Menjelang peringatan 13 tahun gerakan reformasi menggulingkan rezim otoritarian Orde Baru, publik dikejutkan oleh hasil survei Indo Barometer. Survei bertajuk 13 Tahun Reformasi dan 18 Bulan Pemerintahan SBY-Boediono tersebut memperlihatkan, seolah, betapa masyarakat Indonesia rindu pada masa Orba di bawah kekuasaan otoriter Soeharto. Pro dan kontra meriuh di ruang publik dalam merespons hasil survei tersebut. Namun terlepas dari pro dan kontra tentang aspek metodologis dan hasilnya, survei tersebut sebenarnya memberi sinyal bahwa penyelenggaraan demokrasi selama ini dipandang gagal menjawab masalah riil masyarakat.
Kegagalan tersebut sebenarnya sudah diramalkan oleh sebagian aktivis prodemokrasi setelah lengsernya Soeharto. Sebab, oligarki politik Orba kembali menguasai struktur kekuasaan sejak demokrasi Indonesia dipancangkan pada 1998. Maka, pada dasarnya, sampai detik ini konflik reformisme melawan Orbaisme yang menguasai struktur kekuasaan masih berlangsung sengit. Dalam situasi ini, menjadi penting bagi politik reformisme melakukan rekonsolidasi kekuatan untuk membersihkan demokrasi dari oligarki politik Orbaisme.
Oligarki Orbaisme
Terhapusnya secara formal Orde Baru ditandai oleh demokratisasi yang memperluas kebebasan politik, pengakuan identitas, dan kesetaraan gender. Beberapa indikator demokratisasi bisa dilihat pada menjamurnya partai politik baru, lembaga swadaya masyarakat, organisasi kemasyarakatan, dan media massa. Selain itu, pemilihan umum secara langsung untuk memilih presiden, gubernur, dan wali kota/bupati adalah indikator institusional yang sering dirujuk sebagai terbangunnya politik demokrasi Indonesia. Secara teoretis, demokrasi akan menciptakan kekuasaan yang mereproduksi kebijakan prorakyat, bersih dari korupsi, dan memberi perlindungan keamanan. Untuk itulah kalangan reformis mempercayai demokrasi sebagai sistem negara bangsa untuk menjawab masalah yang disebabkan oleh otoritarianisme Orba.
Namun, ketika demokrasi dipancang sebagai sistem selama 13 tahun ini, kualitas hidup masyarakat seolah tidak membaik, dan bahkan dirasa memburuk. Pada 2010, World Bank mengestimasi 100 juta penduduk masih miskin, Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional melaporkan 13 juta anak-anak terancam putus sekolah, serta Badan Pusat Statistik memperlihatkan angka kematian bayi lebih dari 100 ribu setiap tahun. Pembangunan infrastruktur, seperti jalan raya, dan sistem transportasi tetap buruk sehingga banjir dan kemacetan menjadi ciri khas kota-kota Indonesia. Lalu berbagai aksi kekerasan terhadap minoritas pun tidak mampu dicegah dan ditangani oleh negara, yang menyebabkan rasa takut menghampar di relung hidup masyarakat.
Buruknya kualitas hidup masyarakat Indonesia di era demokrasi tidak lepas dari bagaimana negara dikelola oleh aktor-aktor kekuasaan yang tidak mendengarkan suara rakyatnya dan korup. Menurut penelitian Political and Economy Risk Consultancy, Indonesia sampai 2010 masih menjadi jawara negara paling korup se-Asia-Pasifik. Kondisi ini secara umum bisa diamati pada mengguritanya korupsi dalam negara dan “memble”-nya pemberantasan korupsi oleh pemerintah.
Kalangan reformis menyadari bawah pengelolaan negara yang sarat korupsi ini adalah konsekuensi dari bersarangnya oligarki politik Orbaisme dalam struktur kekuasaan. Ciri mendasar dari paham politik Orbaisme, selain kekerasan negara dan tuli dari aspirasi rakyatnya, adalah korupsi yang dihalalkan. Walaupun struktur kekuasaan negara dari eksekutif, legislatif, dan yudikatif diisi melalui prosedur demokrasi, pertanggungjawaban demokrasi (democratic accountability)-nya pastilah lemah karena bercokolnya oligarki politik Orbaisme tersebut. Karena itulah banyak kebijakan yang tidak benar-benar diorientasikan untuk melayani rakyat.
Strategi konflik
Salah satu titik kelemahan gerakan reformasi 1998, mengutip istilah Ulrich Beck (1999), adalah unforeseen consequences dari penerapan politik demokrasi di Indonesia. Demokrasi yang menawarkan kebebasan dan kesetaraan bagi semua pihak ternyata menjadi kuda troya bagi oligarki politik Orbaisme untuk masuk dan menguasai struktur kekuasaan.
Strategi konflik kalangan reformis menjadikan penegakan hukum sebagai benteng perlawanan melalui isu-isu korupsi dan pelanggaran hak asasi manusia mengalami degradasi energi. Sebab, sebagian tokoh gerakannya bahkan masuk menjadi bagian dari oligarki politik Orbaisme yang korup. Alasan kelompok ini melakukan perubahan politik dari dalam (against within system) sampai sekarang pun tidak memberi efek transformatifnya. Sebaliknya, mereka ikut andil aktif dalam menciptakan kebijakan negara yang melukai hati rakyat. Sesungguhnya, menggunakan istilah Daniel Saphiro (2004), mereka telah diseret ke dalam “labirin konflik” reformisme melawan Orbaisme, yaitu kondisi merumitnya hubungan konflik yang menjebak gerakan kalangan reformis pada jalan-jalan buntu dan menumpulkan konsistensi perjuangan membersihkan demokrasi dari politik Orbaisme.
Namun masih ada kelompok gerakan reformasi yang tidak terjebak pada labirin konflik. Mereka aktif dan terus melakukan upaya penguatan penegakan hukum dan kontrol politik yang intensif. Mereka lebih banyak berafiliasi ke dalam gerakan masyarakat sipil yang berfokus pada pemberantasan korupsi, pengawasan Dewan Perwakilan Rakyat, sampai advokasi buruh tani. Melalui konsistensi kelompok inilah sebenarnya politik Orbaisme yang tuli dari suara rakyat dan korup bisa dilawan. Strategi konflik melawan oligarki Orbaisme yang konsisten dengan berada di luar sistem merupakan pilihan yang paling efektif. Kemungkinan bagi kekuatan Orba menyeret gerakan reformis ini ke dalam labirin konflik bisa diminimalisasi dan dicegah. Namun strategi konflik ini tidak bisa berdiri sendiri untuk mampu menciptakan kekuasaan yang benar-benar demokratis.
Strategi konflik yang perlu dilakukan juga adalah dengan merekonsolidasi jejaring reformisme ke dalam sebuah gerakan sipil yang kuat. Struktur kekuasaan yang dikuasai oleh oligarki Orbaisme harus mendapat tekanan politik yang masif dari masyarakat sipil. Tekanan politik yang mampu mempengaruhi secara kuat berbagai kebijakan negara. Dengan demikian, strategi mendorong penegakan hukum dengan menyeret satu per satu anggota oligarki Orbaisme yang korup ke meja pengadilan akan disertai kemungkinan terbentuknya praktek kekuasaan yang tidak berani mengeluarkan kebijakan antikerakyatan. Ketika strategi konflik kalangan reformis tersebut bisa terus dilakukan secara konsisten, oligarki politik Orbaisme tentu bisa dibersihkan dari demokrasi Indonesia.
Pada dasarnya rakyat Indonesia harus menyadari bahwa kondisi buruknya kualitas hidup saat ini bukanlah disebabkan oleh sistem demokrasi, sehingga lalu menilai masa Orba lebih baik. Namun, karena oligarki politik Orbaisme yang masih berkuasalah sehingga demokrasi gagal dalam memberikan kualitas hidup yang baik bagi seluruh rakyat Indonesia. Untuk itu, harus ada asa melanjutkan gerakan reformasi dengan strategi konflik yang efektif melawan oligarki politik Orbaisme. (*)
(*)Oleh: Novri Susan
Sosiolog konflik Universitas Airlangga
(Sumber: Tempo, 20 Mei 2011)