perubahan kita bersifat evolusioner. Alasannya, salah satu nilai lama yang masih berakar kuat ialah asas paternalisme, yang ada kaitannya dengan feodalisme dan, tentu saja, kekuasaan.

Apa yang disebut kekuasaan? Semua yang menimbulkan rasa nyaman dan menyenangkan dapat dikelompokkan di bawah tiga judul: harta kekayaan, kekuasaan (jabatan), dan restise. Ketiganya kait-mengait. Tentu banyak hal lain yang baik dan penting. Ilmu pengetahuan, keindahan, dan kesehatan juga diperlukan, tetapi bukan prioritas untuk membentuk kekuasaan. Contohnya, dalam dunia perpolitikan sekarang, kalangan cerdik pandai ataupun dari seni-budaya sekalipun ada kalanya diperlukan. Namun, faktanya jarang yang menjadi pemain utama.

Di lain pihak, yang tampak berkuasa ialah mereka yang menekuni dunia politik dan pemerintahan. Merekalah yang banyak mengambil keputusan dalam kehidupan masyarakat. Tanpa sadar, mereka mudah dikenai sindrom arogansi kekuasaan. Kadang-kadang mereka merasa bebas melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan norma-norma masyarakat.

Budaya kekuasaan seperti itu akan terus hidup bila tidak ada niat berbenah diri oleh yang bersangkutan. William Fulbright (The Arrogance of Power, 1966) mengatakan, “Jika mau berbenah diri, arogansi kekuasaan pasti bisa disingkirkan. Ini akan berarti bersedia mengorbankan sebagian perasaan menganggap diri hebat. Namun, pengorbanan itu akan
memadai untuk akibat-akibat positif yang mungkin ditimbulkannya....”


Proses mencemaskan

Benarkah kita menghadapi ‘krisis kebangsaan’? Tidak beda dengan apa yang terjadi di wilayah-wilayah lain di dunia, termasuk di Timur Tengah, rasa nya proses yang sedang kita jalani memang mencemaskan. Namun, itu tidak membuat NKRI menjadi negara gagal. Bahkan jangan sampai situasi itu beranjak kepada krisis kebangsaan. Tentu kerisauan tersebut bangkit karena cita-cita founding fathers dirasakan tidak kunjung tiba. Sekalipun perekonomian tumbuh mengesankan, kenyataannya kita belum berhasil memeratakan kekayaan negara.

Filsuf ternama Alexander Kojeve, yang sampai akhir hidupnya (1968) bekerja sebagai birokrat Komisi Masyarakat Ekonomi Eropa, sejak perte ngahan abad lalu menyadari betapa fi losofi mulai ditinggalkan masyarakat (Fukuyama, Trust, 1996). Akan tetapi, justru pada saat-saat itu founding fathers kita meyakini bahwa Pancasila yang dirumuskannya seiring dengan berdirinya Republik ini akan mampu, dan seharusnya, mengawal kehidupan bangsa. Baru-baru ini, dalam suatu forum diskusi, seorang peserta memperta nyakan, pernahkah masyarakat kita benar-benar mematuhi dan menjalankan falsafah Pancasila?


Paternalisme dan budaya kekuasaan

Perkembangan sosial politik akhir-akhir ini rasanya jauh dari nilai-nilai Pancasila yang diajarkan selama ini. Yang mengemuka justru budaya kekuasaan yang mungkin meneruskan atau mengejawantahkan nilai-nilai paternalistik yang mengakar dalam peradaban kita. Dia menjadi komando kehidupan sosial politik, seperti yang akhir-akhir ini jelas tecermin dalam penanganan kasus-kasus para koruptor kakap yang menduduki jabatan-jabatan penting di pemerintahan serta di bidang politik. Masyarakat belum melihat titik terang di ujung terowongan untuk semua kasus korupsi besar. Kita ramai berwacana dan saling tuduh, tetapi mereka yang memiliki kekuasaan yang memegang komando. Sementara itu, rakyat bawah sekadar menjadi penonton tidak berdaya.

Budaya kekuasaan akan bertahan lama selama masyarakat umumnya, yang di bawah khususnya, belum berpendidikan memadai untuk mobilitas sosial. Dilema yang dihadapi masyarakat negara berkembang ialah: kita menghadapi pilihan-pilihan yang sulit. Misalnya mengadakan pemerataan pendidikan, atau membagi jatah pendidikan dengan mempertimbangkan kebutuhan akan tenaga kerja yang dibutuhkan negara.Namun, dalam alam merdeka, setiap warga berhak mendapat kesempatan sama. Apakah masyarakat, berdasarkan pendidikannya, bersedia dikelompok-kelompokkan menjadi masyarakat tani/nelayan di bawah, masyarakat industri/perdagangan di tengah, dan masyarakat politik/intelektual di atas--sekadar contoh. Lagi pula, dengan mengamati perkembangan yang ada, orang-orang muda ingin menyandang gelar sarjana supaya bisa memiliki kesempatan lebih besar untuk berpartisipasi aktif dalam kehidupan sosial politik. Orang tua umumnya memberi dorongan.

Sistem pendidikan disusun oleh kalangan menengah ke atas yang tidak pernah secara langsung merasakan pendidikan macam apa yang sebenarnya dibutuhkan rakyat jelata sehingga terjadi mobilitas ke atas. Banyak yang beranggapan bahwa memiliki kredensial seperti ijazah, gelar, atau sertifikat akan menjamin seseorang mendapat posisi strategis dalam kehidupan. Ternyata tidak. Alasannya, sikap dan perangai, yang juga merupakan persyaratan penting, bukan terbentuk di ruang kelas semata. Dengan banyaknya pelanggaran etika oleh mereka yang memiliki jabatan-jabatan strategis, pertanyaannya: apakah mereka mendapat pendidikan yang memadai di luar kelas?

Lalu bagaimana hubungan budaya kekuasaan dengan pendidikan? Bila melihat kenyataan yang ada, rasanya harus ada rekayasa yang memungkinkan pemerataan persepsi masyarakat tentang masa depan. Misalnya, kalau demokrasi dibangun lewat partai-partai politik, hendaknya diusahakan agar para kader dari mana pun datangnya, dan apa pun pendidikannya, memiliki persepsi sama tentang masa depan yang dituju. Jangan mereka masuk partai politik semata-mata karena senang politik demi kekuasaan. Ikut sertakan orang-orang profesional yang tahu apa yang dibutuhkan. Yang serupa pernah dilakukan di masa Orde Baru. Djafar Assegaff menyebutnya ‘demokrasi fungsional’.

Gagasan itu tentu bukan omong kosong. Sebab, masa depan ada di tangan orang-orang yang mengerti situasi dan memiliki ideologi sehingga mampu memandang jauh ke depan. Ada kaitan antara kemerdekaan, demokrasi dan ideologi. Ideologi tumbuh karena orang mengerti apa yang dibutuhkan untuk membangun kesejahteraan bangsa dan negara. Tanpa ideologi, demokrasi ibarat etalase kosong. Orang hanya membayang-bayangkan, tak tentu arah, apa yang akan diisikan. Dalam proses pertumbuhan sebagai bangsa, kericuhan sekarang mencerminkan bagaimana dan di mana tahap perkembangan kita. (*)


Toeti Adhitama adalah Anggota Dewan Redaksi Media Group 


Powered by:
Epaper Media Indonesia,
Jumat, 19 Agustus 2011