Hak Berserikat Advokat

Monday, May 23, 2011

Membaca artikel SINDO tanggal 9 Mei 2011 yang berjudul “Menolak Organisasi Tunggal: Sidang Uji Materi UU Advokat Terpanjang” membuat perlu bagi penulis untuk menanggapi isi tulisan tersebut agar masyarakat tidak mempunyai persepsi seolah-olah advokat hanya ribut terus.

Persepsi tersebut tentu tidak benar, justru sembilan advokat senior yang terdiri atas Dr Frans H Winarta, SH, MH, Bob P Nainggolan, SH, MH, MM, Maruli Simorangkir,SH,Murad Harahap, SH, Lelyana Santosa, SH, Nursyahbani Katjasungkana, SH,David Abraham,BSL, Firman Wijaya, SH, MH dan Dr SF Marbun, SH, MHum justru memilih menyerahkan masalah akar perseteruan dalam tubuh organisasi profesi advokat kepada Mahkamah Konstitusi. Hal tersebut dirangkum dalam perkara Nomor 66/PUUVIII/ 2010 (Perkara Nomor 66) agar dilakukan uji materiil (materiële toetsingrecht) terhadap UU Advokat yang menjadi sumber perseteruan dan perselisihan dalam tubuh organisasi profesi advokat melalui batu uji pasal-pasal UUD 1945.

Uji materiil yang diajukan dalam perkara ini berbeda landasan pikir dan alasannya dengan perkara-perkara lain yang pernah dimintakan uji materiil ke Mahkamah Konstitusi. Begitu pun dengan perkara Nomor 71/PUU-VIII/2010 (Perkara Nomor 71) dan 79/PUUVIII/ 2010 (Perkara Nomor 79) yang diperiksa bersama-sama dengan Perkara Nomor 66 karena alasan praktis. Perkara Nomor 66 yang diajukan sembilan advokat senior berdasarkan pada permohonan uji materiil 3 Pasal UU Advokat yaitu Pasal 28 ayat (1), Pasal 32 ayat (4), Pasal 30 ayat (2) UU Advokat terhadap Pasal 36A, Pasal 28E ayat (3), Pasal 28D ayat (1),dan Pasal 27 ayat (2) UUD 1945.

Perkara Nomor 66 ini mempersoalkan hak berserikat advokat, sebagai hak khusus dari profesi bebas (free legal profession) advokat yang berbeda dengan penegak hukum seperti polisi,jaksa,dan hakim yang tidak boleh dibatasi kecuali oleh keputusan para advokat itu sendiri melalui kongres (munas) advokat yang demokratis. Begitu pula UU Advokat pun tidak dapat membatasi hak berserikat advokat kecuali diputuskan para advokat sendiri melalui suatu kongres (munas) advokat seperti NOVA di Belanda yang kemudian disahkan Advocaten Wet.

Penggiringan dan pembatasan hak berserikat ini bertentangan dengan hak berserikat advokat yang diatur Pasal 17 IBA Standard on The Independence of The Legal Profession, Pasal 24 UN Basic Principles on The Role of Lawyers dan Pasal 97 Singhvi Declaration. Ketiga instrumen itu mengatur secara khusus hak berserikat advokat yang harus dihormati oleh kita sebagai bangsa beradab sebagai hukum kebiasaan internasional (international customary law).


Kekeliruan

Ada kekeliruan fundamental yang dibuat UU Advokat khususnya dalam Pasal 5 ayat (1) UU Advokat yang mengakui advokat sebagai penegak hukum. Persoalan ini berakibat jauh kepada profesi advokat yang antara lain dipersatukan dalam satu organisasi yang lebih dikenal sebagai wadah tunggal (single bar association) seperti polisi,jaksa,dan hakim. Ide wadah tunggal itu datang dari pemerintah Orba yang korporatis dan ingin melihat hanya ada satu organisasi seperti buruh, wartawan, advokat, dan lainnya agar mudah diawasi dan dikontrol.

Memang benar ada bahwa hak berserikat dapat dibatasi karena hak tersebut bukanlah hak yang tidak dapat ditunda (derogable rights). Namun, instrumen internasional secara jelas menyatakan bahwa pembatasan hak untuk berserikat ini hanya dapat dilakukan semata- mata dalam hal negara berada dalam keadaan darurat (state of emergency) atau setelah mempertimbangkan kondisi sosial,budaya,dan sejarah dari negara tersebut yang tentu berbeda dengan negara lain. Pasal 28 ayat (1) UU Advokat sendiri bersifat multitafsir yang dapat ditafsirkan sebagai wadah tunggal (single bar assoiation) atau sebagai federasi (federation of bar association). Ketidakjelasan rumusan “organisasi profesi advokat sebagai satu-satunya wadah profesi” ini telah menyebabkan isu konstitusionalitas UU Advokat.


Bahan Kajian Berupa Benturan Norma

Pada hakikatnya perkara nomor 66 mempersoalkan benturan norma yang menjadi bahan kajian atau isu konstitusionalitas UU Advokat yang dianggap para pemohon tidak sesuai dengan UUD 1945.Yaitu ketidaksesuaian antara hak berserikat advokat yang dibatasi Pasal 28 ayat (1) UU Advokat dan jaminan hak berserikat dalam Pasal 28E ayat (3) UUD 1945. Belum lagi UU Advokat memuat benturan norma berupa pasal yang berbenturan dengan pasal yang lain.

Seperti misalnya mukadimah yang menjamin profesi advokat yang bebas dan mandiri, di organisasi advokat yang bebas dan bertanggung jawab, serta peningkatan mutu advokat.Tetapi, di dalam Pasal 28 ayat (1),Pasal 32 ayat (4),dan Pasal 30 ayat (2) UU Advokat terdapat pembatasan hak berserikat,keharusan menjadi anggota organisasi profesi advokat sebagai satu-satunya wadah profesi advokat, dan membentuk organisasi yang dimaksud dalam kurun waktu dua tahun.Benturan norma dalam pasal-pasal tadi telah mengakibatkan ketidakpastian hukum yang dijamin dalam Pasal 28 D UUD 1945 yang dapat menjadi kajian Mahkamah Konstitusi tentang konstitusionalitas UU Advokat.

Pada hakikatnya pengajuan permohonan uji materiil (materiële toetsingrecht) perkara Nomor 66 ke Mahkamah Konstitusi berlandaskan benturan norma aturan UU Advokat dan UUD 1945. Tidak dipermasalahkan keabsahan organisasi yang mengaku didirikan menurut UU Advokat karena itu bukan wewenang Mahkamah Konstitusi,begitu pula masalah sengketa dan perseteruan kepemimpinan organisasi advokat.

Akibat ketidakselarasan itu mau tidak mau dibicarakan sebagai bukti adanya kerugian konstitusional para pemohon, para pencari keadilan (justitiabelen) dan masyarakat. Tetapi, itu bukan merupakan isu utama. Juga pelanggaran hak asasi manusia dibahas seperti right to counsel atau hak untuk menunjuk advokat yang dipercaya seorang pencari keadilan, yang dilanggar sebagai akibat pembatasan hak berserikat dan berkumpul (berorganisasi) para advokat.


Urgensi Peran Negara

Semoga tulisan ini dapat menjadikan terang tentang dimasukkannya uji materiil UU Advokat dan jauh dari ributribut advokat. Putusan Mahkamah Konstitusi diharapkan dapat menyelesaikan kekisruhan dalam tubuh organisasi advokat karena ketidakjelasan rumusan Pasal 28 ayat 1 UU Advokat dan pasal-pasal lainnya sebagaimana diuraikan dalam tulisan ini. Sebagai contoh, Inggris dalam Legal Services Act 2007 secara jelas menyebutkan namanama organisasi advokat yang diakui untuk melakukan peranperan tertentu antara lain Law Society,The Master of Faculties, The Chartered Institute of Patent Attorneys,The Institute of Trade Mark Attorneys, dan lain-lain.

UU Advokat tidak menjelaskan organisasi mana yang berwenang menyelenggarakan pendidikan, pelatihan, kursus, ujian, pelantikan, penyumpahan, dan sertifikasi advokat.Kita dapat mencontoh seperti Advocaten Wet di Belanda secara tegas menye-butkan Nederlandse Orde Van Advocaten (NOVA) sebagai bar associationyang berwenang menyelenggarakan semua hal tersebut bekerja sama dengan negara c.q. pemerintah c.q. Menteri Kehakiman, sebagaimana yang tertuang dalam Pasal 9b dan 9c Advocaten Wet. NOVA berdiri sebagai single bar association sebelum UU Advokat (Advocaten Wet) diundangkan.

Ini logis karena para advokat sendiri mempunyai aspirasi membentuk wadah tunggal (single bar association). Bukan sebaliknya seperti di Indonesia, justru bar association (wadah organisasi profesi advokat satu-satunya) dibentuk menyusul diundangkannya UU Advokat pada 2003. Wewenang menyelenggarakan pendidikan, kursus, ujian, pelantikan, dan penyumpahan advokat yang tadinya dipegang Menteri Kehakiman dan Mahkamah Agung RI diserahkan kepada organisasi advokat tanpa peraturan peralihan dan tanpa pengawasan negara c.q. pemerintah.

Ketidakjelasan inilah yang kemudian menjadi sebab perseteruan di antara pimpinan organisasi advokat.Paling tidak ada beberapa organisasi profesi advokat yang mengaku dirinya wadah tunggal (single bar association), sehingga konsep wadah tunggal ini tidak realistis lagi dipertahankan dan menjadi sumber perseteruan dan pertikaian yang tidak ada habisnya. Sejarah organisasi profesi advokat semenjak kemerdekaan adalah multi bar association. Apabila ingin disatukan, lebih realistis dalam bentuk federasi sehingga organisasi- organisasi profesi advokat yang ada dapat saling bersaing secara sehat untuk meningkatkan mutu advokat dan mengawasi perilaku advokat bersamasama melalui Dewan Etika Nasional.

Selain itu, pendidikan, pelatihan, ujian, pelantikan, dan penyumpahan advokat dilakukan melalui Badan Sertifikasi Nasional yang melibatkan negara c.q. pemerintah, menteri hukum dan HAM,menteri pendidikan nasional, universitas, masyarakat hukum (law society), organisasi penegak hukum,dan lain-lain. Tidak ada suatu pemerintahan dan pengadilan yang boleh melarang seorang advokat untuk berpraktik setelah dia memenuhi semua syarat yang telah ditentukan negara dan organisasi advokat. Diskriminasi seperti ini tidak boleh lagi terjadi di kemudian hari.

Begitu pula hak berserikat tentang bagaimana bentuk bar association yang diinginkan, apakah single bar, federation of bar association, atau multi bar associationitu harus ditentukan oleh para advokat sendiri dan tidak boleh diintervensi pihak mana pun, termasuk negara melalui UU Advokat. Semoga persoalan hak berserikat ini dapat diselesaikan secara konstitusional.(*)


(*)Oleh: Dr Frans H Winata SH MH
Ketua Umum Peradin (Persatuan Advokat Indonesia)

(Sumber: Seputar Indonesia, 20 Mei 2011)