Menjelang berakhirnya rezim Orde Lama dan semasa rezim Orde Baru, kepemimpinan politik yang berasal dari kaum muda memang tetap ada tetapi dalam porsi yang lebih kecil. Era reformasi setelah runtuhnya Soeharto membuka peluang yang lebih besar bagi kepemimpinan kaum muda, akan tetapi dalam prakteknya tetap memperlihatkan dominasi kaum tua/sesepuh dalam kancah perpolitikan nasional.
Fenomena ini menimbulkan kesenjangan antara harapan dan kenyataan di lapangan (das sein and das sollen). Kaum tua yang digambarkan sebagai orang yang bijak dan memiliki pengetahuan yang luas ternyata kiprahnya dalam kepemimpinan tidak selamanya berhasil. Selain Soeharto dengan rezim kediktatorannya, penerus kepemimpinan nasional semuanya termasuk golongan yang tidak lagi muda; Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY berada pada kisaran usia menjelang tua bahkan tua pada masa kepemimpinannya masing-masing.
Kegagalan-kegagalan para pemimpin tua tersebut menimbulkan wacana baru tentang perlu adanya pemimpin nasional yang berdarah muda. Pengalaman pilkada di daerah-daerah semenjak era otonomi daerah dimulai sampai dengan detik ini telah banyak melahirkan sosok pemimpin muda. Bahkan, kinerja mereka-pun patut dibanggakan.
Kepemimpinan daerah memang berbeda dengan kepemimpinan nasional, tekanan dan konflik yang ada jauh lebih besar. Pola kepemimpinan di Indonesia, khususnya dalam tingkat nasional memang cenderung untuk dipegang oleh kaum tua. Kondisi ini erat kaitannya dengan hal berikut.
Pertama, kepemimpinan di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh budaya paternalistik dan feodalisme yang tertanam dalam dengan rentang waktu yang relatif lama. Hubungan antara penguasa dan rakyat jelata terpisah oleh jurang yang lebar. Seperti dijelaskan oleh Suwarno (1994) ciri-ciri penguasa kerajaan: (1) Penguasa menganggap dan menggunakan politik/pemerintahan sebagai urusan pribadi, (2) administrasi adalah perluasan rumah tangga istananya, (3) tugas pelayanan ditujukan kepada pribadi sang raja, (4) “gaji” dari raja kepada pegawai kerajaan pada hakikatnya adalah anugerah yang juga dapat ditarik sewaktu-waktu sekehendak raja, (5) para pejabat kerajaan dapat bertindak sekehendak hatinya terhadap rakyat, seperti halnya yang dilakukan oleh raja.
Budaya paternalistik dan feodalisme inilah yang kemudian melahirkan konsep patron-klien. Patron adalah penguasa/raja dan orang-orang yang dituakan, sesepuh atau tokoh, sedangkan klien; rakyat, orang yang lebih muda. Adat ketimuran masyarakat Indonesia umumnya menjunjung tinggi dan memberi rasa hormat yang terkadang berlebihan terhadap orang yang lebih tua. Kondisi ini juga dipicu oleh konsep –konsep yang berasal dari ajaran agama.
Kedua, berbasis pada teori pilihan rasional (rational choice), meminjam istilah Ralf Dahrendorf (1968) yang menyatakan bahwa manusia itu homo sociologicus; manusia sebagai mahluk sosial yang berinteraksi yang terkadang memiliki keinginan yang sama. Ilmu sosiologi menjelaskan tentang mengapa manusia berperilaku tertentu, ternyata sebuah pilihan yang dilakukan seseorang terhadap sesuatu hal selain dipengaruhi oleh faktor ekonomi, juga dipengaruhi oleh faktor sosial.
Contohnya, ketika ada dua pilihan untuk memilih seorang pemimpin; tua dan muda, dari tingkat pusat sampai dengan RT. Pertimbangan sosial muncul, persepsi yang dihasilkan dari kognisi masyarakat dalam iklim adat ketimuran di Indonesia, menempatkan pemimpin yang berumur lebih tua memiliki kemampuan mengolah emosi lebih baik dan kondisi jiwa yang stabil dibandingkan kaum muda. Lebih kaya pengalaman serta wawasan kepemimpinan. Selain mengharapkan sosok teladan dari pimpinan kharismatik yang berumur lebih tua.
Pola kepemimpinan ini berlaku juga pada tingkatan gender. Posisi perempuan/wanita yang sulit tampil sebagai pemimpin dalam politik mungkin saat ini sudah memudar, dengan diakomodasinya alokasi 30% wanita dalam partai politik dan ke depan dalam dewan perwakilan. Akan tetapi, tidaklah mudah untuk mencari sosok pemimpin wanita. Penjelasan hal ini melalui teori psikologi sosial, yang berbasiskan teori posmodernisme dan feminis.
Teori psikologi sosial (dalam Ben Agger, 2003) berbicara mengenai konsep diri pribadi dan hubungan interpersonal. Teori ini konvensional memandang perempuan wanita cenderung untuk menempatkan/memosisikan diri inferior (berada di bawah) laki-laki. Sehingga hubungan interpersonal yang dibentuk pun selalu mengedepankan kepentingan lelaki terlebih dahulu dibandingkan wanita/perempuan.
Kondisi ini disebabkan karena pola berpikir kaum lelaki yang telah terbentuk berabad-abad lalu, selalu menempatkan posisi yang lebih tinggi daripada kaum wanita. Pemanfaatan melalui doktrin-doktrin agama pun menambah “beban” wanita untuk bersaing dengan lelaki. Walaupun, terkadang doktrin itu hanya bertujuan mencari legitimasi pembenaran dan melemahkan posisi wanita.
Jumlah pemimpin lelaki dalam kancah politik memperlihatkan betapa dominannya laki-laki, secara tidak langsung kaum laki-laki pun menikmati posisi superior tersebut. Kondisi ini coba dirombak oleh teori psikologi sosial (kontemporer) yang didukung oleh teori feminis yang menuntut kesetaraan hak wanita atas kaum laki-laki, termasuk dalam bidang politik.
Kemandulan pemimpin wanita dalam politik juga dapat dijelaskan oleh D.E. Apter (1997) teori rasa ketergantungan (dependency complex theory) yang timbul dari kolonialisme. Dapat pula dijelaskan melalui teori identitas (Teori Erikson); mengenai evolusi kepribadian manusia yang melewati tahap-tahap perkembangan (bayi, anak, masa puber dan dewasa). Identitas pribadi seseorang juga ditentukan oleh berbagai hal, misalnya, pribadi, keluarga dan lingkungan.
Seyogianya memang, peluang bagi kepemimpinan muda dalam politik khususnya kepemimpinan nasional perlu terus dikembangkan. Kaum muda kiranya memiliki modal-modal tersebut. Keran kepemimpinan nasional 2009 hendaknya tidak hanya diramaikan oleh kaum “begawan”, tetapi kemunculan kesatria-kesatria muda baru yang mampu bersaing.(*)
(*) Oleh: Robi Cahyadi Kurniawan
Dosen Ilmu Pemerintahan FISIP Universitas Lampung
(Sumber: Lampung Post, 16 Mei 2011).