Korelasi Hukum Pidana Adat dan Filsafat Hukum (Bagian II)

Friday, June 17, 2011

Oleh:
Dr Lilik Mulyadi SH MH




Eksistensi hukum pidana adat di Indonesia telah lama dikenal baik dikaji dari perspektif asas, teoretis, norma, praktek dan prosedurnya. Sebagai salah satu contoh eksistensi pengaturan hukum pidana adat terdapat dalam Oendang-Oendang Simboer Tjahaja[1] pada abad ke-16 di wilayah Kesultanan Palembang Durussalam Sumatera Selatan.

Pada Oendang-Oendang Simboer Tjahaja (UUSC) dikenal hukum pidana adat dimana sanksi denda dikenakan pada delik kesusilaan diatur Pasal 18-23 Bab I tentang Adat Bujang Gadis dan Kawin UUSC, maka pidana denda yang dikenakan sesuai dengan tingkatan perbuatan seseorang, yaitu senggol tangan perempuan (naro gawe) kena denda 2 ringgit. Pegang lengan perempuan (meranting gawe) didenda 4 Ringgit. Pegang di atas siku perempuan (meragang gawe) kena denda 6 ringgit. Peluk badan (meragang gawe) dan nangkap badan gadis (nangkap rimau) serta pegang istri orang lain, masing-masing kena denda 12 ringgit. Untuk lengkapnya, ketentuan hukum pidana adat sebagaimana diatur dalam UUSC adalah berikut ini:

Senggol tangan perempuan atau “Naro Gawe” (Pasal 18 UUSC).

“Djika laki-laki senggol tangan gadis atau rangda “Naro Gawe” namanja, ia kena denda 2 ringgit djika itoe perampoean mengadoe: dan 1 R poelang pada itoe perampoean “tekap maloe” namanja dan 1 R pada kepala doesoen serta pengawanja.”
(Jika laki-laki senggol tangan gadis atau janda, disebut “Naro Gawe”, maka ia kena denda 2 ringgit jika perempuan tersebut mengadu, dan 1 Ringgit diberikan kepada si perempuan sebagai “tekap malu”, serta satu ringgit diberikan kepada kepala dusun serta perangkatnya).

Pegang lengan perempuan atau “Meranting Gawe” (Pasal 19 UUSC)

“Djika laki-laki pegang lengan gadis atau rangda “Meranting Gawe” namanja, ia kena denda 4 ringgit djika itoe perampoean mengadoe, dan 2 ringgit poelang pada itoe perampoean “tekap maloe” namanja dan 2 ringgit pada kepala doesoen serta pengawanja.”
(Jika laki-laki pegang lengan gadis atau janda, disebut “Meranting Gawe”, maka ia kena denda 4 ringgit jika perempuan tersebut mengadu. 2 Ringgit diberikan kepada si perempuan sebagai “tekap malu”, serta 2 Ringgit diberikan kepada kepala dusun serta perangkatnya).

Pegang di atas sikoe atau “Meragang Gawe” (Pasal 20)

“Djika laki-laki pegang di atas sikoe gadis atau rangda “Meragang Gawe” namanja, ia kena denda 6 ringgit djika itoe perampoean mengadoe, dan 3 ringgit poelang pada itoe perampoean “tekap maloe” namanja dan 3 ringgit pada kepala doesoen serta pengawanja.”
(Jika laki-laki pegang di atas siku gadis atau janda, disebut “Meragang Gawe”, maka ia kena denda 6 Ringgit jika perempuan tersebut mengadu. 3 Ringgit diberikan kepada si perempuan sebagai “tekap malu”, serta 3 Ringgit diberikan kepada kepala dusun serta perangkatnya).

Peluk Badan atau “Meragang Gawe” (Pasal 21)

“Djika laki-laki pegang gadis atau rangda lantas pelok badannja “Meragang Gawe” namanja, ia kena denda 12 ringgit djika itoe perampoean mengadoe, dan djika didoesoen pasirah, 6 ringgit poelang pada itoe perampoean “tekap maloe” namanja dan 6 ringgit pada pasirah.”
(Jika laki-laki pegang lalu memeluk gadis atau janda, disebut “Meragang Gawe”, maka ia kena denda 12 Ringgit jika perempuan tersebut mengadu. Jika di dusun Pasirah, maka 6 Ringgit diberikan kepada si perempuan sebagai “tekap malu”, serta 6 Ringgit diberikan kepada Pasirah).

Nangkap badan gadis atau “Nangkap Rimau” (Pasal 22)

“Djika boedjang nangkap badan gadis atau reboet kainnja atau kembangnja tiada dengan soeka gadis atau halinja gadis “Nangkap Rimau” namanja, maka itoe boedjang kena denda 12 ringgit, lagi jang bajar pada gadis 8 ringgit, denda dibagi pada pasirah, proatin serta pengawa bagimana denda bergoebelan. Dan djika gadis soeka kawien dengan itoe boedjang boleh dikawinkan maka itoe boedjang tiada membajar lagi 8 ringgit pada gadis, akan tetapi denda 12 ringgit hendak djoega dibajar.” ”
(Jika bujang nangkap badan gadis atau rebut kainnya atau kembangnya, dan si gadis atau walinya tidak suka disebut “Nangkap Rimau”, maka bujang tersebut kena denda 12 Ringgit, ia membayar denda lagi kepada gadis 8 Ringgit, denda ini dibagi pada Pasirah, Proatin serta pegawainya sebagai denda bergubalan. Dan jika gadis tersebut suka kawin dengan bujang tersebut, maka boleh dikawinkan. Bujang tersebut tidak membayar lagi denda 8 Ringgit pada gadis, tetapi denda 12 Ringgit tetap harus dibayar).

Konteks di atas mendeskripsikan bahwa hukum pidana adat tersebut eksistensinya telah ada, lahir, tumbuh dan berkembang di bumi Indonesia sejak lama. Kemudian dalam bentuk kodefikasi hukum pidana adat setelah kemerdekaan diatur dalam ketentuan Pasal 1 dan Pasal 5 ayat (3) sub b Undang-Undang Nomor 1 Drt tahun 1951[2] tentangTindakan-Tindakan Sementara Untuk Menyelenggarakan Kesatuan Susunan, Kekuasaan, dan Acara Pengadilan-Pengadilan Sipil. (*)

(Bersambung ke Bagian III) (Bagian I)


(*) Penulis adalah Dosen Program Pascasarjana Ilmu Hukum Konsentrasi Hukum Pidana Universitas Merdeka, Malang, Penulis Buku Ilmu Hukum dan Ketua Pengadilan Negeri Kepanjen, Kabupaten Malang, Jawa Timur.

______
Catatan:

[1] Oendang-Oendang Simboer Tjahaja merupakan karya dari Ratu Sinuhun yang merupakan istri Pangeran Sending Kenayan. Pangeran Sending Kenayan disebut juga Pangeran Sido Ing Kenayan merupakan salah satu sultan di Kesultanan Palembang Darussalam yang memerintah dari tahun 1639-1650 Masehi. Oendang-Oendang Simboer Tjahaja berlaku untuk sebagian di daerah uluan kota Palembang (daerah pedalaman Sumatera Selatan) dan juga sebagian berlaku untuk masyarakat Kota Palembang dan belum dikodifikasikan.

[2] Selain diatur dalam UU Nomor 1 Drt 1951 maka eksistensi hukum pidana adat juga diatur dalam Pasal 18 B UUD 1945 hasil Amandemen, UU Nomor 48 Tahun 2009, yurisprudensi Mahkamah Agung. Kemudian secara parsial dalam daerah tertentu juga diatur seperti misalnya di Aceh Nangroe Darussalam dengan UU Nomor 44 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, UU Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, berikutnya diimplementasikan dalam bentuk Qanun baik tingkat Propinsi maupun Kabupaten seperti Qanun Aceh Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, Qanun Kabupaten Aceh Tengah Nomor 10 Tahun 2002 tentang Hukum Adat Gayo, dan lain sebagainya. Kemudian di Bali diatur dan diimplementasikan dalam bentuk Awig-Awig Desa Adat (Pakraman) seperti Awig-Awig Desa Adat (Pakraman) Karangasem, Awig-Awig Desa Adat Mengwi, Kabupaten Badung dan lain sebagainya.